Sejak Romo Frans Magnis Soeseno menulis tentang Golput (Kompas, Selasa 12 Maret 2019) jagad penulisan geger. Ada pro kontra mengenai posisi golput mengemuka.Â
Yang setuju golput tulisan Romo Magnis membuat mereka gerah dan cenderung memaki- maki Romo yang sempat berujar semakin tua kok tidak semakin bijaksana.Â
Tapi Romo Magnis punya alasan seperti halnya Gereja Katolik telah membuat keputusan dan pesan moral  tahun ini. Salah satu alasannya adalah mengambil istilah latin Minus Malum adalah memilih yang paling sedikit keburukannya.
Sungguh terasa berat memilih pemimpin ketika masyarakat telah ditelikung oleh berbagai narasi kebencian, narasa akal sehat, narasi baik buruk dari sudut agama.Â
Situasi rakyat yang masih gampang dipengaruhi itu membuat siapapun baik yang cerdas, terpelajar, apalagi yang kurang pengetahuan dan berpendidikan rendah mudah diombang-ambingkan oleh politisi, oleh lembaga keagamaan yang cenderung radikal dan fanatik.
Kandidat Capres dan Cawapres JelasÂ
Memilih salah satu kandidat untuk saat ini penting karena bagaimanapun buruknya pemimpin rakyat harus aktif mensukseskan pemilu kampanyenya berlangsung lama.Â
Isu, intrik, ujaran kebencian, keterbelahan harus segera dihentikan. Untuk itu partisipasi masyarakat diperlukan agar berbagai ketidakpastian itu segera berakhir.Â
Golput memang sebuah pilihan tetapi bukan saat tepat untuk abstain dan masa bodoh dengan situasi politik sekarang. Masyarakat harus memilih meskipun pahit, masyarakat harus bergerak agar perpecahan tidak semakin meruncing. Politik memang menentukan tetapi kebersamaan, kekompakan gotong - royong, persatuan dan kesatuan jauh lebih penting.Â
Siapapun pemimpin terpilih  akan menentukan masa depan bangsa ini. Jadi untuk saat ini  saya cenderung setuju dengan tulisan Romo Magnis. Yang kini tersedia hanya dua tokoh Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Dari logika, hati nurani dan pemberitaan obyektif tentu anda tahu siapa yang paling sedikit keburukannya.Â
Masyarakat tidak boleh menutup diri menerima kenyataan bahwa tidak ada pemimpin yang baik. Terlalu masa bodoh dengan situasi menurut saya tidak baik untuk relasi kehidupan berbangsa.
Dilema Memilih Wakil Rakyat
Yang menjadi kegamangan rakyat mungkin pilihan pada caleg. Seperti pengalaman yang lalu memilih Calon legislatif itu yang paling sulit. Seperti memilih kucing dalam karung. Yang kita kenal hanya fotonya  yang berderet- deret di pinggir jalan. Tapi visi - misi dan sosoknya secara jelas tentang rekam jejak caleg itu yang masih kabur.Â
Sebab kebanyakan mereka hanya mengandalkan poster, tetapi jarang mengenalkan diri untuk menjadi bagian dari masyarakat. Para caleg yang notabene bagian dari partai politik masih minim keteladanan.Â
Fungsi legislatif dan agresifitas para wakil rakyat membuat undang- undang saja sangat minim. Malah para pimpinannya lebih sibuk mengritik dan menyalahkan pemerintah.Â
Padahal mereka bagian dari negara yang menentukan arah kemajuan bangsa. APBN, hutang negara, relasi dengan negara lain, produk undang- undang tentu harus ada sinergi antar pemerintah dan perwakilan rakyat.Â
Jika Pemimpin perwakilan rakyat lebih sibuk mengritik pemerintah lalu apa kontribusi mereka untuk kemajuan bangsa.Â
Menjadi oposisi bukan berarti asal beda tetapi memberikan masukan konstruktif agar pemerintah bisa melaksanakan pekerjaannya dengan kontrol dari rakyat. Kalau asal beda dan asal mengritik anak TK saja malah lebih kritis.
Tentukan pilihan. Mari ikut serta menentukan arah bangsa ke depan dengan ikut memilih. Sekali lagi Minus Malum. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H