Kontestasi pemilihan Presiden, Pileg dan Perwakilan Daerah seperti menjungkirkan nalar orang- orang. Yang benar bisa menjadi salah, yang salah dibenarkan. Fakta bisa dimanipulasi tergantung siapa yang mengendalikan. Ketika orang diajak benar malah ngelunjak dengan membeberkan dalil-dalil agama. Yang beragama benarpun diadili atas nama agama pula. Gejala apakah ini? Siapa yang benar dan siapa yang salah?
Dalam politik apapun bisa dilakukan. Dengan politik hoaks, menebarkan kebencian, menebarkan teror dengan kekerasan verbal, kekerasan kata- kata di ruang maya. Semoga saja situasi tintrim ini hanya ada di media sosial, dunia maya yang kabur.
Yang dulu nyaman-nyaman saja sekarang diutak - atik. Politik telah menjungkalkan nurani sampai titik nadir. Apapun dilakukan agar masyarakat terbelah dan akhirnya ketika masyarakat bingung dimulailah hasutan- hasutan yang membuat masyarakat bimbang. Politik memainkan strategi dengan mengacaukan titik--titik rawan emosi manusia. Ketika yang pinta maupun yang bodoh sudah terjebak dalam kebimbangan dan ketidakpercayaan mereka aktor politik datang menawarkan solusi seakan pahlawan bagi mereka yang sedang kebingungan.
Berbagai manuver itu terasa semakin membara ketika menyentuh keyakinan manusia.Maka dimunculkan kontradiksi "Kafir". Muslim dan "non" Muslim, lalu dikaitkan dengan isi kitab suci dan disinggungkan dengan tafsir yang berbeda- beda. Yang tradisional klasik bisa saja akhirnya bergesekan dengan aliran modern dan progresif, yang radikal merangsek mencari celah ke keyakinan seseorang yang menginginkan doktrin seragam. Maka kata kafir menjadi bola liar yang meluncur dalam perbincangan seru di tahun politik saat ini. Lalu bagaimana kita yang kebetulan beragama Kristen Katolik, Hindu Budha. Dengan sematan kafir. Atau non muslim.
Sebagai bagian dari bangsa tidak perlu emosi dan resah. Mungkin ada rasa emosi yang membakar jiwa karena kafir sedikit banyak terkesan ejekan. Tapi kembali memaknai ajaran cinta kasih. Apapun sematan bagi kafir/non Muslim yang hidup  di negeri ini kembali meyakini bahwa silahkan memberikan istilah apa saja. Akan kami terima. Yang penting dalam pergaulan sehari-hari kami tetap bisa bekerja, bergaul dan bersahabat dengan saudara yang  beragama Islam. Saya pikir dalam relasi kehidupan setiap manusia saling membutuhkan. Maka meskipun bathin bergejolak umat Katolik (agama yang saya anut) akan selalu berdoa untuk keselamatan bangsa, kerukunan, saling hormat menghormati seperti yang diteladankan Paus Fransiskus. Dan terutama ajaran Cinta kasih Yesus Kristus.
Di desa saya dulu. Untuk mendoakan kerabat kami yang meninggal  (kebetulan Katolik) ada dua doa. Satu menurut keyakinan Katolik dan satunya lagi dengan cara Islam dengan melakukan tahlilan. Relasi hidup tidak pernah membedakan agama.  Agama itu masalah pribadi. Pertanggungjawaban keimanan kami adalah kepada Allah, sama juga tentunya dengan saudara yang beragama Islam. Setiap agama tentu mengajarkan kasih sayang, menjauhkan diri dari kejahatan, membenci persekusi, membenci ketidakjujuran. Tidak ada agama yang mengajarkan fitnah untuk meraih kemenangan. Yang kebetulan memakai cara fitnah tentu mereka yang tidak benar meresapi inti ajaran agama.
Lalu kenapa agama menjadi sumber konflik, pemicu perang, pemicu permusuhan? Karena agama tidak dijalankan dengan benar. Masalah surga dan neraka tentu berhubungan amal  baik manusia selama di dunia. Apakah tiap agama mempunyai kapling sendiri di surga. Saya tidak bisa membahas sesuatu yang masih abstrak.Â
Menurut keyakinan saya surga itu adalah tempat yang tepat bagi manusia yang  selalu melakukan kebaikan, pengampun, penyayang, pengasih yang selalu menghargai manusia lain sejajar dengan dirinya, yang selalu menghargai relasi terhadap semua makhluk hidup. Jika saat hidup manusia begitu disayang teman, saudara, bahkan musuhnya maka ia berhak mendapat surga.Â
Di Agama Budha yang berbeda dengan agama Samawi mereka meyakini Nirwana tempat bagi roh- roh yang selama hidupnya selalu melakukan kebajikan ataupun kalau akhirnya bereinkarnasi ia akan menjadi makhluk mulia, lain jika selama hidupnya  dengan selalu menebarkan kebencian, selalu menebarkan teror, fanatik dan membantai sesama demi kekuasaan, kekuatan dan keagungan diri sendiri.
Kembali ke istilah kafir, muslim dan  non muslim. Kalau keyakinan saudara muslim memberi sematan kafir, silahkan itu hak mereka. Itu keyakinan yang tertanam. Asal dalam relasi bertetangga baik, tidak atau jarang membahas tentang perbedaan keyakinan silahkan.
Yang menjadi masalah jika umat beragama terjebak dalam situasi permusuhan karena terpedaya oleh politik pecah-belah. Hati-hati dengan politik adu domba untuk tujuan tertentu. Karena mungkin ada musuh dari luar yang menginginkan negara ini runyam.
Marilah berdoa bersama untuk keselamatan negeri ini. Sikapi perbedaan dengan kedewasaan dan pikiran terang. Fanatisme sempit hanya akan membawa negeri ini ke jurang kehancuran. Pemilu ini hendaknya untuk tujuan pesta demokrasi. Kalah menang hanyalah sebuah kontestasi. Setelah selesai mari saling bersalaman. Salam Damai Selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H