Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Memilih Jokowi Tanpa Harus Menjadi Kecebong

22 Februari 2019   12:51 Diperbarui: 22 Februari 2019   14:07 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak pertama kali ketemu Jokowi Di Perumnas Cengkareng Jakarta Barat, saya sudah merasa sreg dengan Jokowi, tidak perlu mencari alasan lain. Bukan berarti menjadi cinta buta, atau membabi buta menyukai pola kepemimpinannya. Ini masalah pilihan, selera.

Sebelum Jokowi Presiden terpilih rasanya biasa saja kecuali Bung Karno tentunya. Soeharto pun sebetulnya saya kagumi dengan perencanaan repelitanya, sayangnya karena maruknya anak- anak presiden pada proyek- proyek strategis negara saya menjadi tidak suka. Dan akhirnya kekuasaan Soeharto memang harus berakhir dengan cukup menyedihkan.

Reformasipun kemudian bergerak, tetapi korupsi seperti tidak pernah berhenti, kolusi, nepotisme masih berjalan bahkan sangat terbuka. Megawati. Gus Dur, SBY tidak kuasa menghentikan nafsu korupsi yang sudah mendarah daging di birokrasi pemerintahan.

Lalu datanglah cerita ketika Jokowi di Solo jarang mengambil gajinya karena ia sudah cukup dengan penghasilannya sebagai pengusaha mebel. Jokowi kemudian melangkah ke Jakarta dan memimpin wilayah lebih luas dengan resiko jauh lebih besar pula. Gerindra waktu itu amat gigih mendorong Jokowi dan Ahok bisa muncul sebagai pemenang. Berbagai inovasi Gerindra cukup membuat saya terkagum- kagum, kreatif juga para pendukung Gerindra partai baru milik Prabowo Subianto dengan kucuran dana dari Hasyim Djojohadikusumo adik Prabowo.

Sukses Jokowi memimpin Jakarta  membuat Jokowi semakin populer. Amat tegas ia memimpin Jakarta bersama Ahok duo pimpinan itu bahu membahu membenahi sengkarut Jakarta.  Banyak kemajuan ketika Jokowi memimpin Jakarta. Namun konstalasi politik mendorong Jokowi maju ke kontes lebih tinggi. Jokowi akhirnya menganggukkan kepala ketika PDIP mencalonkannya sebagai kandidat Presiden 2014 -- 2019.

Gerindra yang merasa berjasa pada kesuksesan Jokowi tentu berang karena  Jokowi seperti berkianat, tidak tahu diri karena berani menantang Prabowo menjadi lawan dalam perebutan kursi Presiden. Kebencian Gerindra yang di dalamnya ada Fadli Zon, Sandiaga Uno semakin menjadi -  jadi ketika akhirnya Prabowo kalah dan hanya sempat menjadi calon tetapi gagal menjadi presiden hanya karena Jokowi yang sebelumnya mendapat suport penuh dari Gerindra untuk menjadi Gubernur Jakarta.

Akhirnya politik memang tampak bertambah panas. Aroma dendam, kebencian pada sosok Jokowi begitu mendarah daging. Apapun tingkah laku Jokowi, entah baik, berprestasi tidak digubris. Lalu muncullah gerakan politik yang penting bukan Jokowi. Lebih menarik lagi ketika lagi -- lagi Ahok ataupun Basuki Tjahaya Purnama memilih hengkang dari Gerindra. Ahok dan Jokowi menjadi target kebencian pendukung Prabowo Subianto.

Saya mencatat sejarahnya dari berita -- berita karena saya kebetulan suka menulis, rekam jejak polemik politik itu tentu masih menempel meskipun samar- samar. Tentu paling tidak saya merekam lewat tulisan seperti di Kompasiana karena saya sudah menulis di Kompasiana sejak 2010. Dinamika politik itu bisa tercatat ketika saya membuka file tulisan saya misalnya di tahun 2014. Atau tulisan- tulisan di media lainnya, di catatan tulisan saya di buku. Dan kliping- kliping koran.

Sayangnya passion saya sebetulnya bukan politik tetapi seni budaya tetapi menulis politik itu amat menantang. Dan tidak munafik banyak yang melihat (entah kalau membaca secara utuh, karena banyak netizen hanya membaca sekilas bahkan hanya membaca judul artikel bisa berbusa- busa menulis di kolom komentar).

Ada perasaan kecewa juga ketika akhirnya Jokowi mengangguk ketika ditawari untuk maju sebagai presiden. "Bagaimana dengan Jakarta mas Joko Widodo?" Jakarta masih butuh sentuhan sampeyan, kenapa harus meninggalkan Jakarta cepat- cepat sedangkan persoalan Jakarta masih bejibun. Setelah menelusuri alasannya saya akhirnya mengangguk.

Alasan yang saya ingat adalah Persoalan Jakarta itu sangat kompleks. Jakarta itu punya kaitan erat dengan daerah penyangganya Jawa Barat, dan Banten. Jokowi akan lebih mudah mengatasi persoalan Jakarta jika duduk sebagai Presiden karena ia bisa melakukan negosiasi dengan gubernur Jawa Barat dan Banten. Di samping itu ia khan hanya pindah kantor masih di sekitar Monas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun