Debat sudah selesai. Kedua calon presiden sudah saling berangkulan, cipika cipiki. Debat hanyalah debat, kalah menang itu biasa. Jokowi legowo dan Prabowo legowo. Tapi tidak dengan timses, pendukung dan komentator media sosial. Gelontoran makian bergelombang mempertanyakan etika Jokowi yang katanya menyerang pribadi. Mempertanyakan tentang tanah yang dikelola/dikuasai Prabowo di Kalimantan dan di Aceh tengah. Tidak main main 340 ribu hectare setara 3400 kilometer persegi dan . Saya  saja  susah membayangkan yang jelas 5 kali lebih luas dari Jakarta Jakarta luasnya hanya 662,33 kilometer persegi. Tanah itu menurut BPN timses Prabowo statusnya HGU (Hak Guna Usaha ).
Debat Boleh Selesai Adu Komentar Tambah Seru
Cerita dari berbagai versi terus bergulir maka polemikpun tidak bisa ditahan. Perang komentar, ramai di media sosial. Yang fanatik kampret tentu saja tidak terima dengan pertanyaan Jokowi yang dikategorikan menyerang pribadi. Mereka lalu melakukan aksi melaporkan Jokowi ke Bawaslu dan KPU. Jokowi dinilai tidak etis karena melontarkan pertanyaan yang membuat Prabowo gelagapan. Dan itu membuat berang BPN nya. Barisan kampret terus melakukan aksi,
Fadli Zon Fans Berat Jokowi?
Fadli Zon sebenarnya penggemar berat Jokowi, karena apapun yang dilakukan Jokowi selalu dipantau. Ia anggota DPR khusus urusan Jokowi. Jokowi berkunjung ke Mbah Maimun Zubair pun dibikinkan puisi oleh Fadli Zon. Ketika Jokowi main tekan- tekan pulpen Zebra -301 compact berharga 29 ribu ia memperhatikannya. Sepertinya ia langsung membayangkan aksi James Bond yang membuntuti orang penting entah mungkin adalah agen dari Mossad yang terkenal pilihan, cerdas dan banyak akal.Ketika Jokowi menekan- nekan kuping juga dilihatnya. Dan yang terakhir Jokowi melakukan kunjungan malam -- malam di tambak Lorok Fadli Zonpun datang, tapi beda misi. Kampret memang meradang dengan "kebohongan- kebohongan" yang dipertunjukkan Jokowi yang memakai data palsu (menurut pandangan mereka). Mereka menyangsikan kerja Jokowi yang sementara komentator mengatakan tipu- tipu. Pencitraan tingkat dewa, sekali bohong tetap bohong.
Perang Narasi Membuat Emosi
Narasi narasi untuk menghancurkan kredibilitas Presiden amat masif di media sosial. Masyarakat menjadi bingung. Manakah yang benar antara Jokowi dan Prabowo. Kecebong juga sering reaktif, mudah terbakar emosi saat kampret menyerang. Kecebong semakin kurang sabar menghadapi taktik narasi kampret yang selalu mendiskreditkan Jokowi. Apapun masalah masyarakat Presidenlah yang bertanggungjawab.
Tampak benar media sosial menjadi benih dari peperangan narasi kebencian yang menyesakkan dada. Begitu pilu menyaksikan sesama saudara saling bantai, saling mengolok -- olok. Saya menjadi silent rider dari komentar komentar di detik,com, kompas.com, facebook. Begitu cerdaskah masyarakat yang bisa membuat debat menjadi seakan- akan mengandung kebenaran. Paparan data sangat meyakinkan. Masyarakt medsos bingung siapakah yang mesti dipercaya. Yang satu mengungkapkan tentang etika berdebat, yang satu adalah logika berpikir, kerja kongkrit yang sudah dilakukan pemerintah.
Oposisi sengaja menutup mata pada pembangunan selam 4 tahun belakangan, tidak ada satupun yang mengesan. Mereka tidak berusaha obyektif karena memang sudah ada kebencian akut menempel pada sosok Jokowi. Bagi mereka Jokowi itu adalah representasi musuh yang menjadi target utama untuk dilenyapkan. Dengan tanpa Jokowi maka Prabowo bisa melenggang mulus ke istana. Â Mereka perlu mencari taktik dengan berbagai cara entah jahat entah licik yang penting Prabowo menang. Tidak perlu berwacana bagaimana caranya membangun negara dengan cara positif. Kaum ulama didekati, dibuat bertekuk lutut dan mendukung meskipun sebenarnya salah dengan mempolitisir agama masuk ranah politik. Ini era post truth bung, mas bro , mbak, sis. Apapun dilakukan untuk menang.
Dua Kubu yang tidak Pernah Akur
Kaum kecebongpun seperti ikut larut dalam taktik kampret, seperti ingin melayani tantangan- tantangan kampret dengan saling melontarkan kebencian pada sosok Prabowo dan mengaduk - aduk emosi dengan memaparkan dosa- dosa Prabowo dengan amat telanjang. Bahkan sampai pada persoalan pribadipun dibahas di media sosial. Masyarakat telah terjebak, dan susah keluar dari sengkarut kata- kata yang saling menindih. Saling membunuh.
Jokowi dan Prabowo sudah berdamai tetapi tidak bagi netizen partisan. Mereka seperti mendapat mainan dari blunder -- blunder capres saat debat. Logika diputar balik, kebenaran sengaja dikaburkan dan sportifitas mati suri sebab mereka hampir tidak beranjak dalam pola pikir yang sama tentang apa itu benar salah. Bahkan dalam agama tafsir tentang nabi, tentang doktrin tentang ayat -- ayat yang ada di kitab suci masing- masing tiap isi kepala manusia beda- beda. Maka tidak heran meskipun  seagama cakar cakaran sendiri hanya membahas satu ayat saja. Sebab masing masing pribadi mempunyai tafsir beda. Apa yang benar bagi kampret belum tentu benar bagi benar bagi kecebong demikian sebaliknya.
Sebuah kontestasi apakah itu oleh raga, pemilihan presiden, pemilihan miss world, miss universe, orang tercantik sejagat, orang terkemuka sejagad raya tetaplah terkandung subyektifitas. Tidak masuk dalam radar matematis yang sudah patok bangkrong mengandung kebenaran  absolut. Dalam matematika  satu tambah satu tentu saja dua. Tapi tidak jika kita berpikir lain misalnya candanya 1 tambah 1 jadi tiga bahkan lebih (jika orang berpikir ayah + ibu sama dengan: aku  dan dua adikku ).
Perdebatan di media sosial begitulah adanya. Narasi intoleransi pun mengalami pelebaran makna. Dalam agama Islam ada NU dan Muhammadiyah. Cara pandang  antara NU dan Muhammadiyah bisa jadi beda. Mereka Islam tetapi dalam menafsirkan ayat- ayat suci  berbeda padahal sumbernya sama. Demikian juga Kristen ada banyak aliran, Protestan, GBI, Katolik, Saksi Yehowa, HKBP, Maranatha, Presbitarian, Anglikan padahal satu kitab suci yaitu Perjanjian lama dan Injil.
Pendukung Oposisi dan  pendukung petahana saling "membunuh" untuk mencari simpati rakyat. Rakyat tergagap -- gagap dan akhirnya bingung. Banyak yang akhirnya tidak mau memilih, cemas dengan situasi politik yang membingungkan. Ulamapun terbelah  dukung mendukung, klaim mengklaim. Mereka di seret- seret ke arah kepentingan profan yang sebetulnya sangat beda dengan ajaran agama yang mengajarkan kasih sayang, saling mencintai dalam suasana damai.
Sudahi Permusuhan Mari Toss - tossan
Sudahlah setelah pemilu selesai saling toss, salaman, berpelukan seperti teletubies. Tidak ada dendam, tidak ada benci yang ada kembali beraktifitas. Mengembalikan kedaulatan bangsa. Apakah rela membiarkan negara lain bertepuk tangan menyaksikan sesama saudara, sebangsa dan setanah air berdebat hanya karena pilihan pemimpinnya. Untuk maju sebuah bangsa harus bersatu padu untuk berjuang bersama membangun negeri. Ingat peribahasa  ...bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Jika dalam banyak hal masyarakat saling curiga, saling membenci saling klaim kebenaran tanpa ada yang mau mengalah apa yang dibayangkan Prabowo bahwa Indonesia bisa punah bisa saja terjadi. Maka sebelum menyesal negara harus saling bersatu padu membangun bangsa. Tidak ada pemimpin maha sempurna, selalu ada kekurangannya.
Masyarakat yang dewasa tahu membedakan arti demokrasi. Demokrasi yang baik tahu ada kebebasan berpendapat, tetapi kebebasan berpendapat itu juga harus dalam koridor etika. Sekarang ada kecenderungan pemahaman demokrasi  kebablasan. Yang ada demo crazy, banyak orang lebih mempertontonkan kegilaan, susah membedakan yang gila dan waras. Jika dibiarkan maka akan terjadi  perang saudara seperti ketika Singasari akhirnya terjungkal, Majapahit bubar, Mataram terbelah.
Indonesia bersatulah kembali. Para netizen kembalilah bertanya ke hati nurani apa untungnya berdebat, kalau hanya menimbulkan permusuhan  sesama saudara ,saling membenci, saling curiga. Lebih baik damai damai saja bukan begitu mas bro...Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H