Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Tenang, Jangan Menulis Saat Emosi Pasca Debat Capres

18 Februari 2019   16:19 Diperbarui: 20 Februari 2019   06:15 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada dua kubu yang berbeda pandangan saat menanggapi debat Capres. Yang satu sudah yakin bila debat kali ini sudah ketahuan siapa pemenangnya. 

Dalam segala segi sudah ketahuan siapa yang bicara dengan data, yang satunya hanya bicara dan menanggapi secara umum minim data. Yang satunya aktif menyerang dan menjawab dengan yakin yang satunya ragu tetapi mendapatkan poin dari sikapnya yang mengakui pencapaian capres lainnya. 

Dua capres mempunyai performa menarik dan dua duanya menunjukkan betapa debat hanyalah debat, persaingan hanyalah masalah perbedaan visi. Mereka selesai dan tidak memperpanjang masalah sehabis debat. Tidak demikian dengan netizen, pengamat, pendukung dari kubu kampret dan kecebong.

Dengan gula- gula yang sengaja ditambah- tambahi, dengan meme yang sengaja menguras kubu sebelah diskusi, perang kata- kata terus dibawa saat bikin status di media sosial. Otak mulai panas sebab sumbu emosi lebih mengemuka dari mengemukakan sikap ya saya akui kelebihan dan kekurangan capres.

Obyektifitas dalam mengambil sikap itulah yang masih dipertanyakan. Dua kubu saling klaim dengan perasaan, emosi, dan ego masing- masing. Jelas tidak ada yang mau mengalah. Semua pendukung fanatik jelas mempunyai argumen dan gila sungguh gila semua mengusung capres merekalah lebih unggul.

Sindiran- sindiran merebak menjungkalkan kewarasan. Mereka berada di tempat tinggi di mana kebenaran adalah subyektif. Secara data dan performance mungkin sudah terlihat siapa pemenangnya tetapi pendukung loyalis dan fanatik serta pengamat partisan pasti akan mencari titik lemah entah dari data, hal- hal yang luput dari pembicaraan atau dicari - cari dari gesture, ekspresi wajah dan bla-bla-bla. 

Mereka di tataran tinggi di mana yang lain lewat. Mana pernah mereka mengaku dungu di depan lawannya. Mana mungkin mau mengakui kekalahan meskipun fakta sudah terpampang. Di stasiun televisi sudah terpetakan ke mana arah pengamat dan host mengarahkan penilaian. 

Indonesia memang dikelililingi manusia cerdas yang amat sigap, lincah/ethes saat berdebat tapi giliran melakukan eksekusi melempem. Lihat kurang apa anggota DPR. Mereka terpilih cerdas dan mempunyai modal tetapi mengapa membuat undang- undang sampai waktunya hampir habis tidak kelar- kelar.

Bahkan ada wakil ketua DPR kerjanya hanya mantengin media sosial dan rajin ngoceh. Padahal DPR khan harusnya mempunyai keterhubungan dengan pemerintah, siap mengetok palu dan tanda setuju dengan berbaga kebijakan pemerintah, giliran berdebat dan Presiden sedang mengemukakan fakta seakan berkelit dan tidak mengakui hasil kerja samanya. Malah di media di televisi mereka amat aktif mengkritik segala kebijaksanaan pemerintah.

Saya menonton debat tersebut. Mencoba tidak duduk dengan condong ke salah satu kubu. Artinya saya akan tersenyum dengan segala klaim kedua kubu. Maaf, saya harus mengakui Jokowi dengan segala kekurangannya masih lebih unggul dalam debat kedua ini. Tetapi saya juga memuji performa Prabowo yang tidak seperti timses pendukungnya yang secara ksatria mengakui kelebihan dan upaya kerja lawannya yang memang sudah terbukti. 

Bagaimanapun sebuah kontes debat itu sebuah paparan wawasan dan pengalaman, bukan hanya menang kalah seperti yang diharapkan pasar taruhan tetapi mengetahui jeroan pikiran, wawasan, kematangan berpikir, kenegarawan, ksatria. Dan originalitas kontestan. Boleh dong obyektif menilai bukan  karena sentiment yang sudah terbawa ketika melihat Seorang Jokowi atau Prabowo. 

Netizen, pendukung harusnya dewasa untuk terbiasa dengan data, fakta. Dengan segala kekurangannya Jokowi telah bekerja keras membenahi sektor yang sebelumnya belum terjamah. Selangkah demi selangkah ada kemajuannya. Tetapi jangan mengharapkan perubahan ekstrem karena untuk mengubah habit itu perlu tahunan, puluhan bahkan bisa saja berabad- abad.

China dengan segala perubahannya yang spektakuler itu juga sudah mempersiapkan infrastruktur, segala hal yang mendukung negara bisa maju. Jika mental masyarakat masih susah berpikir logis, apa- apa dihubungkan dengan agama, segala hal dinilai dari penonjolan sentimen politik, mengeluh dan DPR cenderung cuci tangan jika sudah masuk dalam krisis yang harusnya dipikirkan bersama. 

Presiden itu manusia, bukan dewa. Ia tidak sesakti Bandung Bondowoso yang bisa membuat arca hampir seribu dalam semalam.

Pasti masih saja ada kebijaksanaan yang luput yang belum bisa dilaksanakan. Masyarakat atau rakyat maunya perubahan secara cepat sementara diri mereka sendiri belum siap bekerja mengejar ketertinggalan. Masih terninabobokkan dengan sumber alam yang melimpah.

Kembali  ke masalah debat Capres. Performa mereka mempunyai keunikan tersendiri. Jokowi dengan penampilan yang sederhana, terkesan hadir seperti layaknya masyarakat biasa. Prabowo tampil gagah dengan mencoba menampilkan sosok berwibawa yang layak duduk di Singgasana Presiden tetapi nanti dulu, rakyatlah yang berwenang menentukan siapa yang berhak duduk.

Menjadi presiden itu bukan tentang gagah-gagahan. Presiden itu siap dikritik, siap menanggung badai, siap diolok-olok, siap diserang apapun entah latar belakang kehidupannya, keluarganya, lingkaran pertemanannya, bahkan segala terobosan kebijaksanaan yang selalu dibanding- bandingkan dengan pendahulunya. Siapapun Presiden RI akan menghadapi misteri bencana yang sewaktu -- waktu datang menghampiri.

Masyarakat, pengamat, penulis, pendukung enak. Mereka yang melihat dari belakang cuma bisa mencari kesalahan lawan, mencari titik kelebihan idolanya, mengolah kata menurut kata- kata sendiri, berdebat kusir untuk sesuatu yang sebetulnya tidak berhubungan langsung dengan pekerjaannya. 

Kalau melihat status di facebook saya sebenarnya ingin ikut menulis , emosi melihat banyak orang yang suka arogan mengata ngatai tapi  dalam bathin saya beranya sebelum menulis apakah ia sudah meneliti diri sendiri. 

Jika saya jadi  dia bagaimana ya... Mereka garang di media sosial tetapi seperti tenggelam di tengah masyarakatnya. Masih bagus tukang sampah yang siang malam jarang berkutat dengan gawai karena seharian ia perlu memilah sampah,  sebagian di setor ke bak penampungan sampah lainnya bisa dipungut, dikumpulkan dan dibawa ke pengepul sampah.

Ketika saya menulis, menanggapi debat capres saya hanya mengelus diri, jangan menulis saat emosi. Ditata dulu baru menulis. Barangkali saya, anda , dia, mereka perlu belajar banyak untuk tidak melakukan tindakan konyol membabi buta mengolok -- olok sementara diri sendiri masih banyak kekurangannya. 

Rasanya kedunguan amat terasa ketika melihat betapa banyaknya pengamat yang begitu memukaunya mengolah kata.... Saya hanya ratusan kata saja sudah kebingungan menyimpulkan. Lah para pengamat itu bisa berjam- jam membeberkan kekurangan- kekurangan kontestan debat.

Selamat kali ini pemenangnya adalah pengamat karena anda pintar menelisik kekurangan kedua capres.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun