Netizen, pendukung harusnya dewasa untuk terbiasa dengan data, fakta. Dengan segala kekurangannya Jokowi telah bekerja keras membenahi sektor yang sebelumnya belum terjamah. Selangkah demi selangkah ada kemajuannya. Tetapi jangan mengharapkan perubahan ekstrem karena untuk mengubah habit itu perlu tahunan, puluhan bahkan bisa saja berabad- abad.
China dengan segala perubahannya yang spektakuler itu juga sudah mempersiapkan infrastruktur, segala hal yang mendukung negara bisa maju. Jika mental masyarakat masih susah berpikir logis, apa- apa dihubungkan dengan agama, segala hal dinilai dari penonjolan sentimen politik, mengeluh dan DPR cenderung cuci tangan jika sudah masuk dalam krisis yang harusnya dipikirkan bersama.Â
Presiden itu manusia, bukan dewa. Ia tidak sesakti Bandung Bondowoso yang bisa membuat arca hampir seribu dalam semalam.
Pasti masih saja ada kebijaksanaan yang luput yang belum bisa dilaksanakan. Masyarakat atau rakyat maunya perubahan secara cepat sementara diri mereka sendiri belum siap bekerja mengejar ketertinggalan. Masih terninabobokkan dengan sumber alam yang melimpah.
Kembali  ke masalah debat Capres. Performa mereka mempunyai keunikan tersendiri. Jokowi dengan penampilan yang sederhana, terkesan hadir seperti layaknya masyarakat biasa. Prabowo tampil gagah dengan mencoba menampilkan sosok berwibawa yang layak duduk di Singgasana Presiden tetapi nanti dulu, rakyatlah yang berwenang menentukan siapa yang berhak duduk.
Menjadi presiden itu bukan tentang gagah-gagahan. Presiden itu siap dikritik, siap menanggung badai, siap diolok-olok, siap diserang apapun entah latar belakang kehidupannya, keluarganya, lingkaran pertemanannya, bahkan segala terobosan kebijaksanaan yang selalu dibanding- bandingkan dengan pendahulunya. Siapapun Presiden RI akan menghadapi misteri bencana yang sewaktu -- waktu datang menghampiri.
Masyarakat, pengamat, penulis, pendukung enak. Mereka yang melihat dari belakang cuma bisa mencari kesalahan lawan, mencari titik kelebihan idolanya, mengolah kata menurut kata- kata sendiri, berdebat kusir untuk sesuatu yang sebetulnya tidak berhubungan langsung dengan pekerjaannya.Â
Kalau melihat status di facebook saya sebenarnya ingin ikut menulis , emosi melihat banyak orang yang suka arogan mengata ngatai tapi  dalam bathin saya beranya sebelum menulis apakah ia sudah meneliti diri sendiri.Â
Jika saya jadi  dia bagaimana ya... Mereka garang di media sosial tetapi seperti tenggelam di tengah masyarakatnya. Masih bagus tukang sampah yang siang malam jarang berkutat dengan gawai karena seharian ia perlu memilah sampah,  sebagian di setor ke bak penampungan sampah lainnya bisa dipungut, dikumpulkan dan dibawa ke pengepul sampah.
Ketika saya menulis, menanggapi debat capres saya hanya mengelus diri, jangan menulis saat emosi. Ditata dulu baru menulis. Barangkali saya, anda , dia, mereka perlu belajar banyak untuk tidak melakukan tindakan konyol membabi buta mengolok -- olok sementara diri sendiri masih banyak kekurangannya.Â
Rasanya kedunguan amat terasa ketika melihat betapa banyaknya pengamat yang begitu memukaunya mengolah kata.... Saya hanya ratusan kata saja sudah kebingungan menyimpulkan. Lah para pengamat itu bisa berjam- jam membeberkan kekurangan- kekurangan kontestan debat.