Ada dua kubu yang berbeda pandangan saat menanggapi debat Capres. Yang satu sudah yakin bila debat kali ini sudah ketahuan siapa pemenangnya.Â
Dalam segala segi sudah ketahuan siapa yang bicara dengan data, yang satunya hanya bicara dan menanggapi secara umum minim data. Yang satunya aktif menyerang dan menjawab dengan yakin yang satunya ragu tetapi mendapatkan poin dari sikapnya yang mengakui pencapaian capres lainnya.Â
Dua capres mempunyai performa menarik dan dua duanya menunjukkan betapa debat hanyalah debat, persaingan hanyalah masalah perbedaan visi. Mereka selesai dan tidak memperpanjang masalah sehabis debat. Tidak demikian dengan netizen, pengamat, pendukung dari kubu kampret dan kecebong.
Dengan gula- gula yang sengaja ditambah- tambahi, dengan meme yang sengaja menguras kubu sebelah diskusi, perang kata- kata terus dibawa saat bikin status di media sosial. Otak mulai panas sebab sumbu emosi lebih mengemuka dari mengemukakan sikap ya saya akui kelebihan dan kekurangan capres.
Obyektifitas dalam mengambil sikap itulah yang masih dipertanyakan. Dua kubu saling klaim dengan perasaan, emosi, dan ego masing- masing. Jelas tidak ada yang mau mengalah. Semua pendukung fanatik jelas mempunyai argumen dan gila sungguh gila semua mengusung capres merekalah lebih unggul.
Sindiran- sindiran merebak menjungkalkan kewarasan. Mereka berada di tempat tinggi di mana kebenaran adalah subyektif. Secara data dan performance mungkin sudah terlihat siapa pemenangnya tetapi pendukung loyalis dan fanatik serta pengamat partisan pasti akan mencari titik lemah entah dari data, hal- hal yang luput dari pembicaraan atau dicari - cari dari gesture, ekspresi wajah dan bla-bla-bla.Â
Mereka di tataran tinggi di mana yang lain lewat. Mana pernah mereka mengaku dungu di depan lawannya. Mana mungkin mau mengakui kekalahan meskipun fakta sudah terpampang. Di stasiun televisi sudah terpetakan ke mana arah pengamat dan host mengarahkan penilaian.Â
Indonesia memang dikelililingi manusia cerdas yang amat sigap, lincah/ethes saat berdebat tapi giliran melakukan eksekusi melempem. Lihat kurang apa anggota DPR. Mereka terpilih cerdas dan mempunyai modal tetapi mengapa membuat undang- undang sampai waktunya hampir habis tidak kelar- kelar.
Bahkan ada wakil ketua DPR kerjanya hanya mantengin media sosial dan rajin ngoceh. Padahal DPR khan harusnya mempunyai keterhubungan dengan pemerintah, siap mengetok palu dan tanda setuju dengan berbaga kebijakan pemerintah, giliran berdebat dan Presiden sedang mengemukakan fakta seakan berkelit dan tidak mengakui hasil kerja samanya. Malah di media di televisi mereka amat aktif mengkritik segala kebijaksanaan pemerintah.
Saya menonton debat tersebut. Mencoba tidak duduk dengan condong ke salah satu kubu. Artinya saya akan tersenyum dengan segala klaim kedua kubu. Maaf, saya harus mengakui Jokowi dengan segala kekurangannya masih lebih unggul dalam debat kedua ini. Tetapi saya juga memuji performa Prabowo yang tidak seperti timses pendukungnya yang secara ksatria mengakui kelebihan dan upaya kerja lawannya yang memang sudah terbukti.Â
Bagaimanapun sebuah kontes debat itu sebuah paparan wawasan dan pengalaman, bukan hanya menang kalah seperti yang diharapkan pasar taruhan tetapi mengetahui jeroan pikiran, wawasan, kematangan berpikir, kenegarawan, ksatria. Dan originalitas kontestan. Boleh dong obyektif menilai bukan  karena sentiment yang sudah terbawa ketika melihat Seorang Jokowi atau Prabowo.Â