Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Panas Dingin Hubungan Sastra dan Politik

9 Februari 2019   13:32 Diperbarui: 10 Februari 2019   10:50 877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: swide.com

Sastra sering membuat alergi penguasa, sastra pula yang berhasil meluruskan kenyataan sejarah yang kadang direkayasa untuk menghilangkan jejak betapa represifnya penguasa, maka banyak buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang diberedel, dimusnahkan dan berusaha dihilangkan dari rekam jejak sejarah, tetapi ketika karya sastra sudah menjadi buku percuma menghilangkan jejak literasinya karena meskipun ada masa tiarap, pergantian rezim bisa jadi karya itu akan kembali muncul sebagai bukti sejarah tentang betapa kelamnya sebuah rezim.

Muchtar Lubis pernah menulis amat kritis Orde Soekarno (Orde Lama) dan ia dipenjara karena suara kritisnya. Sastra susah terbungkam oleh represifnya penguasa. Sekarang yang terjadi di era reformasi masyarakat melihat kenyataan, ketika demokrasi mengalami euforia banyak politisi memanfaatkan kebebasannya untuk seenaknya memaki.

Ketika pemerintah membuka lebar-lebar kran demokrasi caci maki, suara nyinyir seperti tanpa terfilter. Semua boleh memaki atas nama kebebasan. Rasanya demokrasi mengalami krisis identitas karena kebebasan dimanfaatkan untuk saling memuntahkan kata-kata kasar seperti anak kecil yang dibebaskan dari asuhan bundanya masuk dalam lingkungan baru dimana tidak ada larangan, dan aturan-aturan yang mengikat sehingga anak kecil itu bebas berjumpalitan dan menyesap kata-kata baru yang sebetulnya tidak layak diucap dan diserap dalam bilik otaknya.

Sastra Dijadikan Alat untuk Memaki
Sebagai bagian dari budaya timur seharusnya masih ada adab, ada sopan santun berbahasa sehingga melahirkan suasana saling menghargai, saling respek meskipun beda pendapat dan pilihan politik.

Sekarang sastra sudah masuk ke ruang politik. Para politikus, penguasa, wakil rakyat telah mengutak-atik puisi untuk menyindir person by person. Oposisi boleh memaki dengan bahasa-bahasa kasar dalam balutan puisi yang katanya masuk ranah sastra. Pemerintahpun bersambut dengan membalas sindiran dengan puisi pula.

Lalu bagaimana kedudukan sastra sekarang, sebagai produk keindahan atau elemen kritis yang ingin mengingatkan yang sedang berkuasa untuk tidak semena-mena menerapkan kebijakannya untuk masyarakat atau kini menjadi milik wakil rakyat, anggota DPR untuk nyinyir, menyerang pemimpin secara personal bukan secara institusi.

Apakah karya sastra sudah menjadi alat politik untuk mendiskreditkan penguasa dan sebaliknya masyarakat media sosial memposisikan puisi bukan sebagai produk sastra tetapi produk dari suara kritis cenderung nyinyir dan amat kasar untuk menyuarakan dendam pribadi.

Puisi bukan lagi produk sastra tetapi sudah menjadi ikon dari cara oposisi menyindir pemerintah dan begitupun sebaliknya. Masyarakat media sosial perlu waspada. Perlu kecerdasan untuk tidak ikut arus saling melempar pantun dengan bahasa yang cenderung vulgar dan jauh dari keindahan karya sastra yang penuh makna, kontemplatif, meditatif dan filosofis.

Akal Sehat dan Perasaan dalam Sastra dan Politik
Menurut Plato warga negara ideal adalah mereka yang menggunakan akal sehat dibanding perasaan. Kini akal sehat masyarakat sedang dibombardir oleh serbuan hoaks dan opini entah benar entah tidak. Akal sehat diterjemahkan lain oleh dua kubu berbeda. Semua mengklaim akal sehat.

Ada sekumpulan cebong yang membuat argumen tentang akal sehat, begitu juga dengan kaum kampret yang berangkat dari posisi oposisi menganggap penguasa tidak punya rekam jejak keberhasilan. Mereka menihilkan kenyataan dan menganggap apapun keberhasilan pemerintah itu omong kosong.

Masyarakat sudah main perasaan. Akal sehat digadaikan untuk mendukung salah satu paslon. Politikus mendadak terkesima dengan produk sastra seperti puisi. Mereka menyerang, memaki dengan bahasa puisi. Lalu apakah dengan memakai perasaan dan menyingkirkan akal sehat sastra akhirnya menjadi bisa berjalan beriringan dengan politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun