Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Salib, Trauma Intoleransi dan Halusinasi Buzzer Politik

22 Januari 2019   21:08 Diperbarui: 22 Januari 2019   21:16 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang pilpres dan jika serius mengikuti isu --isu otak yang waras bisa menjadi "gemblung". Bayangkan semua bisa diotak atik gathuk hingga menjadi gorengan aneh bin koplak. Penganut agama seperti diuji dengan berbagai isu yang meresahkan.  Munculnya trauma masyarakat akan simbol salib yang muncul di Solo ( trotoar jalanan ). 

Maksud hati dari Pemkot Solo untuk menambah estetik kota ditanggapi berbeda oleh warga(ormas) yang dari awal memang ketakutan pada simbol - simbol agama. Salib seperti simbol menakutkan. Sementara bagi pemeluk Kristiani adalah lambang sakral. Salib  adalah lambang pengorbanan, penderitaan karena iman. 

Lambang Salib mengingatkan pada pejuang pembela iman Kristiani yang sering harus berakhir di kayu salib dengan penderitaan luar biasa, dipermalukan, dianggap penjahat, karena keteguhan iman. 

Yesus menjadi tokoh utama yang harus mati dengan cara mengenaskan. Disiksa, dicemooh, dibiarkan sakit hingga akhirnya di salib. Salib itu lambang penghinaan. Tetapi salib juga merupakan pengingat bahwa sm setiap orang yang percaya pada Kristus harus rela menderita mempertahankan imannya meskipun beban salib diharus dipanggulnya. 

Dalam era modern ini salib hanyalah simbol untuk mengingatkan betapa banyak godaan yang datang dari orang- orang yang berusaha menegakkan keimanannya. Godaan itu berupa rayuan untuk bisa melangkah meraih jabatan tinggi tetapi harus mengorbankan keimanannya. Godaan melakukan korupsi sementara iman tidak membolehkannya.

Jika umat Muslim ketakutan akan simbol - simbol salib, sebetulnya salah. Apakah dengan adanya gambar salib akan mengurangi keimanan umat. 

Apakah mereka lantas goyah  hanya karena melihat Salib di pelataran, di tempat umum? Tentu mereka terlalu terseret dalam isu- isu yang dibangun oleh buzzer di media sosial yang membuat umat beragama saling curiga.  

Malah Seharusnya Umat Kristiani merasa tersinggung karena simbol agamanya ditempatkan tidak semestinya hanya menjadi tempat injakan.

Saya tidak akan mengulasnya dengan serius, kalau  artikel seriusnya sudah dibahas oleh Pastur Bobby  Steven MSF. Kalau serius saya bisa dilempari batu oleh yang suka berpikiran jarak pendek. Karena arah artikel ini sebetulnya sudah dibahas lengkap olehnya Romo saya menyebutnya Romo Bobby yang kompeten karena beliau adalah Rohaniwan Katolik. 

Saya bicara awam saja sesuai kadar pengetahuan saya. Saya tinggal di daerah padat penduduk di Cengkareng. Diseputaran saya masjid dengan suara azannya, serta pengajian- pengajian akrab di telinga. Di kompleks baru saya sering diundang untuk mengikuti tahlilan dan doa- doa secara Muslim. Di TV sinetron- sinetron, acara- acara religi begitu banyak hadir dalam ruang, tidak ada celah untuk melakukan upaya kristenisasi. 

Lalu mengapa banyak ormas Islam perlu membentuk organisasi membela Islam. Bukankah semua kesempatan untuk meluaskan syiar agama sudah tersedia. Kalau kini terselib simbol salib yang secara tidak sengaja terlihat apa pengaruhnya. 

Kalau iman kuat dan beragama secara tulus tidak disusupi oleh kecurigaan, setiap umat beragama tentu akan berlomba- lomba dalam kebaikan. Lalu kenapa harus takut dengan sibol salib sementara dalam persepsi umat katolik Salib itu lambang penderitaan, lambang beratnya menanggung beban iman sebagai minoritas. 

Di Eropa Gereja- gereja sepi, bahkan sebagian mungkin sudah  beralih menjadi masjid, atau bangunan lain. Umat yang masih rajin ke gereja hanyalah manusia renta yang akhirnya sadar untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Ketakutan- ketakutan Kristen bukan dengan agama lain tapi dengan lunturnya kepercayaan pada agama. 

Mereka lebih mengagungkan teknologi, lebih memuja gadget yang seakan tidak  bisa lepas dari tangan. Coba, banyak anak muda, orang- orang yang merasa muda yang keranjingan gadget akan sangat kelimpungan jika kehilangan HP daripada kehilangan waktu berdoa. Tuhan baru masyarakat sekarang adalah teknologi dan karena hidup di era modern yang praktis dan serba instan harusnya ketakutan kaum beragama adalah pada teknologi itu bukan pada simbol- simbol agama yang sudah akrab dilihat sejak dulu kala. 

Rohaniwan saja sudah pusing menghadapi gempuran atheisme, pemujaan pada barang barang duniawi apa sempat melakukan ekspansi untuk menggembosi umat beragama lain? Seharusnya semua agama saling bekerja sama untuk memerangi pemujaan pada agama baru bernama teknologi canggih. 

Dengan teknologi canggih drone misalnya perempatan jalan jadi terlihat seperti salib. Trotoar di Solo terlihat menjadi ornamen salib karena gambar sepotong sepotong. Jika anda membentangkan tangan di pagi hari terlihat bayangan salib terkena cahaya pagi. 

Orang kalau terus berpikiran negatif akan selalu waspada karena secara tidak sengaja menemukan simbol simbol yang tidak berkenan di hati. Coba kalau tidak ada foto dengan memakai drone apakah sadar bahwa ornamen dititik nol kota Solo itu bentuknya salib.

ornamen di titik Nol Kota Solo dilihat dari atas (medan.tribbunews.com)
ornamen di titik Nol Kota Solo dilihat dari atas (medan.tribbunews.com)
Ayolah sobat, fokuslah untuk berbaik sangka. Di Indonesia masyakat sudah nyaman dengan Kebhinekaannya. Kalau saat ini ada yang memanas- manasi umat beragama dengan isu isu murahan please move on lah. Jangan seperti orang yang traumatis hanya gegara buzzer politik yang mengail di air keruh.  

Tetap fokus. Jika  iman kita kuat apapun pengaruh budaya dari luar diri kita tetap saja tidak akan menggoyahkan keteguhan iman karena Tuhan akan melindungi anda. Yang Sholat lima waktu tetap melaksanakannya dengan sepenuh hati, yang ke gereja tetap rajin beribadah, Yang rajin meditasi dan yoga, serta kontemplasi tetap rutin melakukannya.  

Yang tidak boleh dilupakan sebagai bagian dari masyarakat tolong menolong dan saling membantu wajib hukumnya sebagai sesama warga negara yang sama di mata hukum. Saling menghormati dan toleransi itu yang terpenting. Pilihan boleh beda teman dan sahabat tidak boleh putus. Itu saja. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun