Pekerjaan politisi salah satunya adalah dengan kepandaiannya berbicara, menangkap isu sensitif, lalu digoreng menjadi isu nasional. Tentu saja Politisi tidak sendirian ada media yang menjadi tampungan untuk menangkap bahasa komunikasi politisi untuk di lempar ke masyarakat. Politisi dan media berkelindan, berkolaborasi menghasilkan kegaduhan- kegaduhan yang semestinya tidak perlu terjadi. Tetapi apa lacur bahwa saling  ketergantungan yang tinggi antar media dan politisi memang tidak atau susah dipisahkan. Seperti simbiosis mutualisme. Tidak terbayangkan politisi dengan senyap berkampanye tanpa diliput media begitu pula rasanya tanpa manuver- manuver politisi apakah media laris dibaca?
Jika berbicara tentang pemilu, sepak terjang politisi, masalah- masalah yang muncul akibat kontradiksi dari para elite politik patut dicermati bahwa politisi menggunakan segala cara untuk menggilas lawan politiknya. Dengan kebohongan, dengan aksi tipu- tipu dan cara- cara non formal yang jauh dari norma kesopanan, agama, jauh dari kejujuran semua dilakukan dengan tujuan satu yaitu menang. Politik itu bukan bagian dari agama, bukan bagian dari idiologi tertentu manusia. Ia berdiri sendiri dengan menganut kesetiaan pada kepentingan yang abadi. Ia akan mudah berpaling jika kepentingannya tidak terakomodasi. Maka percuma  percaya 100 % pada omongan politisi.
Saya bukannya pesimis terhadap watak dan sengkarut jiwa politisi tetapi dari data, fakta dan kenyataan di lapangan mereka yang bergerak dalam bidang politik dan yang mampu bertahan adalah yang mempunyai sifat oportunis. Ia akan menggunakan kaca mata kuda, mempertajam feelingnya siapakah pemenang edisi berikutnya. Mereka mudah hijrah untuk tetap bertahan dalam konstalasi politik, meggunakan cara apa saja untuk memoles diri agar terlihat bersih di mata masyarakat. Jadi setiap pemilu ia bisa tetap aman dan nyaman di dukung masyarakat untuk tetap melenggang sebagai politisi apan atas, jangan sampai terpeleset masuk bui. Tetapi memang banyak politisi yang akhirnya terpeleset dan akhirnya meringkuk di penjara. Tapi dengan kekuatan uang dan kolusi yang masih tumbuh subur, para politisi yang pernah merasakan hiruk pikuknya penjara kembali lolos dan bisa melenggang ke kursi wakil rakyat.
Mesin media bekerja untuk mengaduk aduk emosi masyarakat, bersyukurlah untuk masyarakat pedesaan yang tidak begitu peduli dengan isu- isu yang berseliweran di media sosial. Bagi mereka yang sibuk mencari rejeki politik kegaduhan itu hanya angin lalu. Meskipun informasi kebohongan  berseliweran di sekitarnya nyatanya isu- isu tentang jeritan harga- harga naik, emak- emak mengeluh karena beban listrik yang terus merangkak naik dan situasi kondisi ekonomi memburuk tidak menyurutkan mereka bekerja. Ketika usaha satu ditutup mereka mencari alternatif pekerjaan lain, ketika usaha satunya gagal mereka masih mempunyai celah untuk bertahan. Pada tataran elite teori akademisi, retorika sangat diagungkan sedangkan masyarakat pedesaan lebih memilih bekerja tanpa perlu gaduh terjebak dalam kegaduhan yang ditimbulkan elite politik. Tetap saja mereka bisa mengais rejeki dari alam, dari lingkungan yang membuat mereka kreatif bertahan hidup.
Ketika saya pulang kampung, rasanya sebetulnya membawa kesombongan dalam diri saya. Dari segi informasi sebagai masyarakat kota tentu lebih terdepan, sebagai orang yang cukup terdidik rasanya  saya bisa bercerita tentang dalil teori bla- bla -- bla.Membawa diri dalam sematan orang kota apalagi hidup di metropolitian yang tahu segalanya tentang belang bentong trik kotor politisi, sebetulnya ingin bercerita banyak untuk meluruskan kegaduhan itu, tetapi ketika sudah masuk ke pedesaan, kesombongan itu meluntur dan segera berganti dengan rasa minder.
Mereka ternyata pejuang sejati kehidupan, bermodalkan ketekunan, kreatifitas, hampir selama puluhan tahun saya menjadi pendatang  di Jakarta, mereka telah berbenah meningkatkan potensi desa, mengumpulkan receh demi receh, tetap bisa guyup rukun dalam kegotongroyongan, ekonomi bergerak ke tingkat yang lebih mapan. Bahkan ketika awal 2000 an saya merantau belum banyak masyarakat yang mempunyai TV sekarang bahkan Parabola, sudah nangkring di masing masing rumah, mobil sekelas avansa sudah mampu terbeli dan jenis kendaraan pengangkut pasir mampu mereka pindahkan ke garasi rumah.
Saya yang bekerja berangkat ketika katahari belum nongol sampai senja menggelantung di ujung langit timur dengan perjuangan menembus kemacetan setiap hari masih harus terengah engah memenuhi sarat gengsi orang kota yang ingin berlama -- lama duduk di restoran, mencobai menu baru, memuaskan syahwat hedonism yang tumbuh subur di kota, sedangkan orang- orang desa cukup menggelar reog, Pengajian sederhana lalu sebagian hasil ditabung untuk memperbaiki rumah dan pelan- pelan investasi moda trasportasi. Begitu sederhana pemikiran warga pedesaan sehingga saya menduga mereka tidak perlu bermewah- mewah berdiskusi bersama dengan elite politik yang berbusa- busa berdebat tentang konsep ketatanegaraan, dan sedang membayangkan masyarakat tengah sekarat karena persoalan ekonomi.
 Salah Bung, Masyarakat Indonesia itu sangat mandiri, semakin ditekan semakin keluar daya kreatifnya. Lihat saja jika anda jalan- jalan di pedesaan. Dengan dana desa mereka bisa memberikan perbedaan agar ekonomi desa mereka bergerak. Bukankah sudah ada instagram, sudah ada media sosial, sudah ada tutorial di youtube. Inspirasi kreatif terwujud. Anda pernah membayangkan pergi ke Paris atau Australia (Brisbane). Mimpi itu bisa diwujudkan dengan membuat pesawahan seperti kebun bunga di Belanda, Dengan Menara Eiffel di Perancis dan gedung Teater di Brisbane Australia. Hasrat Selfie kurang tidak usaha khawatir mereka menyulap desa menajdi desa wisata dengan spot-spot selfie aneka macam. Dan wooow kamera mereka juga keren untuk mendukung dramatisnya karya foto mereka. Tidak kepalang tanggung.
Jadi jangan terlalu sombong dengan pintar bicara lalu merendahkan derajat masyarakat. Jangan beri suapan yang enak, cukup beri masyarakat pancing, mereka akan kreatif bekerja dalam tekanan dan mampu mewujudkan mimpi- mimpi. Jangan sepelekan mereka. Maka tugas pemerintah sebetulnya mudah. Anggap mereka mitra, sama- sama bekerja, di beri peluang untuk bermimpi dan difasilitasi ruang berpikir untuk mewujudkan mimpi itu. Keteladanan itu bukan membangun pesimisme, tetapi harus memberi tekanan untuk selalu optimis melawan badai kehidupan. Para politisi, jangan terlalu lebay mendramatisir keadaan. Anda salah, yang harus ada lakukan itu keteladanan, ketangguhan menghadapi tekanan dan selalu belajar dari kesalahan. Tidak usah menciptakan kegaduhan dan kebohongan itu trik konyol. Salam Damai- damai saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H