Masyarakat yang Terjebak dalam Putaran Konflik
Yang tidak fair mungkin bukan sosok pemimpinnya. Mungkin pendukungnya yang dengan enteng melontarkan kata -- kata "kurang etis". Dalam diskusi- diskusi di media sosial para pendukung tampak ngotot membela pemimpinnya seakan dewa yang tidak tersentuh. Banyak dari aktivis media sosial menggunakan data kurang valid untuk menyerang sosok yang dibencinya. Dan pola pikir pendukung kalau sudah "pokoke" Prabowo harga mati....Jokowi harga mati, Â maka pemikiran rasional tidak diperlukan. Mereka akan menganggap bahwa apapun yang dilakukan Jokowi salah... apa yang dilakukan Prabowo salah.
Penulis selalu menghela nafas, rasanya ngeri dengan kebencian- kebencian yang hadir di ruang ruang media sosial. Sesama saudara saling serang...mengamuk dengan bahasa rimba yang tidak menggambarkan sama sekali latar belakang budaya ketimuran yang memegang teguh sopan santun. Bahasa media sosial yang tidak terfilter cenderung menghalalkan perkataan jorok, rasanya mau muntah melihat akun- akun yang menebarkan ujaran kebencian dengan masif.
Kritik dan masukan itu penting untuk seorang pemimpin agar tahu kelemahannya di mana dan perlu perbaikan tetapi jika masyarakat media sosial dan terutama elite politik selalu menempatkan diri sebagai lawan yang lebih sering nyinyirnya tanpa upaya untuk memberi masukan membangun. Sosok yang sudah terlanjur cacat di mata netizen akan selalu cacat meskipun sudah bekerja keras untuk memperbaiki kinerjanya. Jadi budaya membully, budaya memaki, nyinyir menjadi warna dominan ketika diskusi di ruang maya tersebut.Â
Apakah bisa berubah? Gambaran di media sosial itu menjadi peringatan bagi masyarakat untuk kembali mengembangkan interaksi sosial dengan memperbanyak melibatkan masyarakat untuk berbaur, berdialog langsung. Ruang maya adalah ruang individu yang kurang menggambarkan realita lapangan. Banyak yang suka berimprovisasi, banyak yang hanya ingin meramaikan diskusi untuk memperoleh dukungan, subscribe dan target.
Masyarakat media sosial amat riuh jika bicara politik, tetapi keriuhan media sosial itu tidak terlalu mewakili suara masyarakat. Masyarakat sendiri yang saya lihat di lapangan lebih berkonsentrasi untuk bertahan hidup, bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Selain itu mereka mulai menyasar bahwa mereka perlu gawai yang lebih kompatibel untuk mendukung mereka hadir di ruang maya, memastikan diri menjadi bagian dari gegap gempita media sosial. Jadi persoalannya jika mereka aktif di media sosial untuk menebarkan kebencian itu adalah pekerjaan akun -- akun tidak jelas yang memang ditujukan untuk membentuk opini publik.
Memilih yang Terbaik dari  Masyarakat yang Ingin Bergerak Maju
Prabowo, Jokowi adalah pemantik interaksi masyarakat di media sosial yang sedang berubah. Masyarakat yang cenderung reaktif, terjebak dalam diskusi politik yang melelahkan. Masyarakat lebih menempatkan ruang maya  bukan untuk kegiatan produktif, tetapi lebih menyukai gosip gosip, menyebarkan cerita- cerita seru yang memantik diskusi seru. Kalau bisa memaki - maka media sosial digunakan untuk mengekspresikan perasaannya. Toh, hanya media sosial. Bahkan ada kecenderungan persoalan pribadi sengaja diekspos dengan membuat status galau, marah, kecewa dengan emoticon atau simbol --simbol lain yang terdapat di aplikasi medsos.
Wakil rakyat sendiri sekarang cenderung tidak ngotot menyuarakan keluhan masyarakat tetapi lebih bertindak sebagai oposisi atau pembela kekuasaan. Dalam diskusi diskusi publik wakil rakyat seperti tidak mewakili masyarakat yang memilihnya tetapi bertindak untuk menjadi corong pemerintah(mereka masuk dalam partai partai pendukung pemerintah).Â
Sedangkan wakil rakyat yang kebetulan berada di luar pemerintah cenderung menjelek- jelekkan kebijakan pemerintah dan tidak memberi celah untuk mengapresiasi kinerja pemerintah yang baik dikatakan  baik. Mereka hanya melihat kesalahan sebagai bahan untuk menjatuhkan, bahan untuk melontarkan kritikan.
Jokowi boleh jadi pesakitan di mata oposisinya dan dewa bagi pemujanya, demikian juga Prabowo selalu menjadi sasaran tembak yang manis untuk diobok- obok masa lalunya oleh sebagian pendukung Jokowi, dan ditempatkan sebagai wakil dari Orde Baru dan pelanggar HAM berat dan cacat di mata mahasiswa.Â