Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Genderuwo, Sontoloyo dan Politik Sakit Hati

13 November 2018   14:09 Diperbarui: 13 November 2018   14:11 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banyak politisi kebakaran Jenggot ketika Presiden Jokowi melontarkan istilah Politik Genderuwo (medan.tribunnews.com)

Para politisi harusnya sadar diri hanya karena hasrat kuasa mereka menyembunyikan kenyataan bahwa sedikit banyak ada kemajuan yang dicapai oleh Indonesia. Masalah dolar naik, rupiah melemah, daya beli masyarakat turun adalah masalah global yang dihadapi oleh negara akibat ekspansi Amerika serikat untuk merusak perekonomian dunia. Mau tidak mau Indonesia tentu terkena dampaknya. Tetapi jika menghadapi inflasi, gonjang-ganjing dunia itu dihadapi dengan saling menyalahkan, saling melempar anggungjawab bagaimana negara bisa maju. Di saat negara lain saling berpelukan membangun optimisme di Indonesia, agama, moralitas, politik saling berbenturan hingga terkesan sesamawa warga negara saling berdebat untuk hal- hal yang substansial. Ketika elit politik mengkritik yang terjadi adalah saling menjatuhkan, saling melemparkan kata- kata yang membangkitkan emosi. Lihat saja acara debat di televisi. Di mana etikanya ketika seorang bicara, belum selesai bicara harus dipotong utnu menggunakan hak bicaranya membantah dan membangga-banggakan partainya atau junjungannya.

Bagaimanapun Presiden, Calon Presiden itu manusia biasa, masih sering salah dan tidak sempurna. Janji- janji politik bertahun tahun lalu mungkin belum semuanya terealisasi. Banyak polisi kritis sekdar kritis, asal beda tidak disertai dengan data valid untuk membantah argumentasi, merek malah saling mengungkit kekurangan fisik, ideologi, keyakinan yang bisa menimbulkan efek domino berupa diintegrasi bangsa.

Sudahlah Genderuwo, sontoloyo itu hanya metafora agar para politisi tidak meniru tingkah laku genderuwo yang digambarkan sering menakut-nakuti. Untuk melangkah maju banyak tantangannya, banyak hambatannya tetapi bukan berarti harus pesimis dan percaya akan gagal. Sebuah usaha harus disertai optimis untuk sukses di masa depan tidak ragu dan takut akan berakibat gagal.

"Ojo koyo genderuwo le, isane  mung medhen-medheni "(jangan seperti genderuwo nak, bisanya hanya menakut- nakuti saja)

"Ora ono sing ora bisa dilakoni yen kowe percaya."(Tidak ada yang tidak bisa jika kamu percaya/yakin(optimis).

Jangan hanya sakit hati hanya dikatakan jelek oleh orang lain apalagi oleh orang yang sudah makan asam garam dunia. Sesekali perlu menengok diri sendiri apakah dalam setiap relasi dengan orang lain cenderung sering menjelek-jelekkan orang lain daripada meneliti diri sendiri. Saya pikir politikus kita masih seperti pepatah Semut di seberang lautan nampak sementara gajah di pelupuk mata tidak tampak. Genderuwo itu bukan hanya di istana, di parlemen tetapi jika dihati orang- orang yang dengki, iri dan sakit hati. Salam damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun