Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apa Enaknya Menyebarkan Informasi Hoax

5 November 2018   14:58 Diperbarui: 5 November 2018   15:04 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar www.nu.or.id

Sampai sekarang saya masih bingung bagaimana manusia tega hati menyebarkan berita tidak benar untuk menjatuhkan nama orang lain. Naluri manusia atau manusia memang sudah mempunyai gen untuk menyukai kriminalitas, mempunyai naluri untuk menjatuhkan dan senang bila manusia lain susah dengan sengaja menyebarkan berita bohong.

Manusia dan Naluri Menyerang 

Manusia mempunyai kompas kehidupan bernama agama, mempunyai pegangan yaitu tuntunan dari ajaran-ajaran agama. Agama mengajarkan jalan lurus bukan mengambil jalan berliku. terang kebenaran selalu hadir ketika setiap manusia khusuk berdoa. Hanya setelah berdoa manusia kembali melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Manusia kemudian bermain- main dengan dirinya mengikuti naluri terperangkap rasa iri, terjebak dalam konspirasi untuk saling menjatuhkan, tersihir oleh mimpi-mimpi terbang tinggi, menguasai dunia, menguasai barisan manusia lain, menjadi penguasa, pemimpin yang berada dalam sebuah wilayah kekuasaan. 

Ketika manusia berpikir kekuasaan yang ada dalam otak adalah caranya untuk menang dengan mudah, bisa dengan cara licik, tipu muslihat atau dengan teknik diplomasi, orasi atau pendekatan dari hati ke hati, strategi meja makan, jamuan, pesta untuk meluluhkan manusia lain.Hakikatnya dalam istilah latin homo homini lupus( manusia serigala bagi sesam.a) istilah yangdipopulerkan oleh Thomas Hobes

Ketika hasrat kekuasaan datang setiap manusia mempunyai naluri untuk menyerang. Bertahan dan cara efektif untuk saling mengalahkan. Permainan dadu, catur, atau simulasi permainan lain digunakan sebagai jurus melumpuhkan musuh yang sama- sma mengejar kekuasaan. Jurus melempar berita hoak atau berita bohong sudah ada sejak dahulu kala. Ada ketika zaman masih lebih mengunggulkan naluri daripada akal untuk bisa menguasai musuh tanpa harus melakukan kontak fisik.

Era canggih sekarang ini manusia menggunakan media sosial untuk melakukan pencitraan, melakukan branding diri dan mencoba melemahkan lawan politiknya. Di Jawa perang sering menggunakan cara- cara kasar, halus bahkan dengan  yang susah dijelaskan dengan kata. Santet, ilmu sirep, ilmu sihir, gendam, ngrogo sukmo, lelaku mengembara mencari. Untuk melumpuhkan dan membuat musuh bertekuk lutut. Kelemahan manusia itu kalau dipangku mati artinya kalau diberi perhatian, diuwongke, atau di beri pujian,hadiah akan cenderung luluh hatinya dan tidak jadi benci.

Pada gelaran perang Mahabarata. Krisna membisikkan sesuatu kepada Prabu Puntadewa yang memang benar-benar suci dan tidak suka berbohong. Hal ini untuk mempengaruhi Psikologi Durna yang susah ditaklukkan dan dikalahkan hanya dengan perang fisik dan adu kesaktian. Strategi perang Kreesna adalah memberikan pernyataan bahwa Aswatama gugur di medan perang untuk didengarkan langsung Durna. Durna kalap dan hilang konsentrasinya hingga mudah dikalahkan. Padahal sebetulnya yang diucapkan lirih prabu Puntadewa adalah nama hewan peliharaan yang kebetulan namanya sama dengan anak kesayangan Durna Aswatama.

Berita hoaks sahabat politisi, sudah menjadi kebiasaan di setiap masa sengaja menggunakan aksi tipu menipu untuk melemahkan kekuatan lawan. Kalau pembaca sering menyaksikan drama tradisonal tentang cerita tentang kerajaan dan masa jayanya konspirasi licik dan cenderung brutal selalu ada dalam setiap masanya.

Sekarang ketika kontestasi politik memasuki dunia digital dan derasnya arus informasi dari berbagai lini masa, berita bohong, informasi sumir dan tidak jelas kebenarannya muncul spontan. Kalau bisa mengalahkan dengan menunjukkan kelebihan diri maka cara- cara negatif tidak perlu dilakukan. Kampanye hitam mewarnai setiap pemilu, baik pemilihan kepala desa, Bupati, Gubernur, Caleg maupun Presiden. Kontestasi selalu menyertakan nilai nilai kotradiktif bukan persaingan fair yang sama- sama mengusung rasa optimisme terhadap visi dan misi masing- masing calon.

Yang satu merasa lebih baik dari yang lain itu wajar karena setiap kontestan harus selalu yakin terhadap keputusannya menjadi pemimpin. Tetapi jika ada persaingan seimbang salah satu kontestan memilih menggunakan strategi black Campaign.

Dengan wajah -- wajah politisi dipoles menampilkan sosok elegan, religius, optimis maka drama kontestasi dimulai. Mereka menebar  pesona, menghamburkan uang untuk sebuah keyakinan masuk dalam gelanggang politik sebagai wakil rakyat syukur --syukur terpilih menjadi mentri kalau tidak duta besar juga sudah puas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun