Hampir menjadi kebiasaan sejak dari kecil aku menunggu koran sebelum kaki melangkah keluar rumah. Paling tidak secara sekilas aku mengintip berita- berita menarik yang nantinya akan dibaca secara serius. Ketika masih tinggal di desa, ayah sempat langganan koran daerah Kedaulatan Rakyat dan Bernas.Â
Jujur yang kubaca adalah tentang olahraga terutama sepak bola dan Basket, setelahnya berita tentang kriminal. Kolom-kolom yang saya sukai adalah kolom Umar Kayam yang berada di sebelah kiri kolom koran Kedaulatan Rakyat. Yang aku tunggu dari koran- koran itu terutama adalah cerpen Minggu.Â
Saya selalu terpukau membaca cerpen dengan takzim. Meskipun sampai usia sekarang ini tetap saja susah menembus cerpen dalam skala nasional namun membaca cerpen-cerpen itu selalu ada motivasi khusus bahwa suatu saat aku bisa menyumbang paling tidak satu cerpen yang bisa menembus Koran Nasional semacam Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia. Jawa Pos. Republika.Â
Lembaran Koran yang Akan Segera Menjadi Kenangan
Menjadi sedih ketika karena laju internet dan budaya digital telah menjadi produk budaya baru dan koran-koran konvensional dengan media kertas satu persatu tumbang. Terakhir adalah Tabloid BOLA yang sudah pamit akan mengakhiri masa penayangannya dan akan lebih fokus menggarap segmen digitalnya.
Rasanya tubuh tergetar jika membayangkan bahwa tulisan-tulisanku bisa terpampang di salah satu halaman di sebuah koran. Waktu itu sekitar 1997 masa di mana gejolak politik mulai nampak panas karena situasi ekonomi dan Indonesia tengah memanas. Aku sering menulis surat pembaca kalau tidak di Tempo, Bernas, Tabloid Detik(detak), Monitor.
Senang saja meskipun hanya berupa surat pembaca paling tidak ada kepuasan tulisan dan nama muncul di lembaran koran atau majalah. Aku masih menyimpan kliping surat pembaca itu dan sedikit tulisan yang dulu pernah muat di koran. Bahkan kwitansi dari media koran Jogja Bernas yang pernah memuat tulisan di halaman Opini.Â
Selanjutnya secara rutin tulisanku masuk di majalah lokal Praba di Jogjakarta hampir setahun penuh sebelum aku bekerja di Jakarta sebagai guru dan meninggalkan gelanggang tulis menulis yang waktu itu sepertinya menjadi passionku.
Sensasi dari Berisiknya Kertas dan Bau Kertas
Koran, bau kertas, bunyi berisik lembarannya, tampilan foto-fotonya yang menginspirasi, kolom-kolomnya, akan selalu membuat rindu. Kini koran-koran mulai bertumbangan, tidak terbayang berapa ribu orang yang mulai berpikir untuk gantung rompi karena sepinya pembeli yang tidak lagi tertarik lembaran-lembaran kertas. Mereka lebih peduli pada layar gawai multifungsi.
Tumbangnya koran tentu merembet pada sejumlah kuli tinta yang banting stir, percetakan yang sudah mulai berpikir untuk menyingkirkan mesin-mesin cetaknya entah kemana. Mobil-mobil pengangkut koranpun mulai harus dihitung untuk dialihfungsikan. Dan orang-orang mulai jarang melihat pengecer, loper koran yang berkumpul pagi pagi buta untuk memilah-milah koran yang akan dikirimkan ke pelanggannya.
Tumbangnya sebuah perusahaan pers tentu akan berdampak pada ekosistemnya. Banyak yang menggantungkan hidup dari pergerakan media mainstream tersebut. Kalau dipikir secara kemanusiaan memang berat tapi mau apalagi, menjadi percuma jika ribuan cetakan koran itu dilirikpun tidak terutama oleh kaum milenial saat ini yang berpikir pragmatis, menyenangi budaya instan dan sedang tergila-gila pada mesin pintar bernama ponsel.
Hampir setiap tahun bahkan dalam hitungan bulan muncul perubahan dan media mau tidak mau harus memanfaatkan teknologi digital untuk memulai pertempuran di medan bisnis informasi. Salah satu modalnya adalah menyasar kaum milenial, merangkul pegiat literasi digital, merayu mereka menghidupkan platform blog, memberi iming-iming hadiah agar para penulis literasi yang awalnya hanya menulis karena hobi menjadi garda depan pemberi informasi dan sumber pendapatan iklan.
Semakin menarik tulisan tentu saja akan menggeret iklan, semakin banyak iklan maka perusahaan media digital menjadi semakin hidup, dolar mendekat, kekuatan modal bertambah.
Ketika koran-koran mulai lusuh tidak terbaca lagi, perlahan mau tidak mau aku memang harus selingkuh dengan gawai. Harus mulai menghitung untuk menambah budget kacamata, karena semakin tua, semakin sering melototi gawai kacamata tentu akan semakin tebal dengan vonis pada mata ditambah lagi disamping plus, minus, juga silindris.
Ketika koran-koran tinggal sebuah cerita, bagaimana dengan buku. Sampai saat ini sih belum ada selentingan kabar buku akan bernasib sama dengan koran rontok satu per satu, tetapi bisa jadi semakin praktis pola pemikiran manusia buku-buku mungkin tinggal kenangan. Orang-orang tidak lagi bisa memanfaatkan koran bekas untuk membungkus makanan, memanfaatkannya untuk alas lantai dari ceceran cat.
Hari ini hari terakhir untuk Tabloid BOLA, kami akan sangat rindu mendengar berisiknya suara koran, menyesap bau khas dari lembaran-lembaran kertasnya yang membuat mata terbelalak, sesekali harus kami kliping artikel-artikel yang menarik apalagi yang berasal dari tulisan sendiri.
Ketika kebahagiaan itu memuncak saat menerima honor hasil jerih payah berpikir dan menyusun tulisan-tulisan yang yang bisa dipertimbangkan redaksi untuk ditayangkan dalam ribuan lembar kertas yang didistribusikan kepada pecinta bacaan yang masih mengedepankan kewarasan daripada hanya sekadar mencetak berita-berita bohong yang datanya susah dipertanggungjawabkan.Â
Kalau aku sih masih sangat menikmati nikmatnya membaca koran. Apalagi ditemani oleh singkong rebus dan seteguk teh hangat dengan bongkahan kecil gula batu. Ups.... Sedap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H