Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rembulan Menangis Tersedu

16 Oktober 2018   09:41 Diperbarui: 16 Oktober 2018   10:47 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar.thuvienhoasen.org

Ia adalah rembulan. Ia adalah cahaya dalam gelap malam. Beberapa hari ini aku merasa rembulan tengah tersedu. Sepertinya ada yang dipikirkan. Matanya melirik pada gumpalan-gumpalan awan hitam berarak. Dengan gambar-gambar menyedihkan. Perasaan Rembulan terbawa hingga tersedu dan dengan lelehan air mata yang akhirnya menjadi bandang di sebuah pulau, gempa di ujung benua dan meranggas panas di sejumlah hutan-hutan yang mulai hilang akar-akar tunggangnya.

Rembulan  terisak oleh gambaran - gambaran langit yang berputaran di atmosfer bumi. Saat ini bumi tepatnya di seputar tapal kuda Asia pasifik tengah bergerak. Lempeng bumi bergerak dan bergeser. Rembulan merasakan bagaimana gempa, banjir, kebakaran hutan, termasuk gempa politik sedang melanda. 

Berita-berita bencana bercampur dengan gaung politikus yang memainkan dentang kebohongan seperti berkelindan. Mereka tertawa, tersenyum memanfaatkan bencana untuk menyerang dan mempengaruhi masyarakat yang tengah berduka.

Betapa miris melihat awan berarak. Gambaran makhluk-makhluk yang menggantang luka baik psikis maupun jiwanya. Satu bencana belum selesai datang bencana lainnya yang lebih dahsyat. Belum sembuh luka perih menyaksikan rumah luluh lantang di terjang tsunami sudah datang bencana banjir bandang melanda belahan pulau lain. Sementara para politisi tertawa bersuka mentertawai pemerintah yang pontang-panting meredam luka akibat bencana.

"Memang sungguh lucu manusia bumi, saudaranya berduka masih bisa tertawa dan mengeluarkan meme-meme nyinyir di media sosial."

"Kau boleh mengritik pemerintah tapi tidak boleh mengritik lembaga Perwakilan rakyat dan lembaga hukum."

"Dagelan apakah ini."

"Ya dagelan politikuslah. Sekarang yang paling lucu mereka. Pelawak senior saja lewat."

"Tapi apakah tidak terbesrsit duka lara melihat saudaranya merintih sedih kehilangan harta dan handai taulan."

"Mereka malah bersuka karena akan menjadi senjata baru untuk melakukan kampanye negatif dan sekaligus Black Campaign."

"Sontoloyo"

"Ya begitulah."

***

Rembulan meratap, dan terisak sepanjang malam. Betapa tidak terisak melihat duka manusia yang terkena bencana. Mereka telentang, terkapar dalam tenda-tenda darurat. Menyedihkan. Bahkan masih banyak manusia tertimbun dalam reruntuhan tembok yang tersungkur jatuh kaget oleh getaran tiba-tiba dari lempeng bumi yang bergerak.

Rembulan seperti merasakan kedukaan, tetapi sebetulnya ia juga tengah menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan betapa bebalnya manusia. Semakin tua bukannya semakin mendekatkan diri dengan alam dan menaikkan kualitas diri dengan menebarkan kebaikan. 

Si kakek tua dan si nenek peyot menuliskan sejarah dengan membakar api emosi manusia yang dengan khusuk memegang gawai. Teori kebohongan dan konspirasi kebodohan. Berbasis ekonomi kebodohan.

"Lutunya manusia, ingin aku cubit pipinya, ingin kusentil jemarinya. Tapi mereka akan bereaksi negatif dan bisa melenyapkan aku di memori malam. Aneh jika tidak ada lagi pencipta semacam Franky Sahilatua atau Ibu Sud tidak lagi  menulis lirik tentang rembulan. "

Ya rembulan tengah menangis tersedu, terang malamnya menyimpan duka melihat isak, gemeretuk gigi dari orang --orang yang tengah kehilangan harapan. Tetapi melihat solidaritas orang yang bergerak cepat mengumpulkan dana tanggap bencana dan sigapnya orang-orang yang secara spontan datang menolong yang tengah berkabung, rembulan masih yakin ada titik-titk harapan tersembul dari pesimisme melihat perilaku politisi yang sedang panik menanti waktu dan kesempatan untuk duduk lagi di singgasana wakil rakyat.

Rembulan dengan jelas melihat tanda-tanda alam, karena selama jutaan tahun ia selalu merasakan repetisi alam ini memberikan bisikan akan adanya sebuah peristiwa. Bahkan banyak manusia kini lebih tidak peduli bahwa semesta alam harus disapa, diberi makanan, diberi  asupan dan dipelihara seperti halnya mereka memelihara jiwa mereka yang khusuk berdoa meminta perlindungan pada penciptanya dan rejeki melimpah serta kejayaan. 

Jika hanya mementingkan identitas dengan berperilaku religius tetapi menabrak norma alam apa gunanya. Apa gunanya rembulan sebagai sebuah penerang bagi gelapnya malam jika dalam keseharian jiwanya tetap kelam meskipun secara fisik mereka memperlihatkan diri sebagai sosok agamis dengan deretan teori-teori cinta kasih yang hanya berlaku hanya untuk komunitas mereka sendiri, sementara terhadap keyakinan lain mereka amat beringas.

Rembulan semakin tersedu melihat tingkah laku manusia yang hanya mementingkan baju, bukan perilaku tulus yang berasal jiwa yang teduh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun