Penghancuran gedung-gedung tempat manusia menyesap kasih sayang Tuhan dengan bermeditasi, berdoa khusuk dengan kata-kata yang yang muncul dari relung jiwa. Tuhan tahu meskipun manusia tidak berucap, Tuhan tahu meskipun  kata- kata manusia  sering menimbulkan salah persepsi bagi manusia lain.
Perseteruan kata telah menancapkan dendam yang susah terhapus, ia akan menjadi stigmata yang akan dikenang sepanjang hidup, ia adalah teror yang terus bergema dalam sanubari. Kebencian  meletup-letup hingga yang muncul hanya cinta buta, buta karena kepentingan buta hanya karena kesetiaan yang penuh nafsu kuasa.
***
Agama dan Puncak Perseteruan Kata
Aku begitu gagap dengan serentetan kata-kata yang datang dan pergi. Dalam ruang ruang sunyi tetapi gaduh oleh umpatan. Sampai kapan kita, kamu, mereka, ayang , mbeb, mas, mbak, akang, eneng, nona, Â tuan, puan harus saling menyakiti lewat kata-kata.
Tidak adakah kesempatan  berangkulan merayakan perbedaan dalam satu kayuh kebersamaan. Mengapa harus selalu gaduh. Satu Indonesia merayakan perbedaan dalam keceriaan. Keyakinan adalah pertanggungjawaban manusia pribadi terhadap Tuhan yang mencipta,  memaksakan keyakinan untuk sekedar penyeragaman itu bulsyit.
Boleh jadi aku adalah bagian dari makhluk yang datang  menyediakan waktu untuk menulis. Tersirat aku ikut menyumbang kata-kata terhadap gaduhnya media maya yang tanpa sopan memuntahkan kata-kata provokatif hingga persaudaraan sebangsa menjadi terbelah. Tetapi aku mengelak jika aku menjadi sumber masalah bagi puncak perseteruan kata-kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H