Cacat pikir dan cacat akal menurut penulis lebih mengerikan dibandingkan dengan cacat fisik. Daya rusak orang yang mengidap cacat pikir dan cacat akal lebih mengerikan. Pikiran mereka meskipun amat cerdas, banyak akal tetapi cenderung menyimpan bom waktu.Â
Dengan menciptakan teknologi, menggunakan teknologi canggih mereka bisa menciptakan senjata mematikan dengan meracik bahan --bahan kimia, peralatan elektronik, robot, aplikasi-aplikasi canggih untuk membunuh ribuan bahkan jutaan orang dalam sekejap.Â
Dengan akal licik mereka  bisa meneror pikiran orang-orang waras menjadi berpikiran radikal, ekstrem. Radikal tentu menuntut kesetiaan, menuntut loyalitas. Dan loyalitas kadang cenderung menjadi cinta buta. Nurani yang waras akhirnya terkontaminasi, jiwa yang sehat menjadi terganggu, akal yang sehatpun menjadi sakit.
Sakit Hati dan Gagal Move On indikasi Cacat Pikir?
Ketika pikiran dan otak tidak lagi normal atau katakanlah cacat kecerdasan menjadi tidak berguna. Hati nurani telah tergelapkan oleh cinta buta, kesetiaan permanen. Bahkan melihat orang yang sudah bekerja keras membangun bangsa dengan segala keterbatasannya tetaplah cacat di mata orang yang telah terkena virus cacat pikir dan cacat akal.
Paling tidak bagi yang sehat mereka bisa melihat sisi baik dan nilai plus orang- orang yang dikenalnya. Ketika pimpinan sudah bekerja keras untuk melayani dan sudah ada hasilnya mereka cenderung obyektif dan tidak sungkan memuji. Mereka juga akan mengritik jika ada kekurangan dan kelemahan pimpinan.
Apakah Politisi Punya Indikasi Cacat Akal?
Politisi di republik ini, amat gemar berpolemik, senang menebarkan kekurangan-kekurangan lawan politiknya. Bisa jadi pimpinan (dalam hal ini calon presiden) mempunyai sisi baik yang bisa menjadi modal baik memimpin bangsa, tetapi dalam lingkaran pimpinan potensial itu bercokol orang-orang yang mempunyai kekurangan yaitu cacat pikir dan cacat akal.Â
Kecerdasan yang dimiliki oleh orang-orang yang berada di sekitar calon pemimpin itu amat berbahaya karena mengandalkan trik-trik busuk, licik, menggadaikan nurani. Tujuan utamanya adalah menang dengan berbagai cara. Jika cara baik tidak bisa dilakukan apaboleh buat karena strategi meraih kekuasaan adalah dengan menerapkan formasi perang.Â
Di Tiongkok di kenal dengan strategi perang Sun Tzu. Filosofi perang menekankan satu tujuan yaitu menang. Mereka para panglima akan mengorbankan beberapa pion dan juga bidak bahkan mungkin mahapatih, tetapi tujuan selanjutnya adalah membuat raja tidak berkutik alias skak mat.
Dalam pemilihan calon presiden 2019 perang telah dimulai dengan memainkan isu-isu di media sosial. Hoaks, ujaran kebencian, kebohongan demi kebohongan terus dimainkan. Isu agamapun tidak lupa menjadi senjata untuk menggiring orang-orang yang cenderung fanatik dalam beragama memilih pemimpin yang bisa mengakomodasi orang-orang yang memanfaatkan situasi untuk menggiring opini masyarakat untuk beralih menjadi negara berbasis agama.Â