Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Adab Tawuran, Pengeroyokan, Melupakan Sila Kedua Pancasila

1 Oktober 2018   10:50 Diperbarui: 1 Oktober 2018   10:59 1837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sisi kemanusiaan yang hilang dari mereka yang melakukan pengeroyokan (dailymotion.com))

Kemana Makna Kemanusiaan yang Adil dan Beradab?

Video tentang aksi suporter yang mengeroyok Haringga Sirla itu sudah beredar cepat, ribuan bahkan jutaan mata melihat kebiadaban mereka para suporter fanatik dengan ekspresi riang gembira seakan --akan sedang menghajar tikus got yang nyelonong di tengah-tengah mereka. Keberingasan pemuda, remaja, orang tua itu seperti sedang menikmati pesta rakyat di Spanyol yang  ingin merasakan sensasi ketika Banteng marah dilepaskan di tengah kerumunan massa. Tetapi di depan stadion mereka beritual menangkap salah satu Persija, memukulinya, menghantam dengan balok kayu, benda benda tumpul lain seakan pesakitan, copet dan sejenisnya. Seberapakah kadar kemanusiaannya. Ingatkah ereka bunyi Sila kedua Pancasila yang berbunyi Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab?

Ketika mereka berkumpul, larut dalam emosi masa rasanya adab mereka larut, menguap. Setan, iblis, menari nari di depan mata, bisikan-bisikan terus bergemuruh di gendang telinga dan nuranipun akhirnya tertutup oleh hentakan riuhnya massa yang menikmati maninan baru. Mereka sadar tidak sadat telah larut dalam kegembiraan. Dan kegembiraan itu telah diselimuti kabut kelam yang memabukkan perasaan mereka.

Padahal sebelum berangkat mereka mungkin khusuk berdoa, rajin dan rutin sembahyang. Tetapi semuanya menguar tidak berbekas ketika ada provokasi masa. Bersama teman dan sejumlah orang dalam gelegar emosi meninggi mereka mengambil apa saja, membawa apa saja, melakukan apa saja hingga lupa bahwa mereka pernah belajar, pernah menghapal, pernah melihat Gagahnya Garuda Pancasila yang terpasang di tiap kelas. Apakah lambang Pancasila hanya terpasang sunyi tanpa arti. Lalu kemanakah pikiran-pikiran mereka saat duduk manis, mendengarkan guru PKn mereka yang dengan berbusa -  busa menerangkan tentang satu persatu sila dalam Pancasila.

Guru Terlibat dalam Penyebaran Ujaran Kebencian dan Intoleransi

Terkadang banyak guru yang ikut bersibuk ria di media sosial membawa isu-isu radikal, ikut berkomentar kasar, menyebarkan artikel-artikel provokatif dan larut dalam perdebatan yang bisa menimbulkan munculnya fanatisme agama, fanatisme kedaerahan. Padahal guru adalah garda depan untuk menumbuhkan sikap toleran, sikap keteladanan berperilaku, menumbuhkan rasa kemanusiaan dari pembelajaran anak di kelas. Dengan majunya peradaban dan derasnya arus informasi gurulah yang seharusnya mampu memberikan bimbingan agar arus informasi yang masuk dalam ranah pikiran pelajar diimbangi dengan logika berpikir dan tidak harus menelan mentah-mentah informasi dari media sosial.

Soekarno Menangis Melihat Video Pembunuhan Haringga Sirla

Saya membayangkan Soekarno menangis ketika menyaksikan betapa kejamnya kerumunan massa yang terdiri sebagian besar adalah pemuda remaja penerus masa depan bangsa. Mereka para perumus Pancasila seperti speechless menyaksikan video yang bahkan anak-anak kecil (saya menyaksikan anak saya yang berumur 10 tahun dikirimi Video gambar tentang pengeroyokan dan telah mengikuti akun WA menyaksikan dengan gamblang kronologi tewasnya Haringga Sirla dihajar supporter Persib).

sisi kemanusiaan yang hilang dari mereka yang melakukan pengeroyokan (dailymotion.com))
sisi kemanusiaan yang hilang dari mereka yang melakukan pengeroyokan (dailymotion.com))
"Ada apa dengan kalian anak-anakku?Tahukah kamu mengapa kami dulu memandang perlu Pancasila hadir, setelah kemerdekaan Indonesia tergenggam. Pancasila itu pemersatu dari ragam suku, bahasa, bangsa. Susah payah kami berpikir mengantisipasi munculnya perpecahan, menyatukan bahasa sebagai bahasa nasional agar bisa berkomunikasi antar saudara beda suku. Dengan Pancasila kami berpikir bahwa ada rasa toleransi, saling menghargai, bekerja sama, bermusyawarah untuk satu tujuan kejayaan bangsa. "Bung Karno bertanya dengan ekspresi sedih.

"......"

Senyap tidak ada jawaban karena masing- masing sibuk main game, selfie, membuka situs belanja, dan tertawa sendiri menyaksikan video lucu dari Bang ijal.

"Baiklah, Saya kecewa dengan kalian karena meskipun kalian cerdas dan sangat cepat menyerap perkembangan teknologi, tetapi ada yang terlupakan. Adab kalian, mental kalian belum siap. Revolusi mental sangat perlu untuk memberi dasar perilaku yang sesuai dengan Pancasila. Apakah Kalian tahu  artinya Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawatan/Perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?"

"...."

Tetap senyap, Semakin sedih Soekarno melihat perilaku generasi yang lebih akrab dengan gadget daripada kepedulian mereka pada lingkungannya.

"Baiklah, rupanya saya perlu mencari cara untuk agar kalian sadar, bahwa Pancasila itu sangat penting. Bukan sekedar pajangan tetapi sebagai sebuah pandangan hidup, falsafah hidup, nafas hidup bangsa. Melupakan salah satu silanya akan membuat bangsaini tercerai berai. JIka kalian abai dengan rasa kemanusiaan kalian lihat saja betapa ngerinya menyaksikan nyawa manusia dengan mudah melayang hanya karena fanatisme kalian terhadap klub sepak bola. Hari ini 1 Oktober adalah hari kesaktian Pancasila. Jika kalian merasakan betapa Pancasila telah menghindarkan kalian dari perpecahan, perang antar suku dan kehancuran karena agama.Lihat di Timur Tengah, Afganistan, Afrika.  Tanpa dasar yang jelas negara kalian akan bernasib sama dengan mereka."

sumber gambar : desk.gram.net
sumber gambar : desk.gram.net
Soekarno berlalu dengan perasaan sedih.

Maafkan kami Bung. Media sosial, gadget, hiruk pikuk informasi telah meneggelamkan kami, kami menjadi berjarak, seperti tidak ada ikatan sosial, seperti melupakan sisi manusiawi kami yang seharusnya saling sapa, saling membantu, bergotong royong membangun dalam suasana guyup rukun. Kami menjadi lebih keji dari binatang, tanpa ampun membunuh dengan penuh kegembiraan, lalu dengan entengnya gambar-gambar keji itu menjadi viral dan dapat dilihat oleh mereka yang masih di bawah umur.

Tawuran, budaya gerombolan, kerumunan sering menampilkan antitesis dari butir-butir Pancasila. Bahkan Politisi, pejabat pemerintahan sampai guru telah dan sering melupakan makna Pancasila. Ujaran kebencian, artikel-artikel tentang betapa banyaknya pergesekan akibat intoleransi datang dari mereka yang sebenarnya menjadi pemandu generasi masa depan. Guru, politikus/wakil rakyat, pejabat publik, pemuka agama ikut andil dalam penebaran ujaran kebencian, sikap-sikap intoleransi.

Kesaktian Pancasila Ternodai Oleh Perilaku biadab 

Mari kembali menatap Pancasila, bukan hanya saat memandang lalu hidup, tetapi sila-sila itu diimplementasikan, dilaksanakan dan menjadi pedoman tingkah laku sehari-hari. Kesaktian Pancasila dipahami sebagai sebuah tameng dari serangan ideologi lain yang memaksa menyingkirkan kebersamaan, dan mengubah menjadi ideologi berdasarkan agama, komunis, ekstrem kanan, radikalisme berbalut agama. Kita Pancasila, Kita Indonesia dengan ragam kebudayaan, suku, bangsa, bahasa, ras yang sama di mata hukum, sama di mata Tuhan. Jangan nodai Kesaktian Pancasila dengan perilaku biadab. Salam damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun