"Baiklah, Saya kecewa dengan kalian karena meskipun kalian cerdas dan sangat cepat menyerap perkembangan teknologi, tetapi ada yang terlupakan. Adab kalian, mental kalian belum siap. Revolusi mental sangat perlu untuk memberi dasar perilaku yang sesuai dengan Pancasila. Apakah Kalian tahu  artinya Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawatan/Perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?"
"...."
Tetap senyap, Semakin sedih Soekarno melihat perilaku generasi yang lebih akrab dengan gadget daripada kepedulian mereka pada lingkungannya.
"Baiklah, rupanya saya perlu mencari cara untuk agar kalian sadar, bahwa Pancasila itu sangat penting. Bukan sekedar pajangan tetapi sebagai sebuah pandangan hidup, falsafah hidup, nafas hidup bangsa. Melupakan salah satu silanya akan membuat bangsaini tercerai berai. JIka kalian abai dengan rasa kemanusiaan kalian lihat saja betapa ngerinya menyaksikan nyawa manusia dengan mudah melayang hanya karena fanatisme kalian terhadap klub sepak bola. Hari ini 1 Oktober adalah hari kesaktian Pancasila. Jika kalian merasakan betapa Pancasila telah menghindarkan kalian dari perpecahan, perang antar suku dan kehancuran karena agama.Lihat di Timur Tengah, Afganistan, Afrika. Â Tanpa dasar yang jelas negara kalian akan bernasib sama dengan mereka."
Maafkan kami Bung. Media sosial, gadget, hiruk pikuk informasi telah meneggelamkan kami, kami menjadi berjarak, seperti tidak ada ikatan sosial, seperti melupakan sisi manusiawi kami yang seharusnya saling sapa, saling membantu, bergotong royong membangun dalam suasana guyup rukun. Kami menjadi lebih keji dari binatang, tanpa ampun membunuh dengan penuh kegembiraan, lalu dengan entengnya gambar-gambar keji itu menjadi viral dan dapat dilihat oleh mereka yang masih di bawah umur.
Tawuran, budaya gerombolan, kerumunan sering menampilkan antitesis dari butir-butir Pancasila. Bahkan Politisi, pejabat pemerintahan sampai guru telah dan sering melupakan makna Pancasila. Ujaran kebencian, artikel-artikel tentang betapa banyaknya pergesekan akibat intoleransi datang dari mereka yang sebenarnya menjadi pemandu generasi masa depan. Guru, politikus/wakil rakyat, pejabat publik, pemuka agama ikut andil dalam penebaran ujaran kebencian, sikap-sikap intoleransi.
Kesaktian Pancasila Ternodai Oleh Perilaku biadabÂ
Mari kembali menatap Pancasila, bukan hanya saat memandang lalu hidup, tetapi sila-sila itu diimplementasikan, dilaksanakan dan menjadi pedoman tingkah laku sehari-hari. Kesaktian Pancasila dipahami sebagai sebuah tameng dari serangan ideologi lain yang memaksa menyingkirkan kebersamaan, dan mengubah menjadi ideologi berdasarkan agama, komunis, ekstrem kanan, radikalisme berbalut agama. Kita Pancasila, Kita Indonesia dengan ragam kebudayaan, suku, bangsa, bahasa, ras yang sama di mata hukum, sama di mata Tuhan. Jangan nodai Kesaktian Pancasila dengan perilaku biadab. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H