Opening Ceremony Asian Games 2018 mendapat pujian luar biasa. Indonesia dipandang mampu menghadirkan energi positif kepada dunia. Indonesia sukses besar menghadirkan pembukaan yang menghibur dan memukau.
Apalagi Presiden Joko Widodo juga menjadi bagian dari pembukaan tersebut dengan ikut menjadi aktor utama dalam film pendek garapan Wishnutama Kusubandio.
Opening itu sempat menjadi trending topic di Twitter. Di Facebook pun kesan positif mengalir deras. Intinya Indonesia sukses menghadirkan upacara pembukaan kelas dunia.
Kebetulan event Asian Games itu berdekatan dengan Pilpres 2019. Bagi sebagian oposisi, Asian Games dinilai sebagai "pencitraan" petahana.
Jokowi dinilai memanfaatkan ajang kompetisi olah raga terbesar Asia itu untuk mengambil simpati kaum milenial. Ketika dunia menyoroti positif upaya Indonesia menghadirkan jamuan Asian Games yang dahsyat, oposisi seperti tidak terima dengan kenyataan.
Mereka mencari sisi lemahnya, di antaranya membuat kontra pendapat dengan menggulirkan isu bahwa pemerintah tidak serius mengurusi bencana di Lombok. Aksi Jokowi itu mengajarkan anak muda untuk kebut-kebutan, atau aksi stuntman Jokowi itu mengajarkan ketidakjujuran.
Sebab Jokowi yang dalam klip garapan Wishnutama itu tidak memerankan sendiri. Mereka menilai aksi Jokowi yang terkesan heroik itu mencederai masyarakat Jakarta yang menampilkan kesemrawutan, kemacetan.
Layaknya politisi mereka menggali kelemahan --kelemahan pemerintah yang terlalu menghambur-hamburkan uang rakyat. Mereka menilai lebih baik disalurkan ke orang-orang miskin yang terkena dampak kenaikan harga, kenaikan tarif dasar listrik dan makanan pokok.
Politisi berdalih bahwa penyelenggaraan tidak harus wah, sederhana tapi mengena, kalau perlu tidak lebih dari 100 juta, sisanya disumbangkan ke daerah bencana.
Saya yang sering membaca komentar netizen di medsos ini rasanya ingin ngakak guling-guling, salto, dan koprol. Tetapi apa daya sudah tidak muda lagi. Ada-ada saja komentar netizen, politisi, dan orang yang ingin mendapat simpati masyarakat
Kenapa tidak Pencitraan Bareng?
Saya jadi pengin usul kepada para politisi yang kebetulan sedang berjuang agar namanya terukir indah dalam sanubari masyarakat, Silakan Asian Games dijadikan pencitraan bersama. Datangi pertandingan-pertandingan Asian Games, sapa Atletnya, sapa penontonnya, bersama-sama teriak-teriak mendukung atlet yang berlaga.
Tidak perlu nyinyir bahwa Asian Games penuh muatan politik. Kalau ingin mendapat aplaus dan simpati kenapa tidak menjadi bagian dari masyarakat yang ingin agar para pejuang olah raga itu mampu mengukir prestasi. Tanggalkan ego sebagai oposisi.
Ambil sisi positifnya, serap energi positif dari kampanye perdamaian untuk Plestina dan rekonsiliasi Korea Selatan dan Korea Utara.
Jika petinggi negara Korut dan Korsel yang sedang gencatan senjata bisa berjabat erat dalam satu event olahraga, seharusnya para elite politik Indonesia mampu menyingkirkan ego. Bagi kebahagiaan dengan bersama mendukung atlet berjuang mengharumkan nama bangsa.
Tidak perlu curiga- mencurigai bahwa ada upaya pencitraan. Bukankah setiap politisi perlu pencitraan. Apa salahnya pencitraan. Membangun imej itu amat penting.
Jujur jika ditanyakan kepada setiap elite politik sadarkah bahwa mereka perlu pencitraan? Bukankah pencitraan itu adalah upaya membangun simpati.
Kalau membangun simpati tentu tidak harus dengan pongah mendatangi forum-forum diskusi, tampil di televisi dengan membawa data dosa-dosa pemerintah, membeberkan aib petahana dan memaki-maki siapa saja yang tidak sejalan dengan pola pikir mereka. Saling ngotot dengan titik pandang beda dalam memandang satu fokus yaitu konstituen.
Saya mungkin salah satu orang yang capek melihat tingkah politisi, pengamat dan orang- orang yang terus menggulirkan isu-isu yang berujung saling menyalahkan, saling membenci, saling tuding, saling menikam (karena dalam politik kesetiaan itu utopis yang ada hanyalah kepentingan yang abadi).
Politik Santun dan Riang Gembira
Politik seharusnya cair, tidak galak, tidak terkesan garang malah terkesan cair, riang gembira santai. Tidak perlu ngotot dengan menampilkan semburan kata-kata tidak senonoh. Bukannya sebagai bangsa beradab dan bermartabat lebih elok kalau para politisi itu bergandeng tangan melakukan pencitraan bersama.Â
Tidak berdosa kok, malah masyarakat lebih bisa tenang menilai siapa yang benar- benar tulus memperhatikan keluh kesah masyarakat yang terkena dampak dari belum meratanya pembangunan.
Politisi harusnya bekerja tulus. Mengritik boleh saja tetapi tidak perlu mengaduk-aduk emosi masyarakat, hingga menggiring masyarakat menilai bahwa politik itu kotor, keji, tidak sopan dan busuk.
Penulis ingin melihat mereka duduk bareng di tribun bersama spontan teriak- teriak untuk memotivasi atlet berjuang sampai habis-habisan demi Merah Putih seperti yang diperlihatkan oleh Anthoni Sinisuka Ginting atlet bulu tangkis kita.
Lalu ke mana nasionalisme Anda para calon legislatif, Anda para elite politik, jika hanya bersembunyi di balik-isu-isu dan ujaran kebencian.
Berilah teladan pada para netizen, jangan mereka giring untuk terbelah dan terus berperang opini. Kalau Anda ingin pencitraan silakan itu hak kalian. Tidak perlu malu.
Bukankah momen Asian Games adalah salah satu cara membangun sisi positif baik dari kubu "kampret" maupun "kecebong".
Sesekali Kampret dan Kecebong salaman. Damai itu indah kan. Seperti senyuman Raisa yang bikin nyess itu. Aih genit kau...Bro.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H