Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Numpang Rindu Kala Mudik

17 Juni 2018   12:22 Diperbarui: 17 Juni 2018   12:35 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyusuri Tol Bawen Menjemput Rindu (Dokumen Pribadi)

Dari jauh aku melihat pesta dalam lingkungan tempat ibu menumpahkan ketuban. Ia mengerang sakit sambil memiringkan tubuh. Setelah senja berlalu dan malam baru saja bercengkerama aku lahir dari Rahim ibuku, bersama tangisan kegembiraan melihat dunia. Sejak itulah aku meniti kehidupan berlelah, merasakan baik penderitaan maupun kegembiraan. Air mata yang kemudian tumpah itu adalah keharuan dan penderitaan.

Puluhan tahun lalu tidak terasa telah mengantarkan diriku menikmati kebebasan sebagai anak kecil, yang berlarian menyusuri sungai, menempuh berkilo-kilo jarak untuk berjalan menyusuri pematang sawah kehidupan. Aku menerima berbagai cobaan pun menerima kemerdekaanku sebagai anak kecil yang terlahir di sebuah desa dengan bentangan sawah menghijau, dedaunan pisang,pohon-pohon  berjajar di antara tebing-tebing curam. Burung-burung emprit, jalak suren, derkuku, serta burung hantu di malam hari selalu menjadi pengisi suara yang merdu hingga selama hampir 18 tahun aku selalu menikmati suara-suara musik alam nan merdu.

Sampai ketika akhirnya harus hijrah dari desa ke kota. Suasana beda jelas terasa. Kedamaian itu hanyalah angan-angan sebab di kota aku mesti terus berlari mengejar  impian demi impian. Recehan-recehan yang terkumpul sedikit demi sedikit mesti kukumpulkan untuk menciptakan surga dunia berupa kekayaan materi. Bolehlah setelah berlelah --lelah selalu dikejar waktu dan waktu, aku bisa memiliki rumah megah dan istri cantik. Tetapi sebenarnya kerinduanku adalah menikmati alam dengan suara-suara asli dari alam semesta, teman masa kecilku dan kemerdekaan menyusuri pematang sawah tanpa banyak beban.

Sekarang aku memang boleh dikatakan mampu secara materi tetapi kadang hidupku merasa sunyi, kesepian jiwa terasa saat harus berbaring di kamar tanpa musik, tanpa suara-suara yang kurindukan. Yang ada hanya musik dari televisi, gambar-gambar bergerak, sinetron-sinetron yang semuanya menipu mata dan telingaku. Aku tidak melihat ketulusan-ketulusan suara itu mampu memberi sebuah kemerdekaan, bahkan suara-suara itu seperti mengingatkan aku tentang beban kehidupan yang sepanjang hari bukannya  berkurang tetapi semakin bertambah. Nasib sial bisa tiba-tiba datang dan kebahagiaan bisa tiba-tiba lenyap saat usaha yang kurintis dengan berdarah-darah harus lenyap dalam sekejab oleh  mafia, penipu dan preman-preman yang bertebaran di kota ini. Sesaat setelah bangkrut aku seperti dilempar dalam lorong sempit, bersesak-sesak dalam kegelapan, kesepian tanpa teman, saudara yang mendekat.

Itulah liku-liku hidup. Aku harus melewati putaran roda kehidupan, ada saatnya di atas dengan menikmati kesuksesan, suatu saat harus terjerembab dalam lembah kekelaman dan penderitaan karena usahaku mengalami kebangkrutan. Kala terpuruk ingatanku terus dipenuhi oleh kerinduanku pada kampung halaman.  Jerit tangis masa kecilku hanyalah kekecewaan kecil dari kebahagiaan bisa berdialog dengan alam, berenang bebas di ceruk dalam sungai, menyusur batu-batu sungai besar sambil bertelanjang  seperti halnya anak-anak kecil yang bebas merdeka.

Kini anak-anak kecil serasa hidup dalam dunia mereka sendiri-sendiri, tersedot perhatiannya oleh permainan game yang merampas kemerdekaan anak-anak menikmati alam semesta. Mereka telah hidup dalam dunia rekaan, fantasi-fantasi dari sebuah benda bernama Gawai yang didalamnya dipenuhi gambar-gambar maksiat, kata-kata kasar, serta makian-makian kotor. Game-game yang munculpun seperti mengajari anak untuk berperang, berkompetisi dalam alam khayalan dan gambar-gambar grafis yang sebetulnya tidak bernyawa.

Inilah kesunyian sesungguhnya, anak-anak lebih suka larut dalam dunia mereka sendiri sementara tidak ada lagi dialog sehat bapak dan anak, ibu dan anak perempuannya serta suami dan istri. Alam telah panas oleh impian-impian anak-anak oleh tokoh tokoh rekaan yang dibuat oleh manusia. Dan merekapun harus melewatkan waktu terbaiknya dengan, masa kecilnya dengan benda digital yang telah menjajah kemerdekaan masa kecilnya.

Tapi apa yang kupikirkan akan lain di mata mereka. Bagi mereka pemikiranku terlalu jadul, kuno dan "Ndeso". Kecanggihan teknologi telah melahirkan inovasi, kecepatan dan kemudahan- kemudahan. Komunikasi tidak lagi berjarak, dialogpun bisa dilakukan tanpa harus menempuh jarak ribuan kilometer hanya untuk bertemu muka dan ngobrol. Sudah ada WA, BBM, Line dan berbagai aplikasi lain yang memungkinkan setiap orang bisa berdialog melihat ekspresi wajah tanpa harus beranjak dari tempat tinggal. Cukup mengusap gawai membuka layarnya dan akhirnya terhubung dengan orang yang kita tuju dengan modal paket data internet.

Tapi bagaimanapun canggihnya dunia tidak ada orang yang bisa menggantikan kebahagiaan masa kecil saat anak-anak bisa merdeka bertualang menyusuri alam, menempuh puluhan bahkan ratusan kilometer hanya untuk menuangkan gegelagak petualangan. Dunia sekarang sudah dipenuhi oleh individualisme hingga tidak lagi merasakan wajah-wajah bersimpati dan saling menolong dalam dialog hidup di sebuah dangau, gubuk tengah sawah, atau kelokan-kelokan kecil dari lembah-lembah ngarai yang seperti tersimpan melekat dalam ingatan anak kecil masa lalu.

"Kau hidup dalam masa lalu dan kami hidup dalam masa milenial, sudahlah ceritakan saja tentang masa depan tidak usah bernostalgia pada masa lalu, sejarah tinggal sejarah, sekarang kenyataan masa kinilah yang harus kau jalani."

Itu suara bathinku. Ya itu sebuah kenyataan. Ini melankoli bathinku saat belum tersedia waktu untuk mudik dan bertemu teman - teman masa kecilku.Bisakah teknologi menukar masa kecilku. Saya pikir tidak segampang itu teknologi bisa mengantarkan aku pada kenangan masa lalu. Aku mesti datang, menyusuri jejaknya dan menyesap hawa udaranya. Baru aku puas. Ah ternyata sunyi jiwaku karena aku tengah rindu alam masa kecilku yang jarang kutengok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun