Dunia seni rupa menjadi hingar bingar sejak seni rupa kontemporer ikut andil dalam memeriahkan pameran- pameran seni rupa baik di Indonesia maupun Dunia. Pemahaman awam seni rupa  hanya memahami bahwa yang disebut produk seni rupa adalah lukisan, patung dan seni grafis. Ternyata dalam perkembangannya Banyak ragam dalam seni visual.
Boleh dikatakan dengan munculnya komputer, produk digital dan produk grafis modern seni rupa menjadi lebih berwarna. Sebutlah happening art, Â Penggunaan media visual seperti fotografi, televisi, video, Infokus, memberikan banyak ide pada seniman kontemporer.
Butuh kreatifitas untuk menyandingkan konsep seni dengan penguasaan IT. Anak --anak sekarang sangat paham dunia digital dan kecenderungan mengembangkan konsep seni dengan media audio visual memberi warna tersendiri.
Pameran Manifesto Multipolar 6.0 yang digelar di Galeri Nasional Indonesia yang berada di depan stasiun Gambir Jakarta Pusat ini memberi pemahaman baru bagi penikmat seni. Di pameran ini ada produk Mural, Lukisan, fotografi, cuplikan-cuplikan adegan peristiwa tragis tragedi masa reformasi. Film Pendek bertema khusus.
Penikmat seni melihat dan mengapresiasi bienal kontemoprer yang digelar setahun dua kali itu sebagai sebuah pembelajaran seni visual baru. Mau tidak mau seni kontemporer memang akan menjadi pelengkap dari seni rupa konvensional lain yang dan Galeri Seni Sangat Peduli dengan perkembangan seni tersebut. Banyak anak muda terlibat dalam pameran kali ini termasuk seniman  yang biasa aktif di Gudang Sarinah.
Ketika memasuki pameran penulis sudah dihadapkan pada bentuk bentuk seni rupa multibentuk dari ruang interior yang berada di sebelah kiri pintu utama  beberapa patung menghiasi pameran (Patung kolaborasi produk patung murni dengan media digital. Ada pecahan pecahan batu dan pernak pernik sisa peristiwa tragis Reformasi 20 tahun lalu.
Ruang visual penulis mencoba memahami kritikan-kritikan yang datang dari narasi visual saat ini dan  dengan sabar penulis mesti harus  berpikir luas untuk bisa mencoba mengintip konsep yang hendak diinformasikan ke penikmat seni ini. Penulis melihat seni grafis yang sering ditemui di kafe-kafe dengan kebebasan visual yang tidak terpatok pada teori seni rupa seperti nirmana dan komposisi.
Penulis jadi ingat saat kuliah Nirmana. Tentu seniman --seniman sekarang itu lebih luas daya jelajah kereatifitasnya. Maka teori nirmana dulu dan sekarang tentu beda konsepnya. Tetapi secara garis besar pengetahuan tentang komposisi, sedikit banyak memberi dasar penciptaan narasi visual.
Semoga saja seni rupa terus berkembang dan menjadi sebuah kekayaan budaya. Paling tidak seni rupa ikut membangkitkan rasa nasionalisme dan merekatkan jalinan pertemanan yang sempat koyak moyak akibat perseteruan di dunia maya dengan pemicunya adalah polemik politik yang tidak pernah habis menguras energi masyarakat. Hanya budaya dan produk visual yang mampu mengritik tanpa menyinggung frontal .