Bermula dari Jakarta yang mengabarkan tentang politik sebagai pusat kegaduhan. Trik politik "jahat dan menyebalkan" rasanya lahir dari ibu kandung bernama ibu kota. Mengapa Jakarta yang notabene pintu gerbang Indonesia menjadi pabrik politik "gila?". Apakah tidak ada lagi sebuah contoh baik bagi pembelajaran politik yang santun dan bermartabat?Â
Padahal pusat ekonomi, pusat tata pemerintahan dan tempat-tempat orang pintar berkumpul. Saking banyaknya orang pintar, Jakarta begitu membuat iri daerah-daerah lain. Masyarakat cenderung menganggap mudah mencari makan di Jakarta. Orang-orang pintar dari daerah akhirnya berbondong-bondong ke Jakarta mencari nafkah.
Disamping mencari nafkah para pendatang terus bergulat dalam organisasi kemasyarakatan, membentuk ormas, bergabung dengan partai dan beraktifitas  politik. Di Jakarta para wakil rakyat dari berbagai daerah berkumpul, berbagai proyek besar berskala nasional dan internasional bermula. Pusat perdagangan dan transaksi bisnis, serta banyak peluang usaha datang. Bila beruntung perputaran uang trilyunan tergenggam dan sebagaian kecil dari mereka adalah pengusaha kelas kakap yang mampu mendikte perekonomian negara.
LIhat saja kegaduhan politik yang selalu muncul ketika pemilihan umum mulai berlangsung. Kampanye-kampaye hitam bermunculan, trik-trik busuk dimainkan untuk membuat lawannya jatuh dimata rakyat. Hampir semua politisi yang merasa kalah jika bersaing secara sehat harus memainkan isu, memproduksi hoax, menggunakan taktik jahat agar lawan politiknya jatuh wibawa dan reputasinya.Â
Meme-meme yang saling menyindir, hastag yang menyudutkan pemerintah yang berkuasa, kaos-kaos sindiran yang mulai beredar menjelang pemilihan pemimpin menjadi tolok ukur bahwa politik belum bisa dijadikan andalan untuk mengelola negara secara fairplay dan jujur.
Politik seperti ular beludak, politik seperti penanda bahwa orang-orang pintar itu tidak berbanding sama sisi dengan kedewasaan dalam mengelola tata pemerintahan. Kekuasaan memberi peluang orang-orang pintar untuk mengkianati kebenaran, politik membuat orang-orang yang merasa beriman, beragama, suci mengkianati sendiri ajarannya.Â
Dalam waktu - waktu terakhir ini isu-isu tentang partai Allah dan wacana tentang partai Allah bergema sangat kencang. Bermula dari rumah Tuhan ada tokoh intelektual yang memainkan isu-isu politik untuk menggoreng emosi masa /umatnya. Mereka digiring untuk membenci, mempercayai pendapat yang belum tentu benar menurut pribadi masing-masing. Pilihan politik itu adalah hak asasi manusia, tetapi kadang manusia cerdas berilmu tinggi memanfaatkan kecerdasannya untuk menggiring opini massa dengan isu-isu yang  patut dipertanyakan kebenarannya.
Politik memberi peluang untuk berbuat tidak jujur, mengkhianati hati nurani, mengarahkan manusia untuk berbuat bodoh karena lebih mempercayai isu daripada kenyataan. Seharusnya jika ada masalah, ada kesulitan komunikasi antara pemerintah dan rakyatnya dalam memahami kebijaksanaan politisi menjadi juru bicara agar rakyat mengerti maksud dari pemerintah.
 Tidak ada pemerintah yang akan menjebak rakyatnya hidup sengsara, tetapi setiap kebijaksanaan tentu tidak bisa memberi kepuasan semua pihak. Fungsi kontrol politisi adalah mengingatkan, memberi jalan keluar dan bersama- sama melakukan telaah setiap kekurangan yang dilakukan pemerintah. Tetapi jika membabi buta dengan menganggap semua kebijaksanaan pemerintah itu jelek itu namanya sentimen dan mata hatinya sudah terbalut kebencian akut.
Jika wakil rakyat merasa berhak menjelekkan pemerintah dan selalu berseberangan dengan apapun upaya pemerintah untuk lepas dari masalah jangan-jangan itu adalah karma dari kerajaan-kerajaan semacam Singasari, Majapahit yang selalu menggunakan trik untuk menjatuhkan pemerintahan sebelumnya.Â
Bermula dari Ken Arok yang membunuh Tunggul Ametung untuk merebut kekuasaan disusul kemudian Anusapati yang giliran membunuh Ken Arok itu berlangsung sampai kerajaan Singasari bubar. Demikian juga Majapahit harus bubar bukan karena pihak lain tetapi karena perang saudara yang menyebabkan kerajaan runtuh.
Jika saudara saling menjegal terutama dalam persaingan meraih kekuasaan apakah akan muncul preseden buruk bagi perkembangan politik negeri ini. Jangan sampai negeri ini harus runtuh hanya karena sesama saudara saling membunuh dan menjegal kekuasaan. Jika ingin maju setiap warga harus bantu membantu mewujudkan negara yang adil, makmur bukan dengan memproduksi kata-kata nyinyir sebagai upaya untuk menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa.Â
Hastag-hastag yang bertebaran semacam#2019GANTIPRESIDEN #BIARKAN KERJADULU #JOKOWITETAPPRESIDEN adalah dinamika politik tidak boleh ditanggapi dengan membawa emosi berlebihan, perbedaan itu wajar tetapi emosi harus terkendali. Jangan jadikan hastag-hastag itu media perang komentar di media sosial bahkan sampai upaya pembulian di arena yang seharusnya netral semacam CFD (Car Free Day).Â
Jangan pula pembagian sembako, bantuan-bantuan kepada orang miskin dimanfaatkan untuk kampanye politik, sungguh tidak elok! Hidup damai-damai saja tidak harus main fitnah yang ujung-ujungnya membuat masyarakat terbelah.
 May Day,Buruh, Politikus dan Hari Pendidikan Nasional
Hari Buruh Internasional jangan dijadikan tunggangan politik. Para buruh yang secara riil status politiknya lemah dengan mayoritas berpendidikan rendah menjadi makanan empuk politisi untuk memainkan isu --isu krusial yaitu upah rendah, ketidakadilan. Dengan memainkan isu pemerintah kurang berpihak pada buruh, terjadi distorsi antara nasib pengusaha dan buruh dibentur-benturkan hingga muncul demo berjilid-jilid.Â
Tuntutan relatif sama yaitu kenaikan upah buruh. Dan mereka akan selalu nmggelar demonstrasi jika tuntutannya tidak dikabulkan. Ini adalah problem negara berkembang. Buruh ingin sejahtera kalau perlu upahnya sama dengan professional, mendapatkan rumah, fasilitas komunikasi. Padahal dalam hukum ekonomi pekerja massal harus diupah sesuai porsi kerjanya.
Sayangnya para pekerja terlalu memandang ke atas tidak menyesuaikan diri dengan kemampuan diri. Jika menjadi buruh yang harus menyesuaikan pendapatan dengan tuntutan hidupnya. Jika kelas buruh ingin berperilaku sama dengan manager maka besar pasak daripada tiang. Keadilan itu bukan sama rasa, sama rata seperti yang didengungkan oleh komunis.Â
Keadilan itu relatif, sesuai dengan kemampuan, keahlian dan kapabilitasnya dalam setiap pekerjaan dan usaha diri masing-masing orang. Jika pekerja selalu menuntut dan menuntut upah tinggi tetapi kinerjanya tidak sepadan tentu akan mempengaruhi daya saing perusahaan. Jika konflik dipelihara dan mempengaruhi investor untuk menanamkan modalnya membuat perusahaan yang semua prospektif menjadi suram karena ulah sendiri. Jadi dewasalah para buruh. Sesuaikan pendapatan dengan gaya hidup masing-masing.
Jika anda tidak bisa mewujudkan cita-cita karena merasa berpendidikan rendah upayakan anak keturunan anda mendapat pendidikan layak sehingga bisa mengubah nasib keluarga anda. Selamat Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional yang kebetulan berurutan 1 Mei diperingati sebagai hari buruh Internasional dan 2 Mei  Sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Penulis adalah  Guru,blogger, peminat sosial budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H