Ayah, aku ingin melihat engkau gembira, tertawa lantang saat melihat adikku tergelak lucu dengan polah tingkahnya yang mirip UPIN dan IPIN. Sesekali ingin kupijit segenap tubuhmu agar kau bisa santai barang sebentar.Â
Yuk mari main catur atau main gundu untuk melupakan beban yang kau sandang. Mari berbagi rindu saat kau menceritakan dengan riang dan gembira saat-saat kau begitu bebas menjelajah ruang dan waktu.
Ayah, betapa waktu telah memenjarakanmu, tapi kau telah memilih  menanggung beban  bagi tuntutan berat sebagai ayah. Cinta kau pada kami memang tidak terbilang dan semulia seperti ketika seorang penyair menggambarkannya pada sosok ibu.Â
Tapi aku katakan nanti aku akan seperti Ayah, aku akan seperti sosok kurus dengan mata menanggung beban, mengharapkan setitik kebebasan hadir di antara tuntutan-tuntutan kami yang melambung tinggi, apalagi aku hidup di generasi jiwa batu yang semuanya hanya diukur dengan harta, uang dan kenikmatan.
Barangkali ini cerita pendekku tentang ayah yang menolak ribut hanya demi perdebatan  tidak penting. Ia diam, tidak pernah memperlihatkan air mata tumpah. namun dengan tekun ia wujudkan bulir-bulir keringatnya untuk seperiuk nasi keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H