Apakah Anda pernah merasakan stres sampai mendekati depresi melihat kenyataan hidup semakin lama semakin berat. Banyak tekanan, banyak tuntutan sementara idealisme, ajaran kebaikan dari agama tidak membantu mengurangi kesintingan manusia menterjemahkan ajaran secara salah. Stres berlarut-larut dan menumpuknya persoalan yang ada di sekitar membuat banyak manusia kehilangan akal budi, kehilangan kendali jiwa.Â
Kebudayaan sebagai basis dasar untuk memberi keseimbangan antara logika dan nalar, serta kehalusan budi tidak berdaya membendung manusia saat lupa bahwa ia manusia berbudaya, yang mempunyai akal bukan sekedar naluri. Beban psikologi, tuntutan lingkungan, fantasi-fantasi, khayalan-khayalan yang tidak seimbang melahirkan halusinasi.
Dari halusinasi manusia lupa pada dimensi normal nalarnya sebagai manusia. Ia memasuki lorong gelap dan tiba-tiba tangannya tergerak entah menampar, entah menembak membabi buta, entah melakukan pelecehan seksual hingga tindakan brutal lainnya. Kepribadian-kepribadian manusia bisa berlompatan dari nafsu kebinatangan dan melankolisnya manusia yang tengah dirundung marah, sedih, kecewa dan frustrasi.
Pelan pelan meskipun secara fisik sehat psikisnya mulai terkontaminasi penyakit kejiwaan. Semakin dibiarkan semakin menjadi-jadi. Dan bodi dan tubuh yang sehat ini ternyata menyimpan kerapuhan. Ia mudah digiring untuk melakukan tindakan nekat. Menjadi pembunuh berdarah dingin, menjadi  pedofil, pemerkosa dan pengidap sadisme. Pendidikan dan pengajaran di sekolah tidak banyak menampung keinginan-keinginan pribadi manusia yang dipenuhi oleh mimpi-mimpi.
Teknologi yang membandang dan teknologi yang mempercepat kedewasaan telah membuat manusia terkaget-kaget secara budaya, mencuplik  opini Radhar Panca Dahana "Ketika Segala Berubah". Ya segalanya telah berubah. Radhar mengilustrasikan pada abad 18 seseorang  harus mengarungi lautan selama 70 hari untuk bisa pergi dari London ke New York.Â
Dua ratus tahun kemudian di sekitar paruh awal abad ke 20 kapal besar Olympic (1911) menyeberangi jarak sama dengan durasi waktu 7 hari. Berkat teknologi laju kapal bisa dipercepat 10 kali lipat. Lebih elok lagi sekarang hanya butuh 7,5 jam untuk sampai ketujuan sama.
Rasanya sekitar 20 atau tiga puluh tahun lalu manusia mempelajari teori Darwin tentang evolusi manusia yang buth beratus-ratus abad untuk bisa menjadikan evolusi sempurna. Sekarang teknologi dengan cepat seperti menyergap masa depan terlalu cepat. Tidak menyangka komunikasi dari ujung dunia keujung dunia satunya bisa di tempuh dalam hitungan detik.Â
Jika manusia bisa menjaga kewarasan tentu manusia bisa meladeni tuntuan kemajuan zaman tersebut, tapi banyak orang yang tidak siap dengan perubahan zaman sekarang ini yang seperti halilintar menyambar benda-benda bumi. Dari pucuk langit  dengan hitungan sekejap bisa menyambar dan membakar dengan sebegitu kejinya.
Kegilaan-kegilaan zaman sekarang ini telah menciptakan pembunuh-pembunuh atas nama teknologi, atas nama pendidikan, atas nama agama dan atas nama pribadi yang mabuk oleh modernitas. Logika kewarasan kita saat ini susah menebak apa yang dimaui Setya Novanto Sang Mantan Ketua DPR, Bendahara Partai sejak Orde Baru, juga teman-teman lain bahkan kita yang larut dalam pemikiran sempit untuk melakukan korupsi berjamaah.Â
Rasa keadilan dan nurani tergadai oleh nafsu berkuasa dan keinginan untuk tetap eksis sebagai selebritas. Bahkan suhu hukum mau menggadaikan harga diri hingga dewi  Hukum yang ditutup matanya pingsan oleh ulah pakar hukum Indonesia demi mempertahankan kekuasaan dan  intervensi politik. Bahkan agama ikut larut dalam pesta pora penjarahan uang negara.