Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ini Yogyakarta dan Sultanku di Tahun 1990

6 Februari 2018   12:34 Diperbarui: 7 Februari 2018   18:07 2662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yogya Sekarang yang macet (jogja -tribun tribunnews.com)

Nostalgia Yogya zaman dahulu

Tahun 1990-an. saya pernah tinggal di sana. Melihat derap kota pelajar dengan aktivitas seninya yang kental. Sematan Kota Pelajar masih relevan karena banyaknya perguruan tinggi serta pendidikan dasar serta menengah yang tersebar hampir di setiap sudut kota. Pun di daerah pinggir derap pendidikan terasa. Transportasi masih didominasi oleh kendaraan umum semacam Kopaja, Aspada, becak, andong, kereta. 

Saya masih leluasa menggowes sepeda pancal dengan nyaman, riang gembira. Sampai ke pelosok kota, mengelilingi njeron beteng, nongkrong di Alun-alun Selatan, Melihat gerebek Keraton di Alun-alun Utara jalan kaki, nongkrong di gedung seni sono melihat tingkah kocak seniman teater berlatih, seniman seni rupa dengan bebasnya nongkrong di sudut Kantor Pos melukis gedung tua yang berderet di Jalan Malioboro. Orang-orang yang berlalu-lalang pun masih saling bersapa. Nikmat benar. Maka agak lama juga saya menikmati derap kehidupan Yogyakarta yang kental nuansa seni budayanya.

Di warung HIK (Hidangan Istimewa Kampung) bersama teman berdiskusi tentang isu sosial politik dan guyonan waton ala Yogya). Kekuatan tradisi dan kesederhanaan jajanan membuat orang seperti saya yang berkantong pas-pasan aman, nyaman dan merdeka. Saya masih bisa ngutang ke warung dekat kos-kosan yang waktu itu cuma 150 ribu per tahun. Tapi ya nimba sendiri airnya dari sumur, isi sendiri kamarnya, dan listriknya yang penting bisa belajar.

Saya tidak perlu malu jika harus jalan kaki, karena banyak teman yang belum punya kendaraan. Dulu karena kuper atau minder jarang makan-makan di restoran dan berbau modern. Karena itu saya amat menghayati Yogyakarta yang masih sederhana, belum banyak hotel, belum banyak kendaraan pribadi. Sentuhan eksotika budaya itu adalah anugerah karena meskipun pekerjaan sekarang bukan seorang seniman tapi ingatan saya pada derap kehidupan seni begitu membekas.

Sebuah Hotel di Yogyakarta di sekitar Jalan Solo Atau Jalan Laksda Adisucipto tempat ini tahun 1990an adalah kompleks belanja termodern selain Malioboro (dok Pri)
Sebuah Hotel di Yogyakarta di sekitar Jalan Solo Atau Jalan Laksda Adisucipto tempat ini tahun 1990an adalah kompleks belanja termodern selain Malioboro (dok Pri)
Keraton, simbol kewibawaan, kehidupan mistis

Yogyakarta menyimpan banyak cerita tentang kehidupan "mistis". Cerita tentang keraton Yogyakarta yang penuh misteri (seperti yang dituturkan oleh teman, saudara, atau merasakan sendiri suasananya). Ada cerita-cerita metafisis yang susah dijabarkan dengan sudut pandang modern. Para pangeran, Sentono dalem, abdi dalem begitu mendalami ritual Jawa. Sentuhan budaya Jawa dengan aneka lampah prihatin dengan bertapa, berpuasa, berpantang, topo wudo (bertapa telanjang), mandi kungkum di pertemuan antar sungai, ngrowot (tidak makan sayur-sayuran), pati geni (menjauhi api), dan topo bisu. Meskipun Keraton Yogyakarta yang berbentuk kasultanan mayoritas Islam tapi pengaruh budaya kejawennya masih kental. 

Ritual yang kental nuansa kejawennya yang masih menghubungakan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, upacara-upacara yang mirip dengan apa yang dilakukan umat Hindhu masih ada dan menjadi salah satu daya tarik Yogyakarta. Orang asing lebih senang pada wisata unik yang tidak dimiliki daerah lain.

Di desa saya di Magelang Kenduri, wiwit masih sering dilakukan. Kehidupan relasi sosio budaya, agama masih amat harmonis. Dan maaf belum ada penduduk yang secara penampilan sangat kental menampilkan agama tertentu, yang berusaha menjauhkan relasi antar agama. Keharmonisan tampak terasa dari guyup rukunnya masyarakat saat gotong royong (istilah Jawanya: Gugur Gunung, sambatan).

Tidak perlu teriak-teriak mengingatkan tentang Pancasila nyatanya harmoni masyarakat masih kuat. Itu Yogyakarta zaman dulu. Tapi bibit-bibit fanatisme itu mulai datang, bahkan dari perguruan tinggi bernuansa keguruan. Banyak selebaran-selebaran yang terpasang di majalah dinding meski belum separah sekarang. Saya sendiri ketika itu, meskipun bukan muslim, selalu istirahat dan tidur di selasar masjid kampus.

Rumah Tuhan itu selalu terbuka kepada siapa saja yang ingin berteduh dan istirahat sejenak dari rutinitas belajar. Keraton masih berwibawa, mengayomi semua rakyatnya baik pendatang maupun penduduk asli. Suara gamelan dan suara-suara mistis yang terkadang secara tidak sengaja rajin mampir di telinga menjadi semacam kenangan yang akan dibawa para pelajar, mahasiswa untuk menjadi kenangan yang tidak akan pernah terlupakan.

Semangat Sultan untuk njajah deso milang kori (keliling desa dan hutan) menjadi semacam kerinduan rakyat akan raja yang sangat tahu akan keinginan rakyat. Bahkan saat demo menjelang jatuhnya rezim Orde Baru, Sultan adalah simbolisasi perubahan yang menggerakkan seluruh komponen masyarakat, baik pelajar, mahasiswa, dosen, petani, abdi keraton menyuarakan perubahan. Yogyakarta masih digdaya dalam semangatnya menyuarakan perubahan dengan mengusung sisi budaya yang kental.

Galeria Mall paling gaul via dr214ac.blogspot.com
Galeria Mall paling gaul via dr214ac.blogspot.com
Yogyakarta bergerak pelan maju tapi tidak melupakan gerak budaya yang menjadi sisi terdepan keistimewaan provinsi tersebut. Jogja never ending begitulah slogannya. Tapi akhir-akhir ini saya merasa ada yang beda. Yogya bukan seperti yang saya kenal puluhan tahun lalu, Yogya terlalu modern dan melaju kencang sebagai kota yang meninggalkan sisi uniknya sebagai kota Budaya. Sekarang Yogya adalah kota wisata yang padat oleh kendaraan. Mobil-mobil modern, motor matic, sepeda yang semakin terpinggirkan dan wisata kuliner yang tersebar di seluruh sudut Yogyakarta.

Cuaca kotanya amat panas siang hari, Fanatisme agama juga mulai membuat resah masyarakat yang ingin menyesap kedamaian dari penduduk Yogyakarta yang beragam. Hotel-hotel tumbuh subur, Di seputaran Malioboro, Jalan Dagen, Jalan Kemetiran Kidul, Kemetiran Lor, Jalan Sudirman, Jalan Solo, Jalan Mangkubumi, Pakuningratan, Jalan Tentara Pelajar, Pasar Kembang ,Hampir di sepanjang Jalan Magelang dari perempatan Pingit, Kricak, TVRI dan Ring Road Utara padat oleh hotel dan titik kemacetan. Saat libur, Yogyakarta penuh kendaraan pribadi dan tidak nyaman lagi keliling kota

Yogyakarta relatif kecil tapi padat wisata kuliner dan destinasi wisata yang menyedot wisatawan baik manca maupun lokal. Bahkan penduduk Yogya sendiri enggan keluar dari rumah saat musim liburan tiba. Mal-mal bertebaran, dari Malioboro Mal, Galeria, Yogya City Mall, Plaza Ambarrukmo Mall di samping Hotel Ambarrukmo di Jalan Laksda Adi sucipto.

Yogya Sekarang yang macet (jogja -tribun tribunnews.com)
Yogya Sekarang yang macet (jogja -tribun tribunnews.com)
Sultan sekaligus Gubernur Hamengkubawono X seakan membuka lebar-lebran kran modernitas Yogyakarta. Kemajuan Yogyakarta memang signifikan. Percepatan perkembangan perekonomian sangat terasa namun dampaknya adalah Yogya seperti kehilangan roh sebagai kota yang nyaman dan damai seperti arti kata (cikal bakal nama Yogya Ayodya yang berarti damai, nyaman). Para pendatang seperti menawarkan budaya baru sehingga pelan-pelan budaya setempat mulai hilang dan Yogya tinggal menyisakan cerita keluhan padatnya lalu lintas jalan raya, fanatisme agama yang menguat, dan budaya liberal yang menyentuh setiap sudut kota dengan menjamurnya kafe, tempat tongkrongan, pertunjukan-pertunjukan seni modern. Kota budaya mulai dipertanyakan apakah Yogya masih menjadi kota dengan destinasi budaya tinggi dibandingkan dengan kota lain?

Sabdatama raja yang disesalkan

Semoga Sultan mulai memikirkan kembali kekhasan Yogyakarta. Mulai menerapkan regulasi kendaraan yang masuk ke Yogyakarta sehingga liburan ke Yogyakarta menjadi nyaman dan lalu lintas tidak terlalu padat karena dominasi kendaraan pribadi. Yogya yang dirindukan adalah Yogya yang mampu meninggalkan kenangan manis akan keramahan penduduknya, keunikan budayanya dan toleransinya yang tinggi. Sekarang wibawa Sultan dipertaruhkan. Ketika usia semakin menua dan persoalan Yogya sebagai kota budaya mulai menemui masalah banyak orang yang kangen untuk mengembalikan Yogya ketika masih ada pada era Sri Sultan Hamengkubuwono IX. 

Pasca sabdatama tentang penggantian nama Buwono menjadi Bawana sempat membuat kalangan pecinta atau pejuang keistimewaan sejati menilai Sultan Hamengkubawano X melanggar janjinya ketika akan naik tahta dulu. Sejumlah janji yang dianggap dilanggar yakni tidak mempunyai iri dan dengki dengan orang lain, tidak merengkuh orang lain meskipun tidak senang, tidak melanggar paugeran, berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, serta tidak memiliki ambisi selain kesejahteraan rakyat. Ketika kembali mengingat keistimewaan Hamengkubuwono IX, rasanya orang mengenangnya sebagai raja sejati yang mengayomi rakyatnya dan mampu mengangkat, derajat, kewibawaan provinsi, dan kesultanan ini di mata bangsa Indonesia dan dunia internasional.

Sri Sultan Hamengkobawana X (tribunnews.com)
Sri Sultan Hamengkobawana X (tribunnews.com)
Suara Sultan begitu didengar, bahkan alam pun menyambut gembira aura Sultan yang mempesona. Wibawa Raja yang membuat Ratu Belanda dan Penjajah Belanda harus mengakui pengaruh dari Sultan yang andap asor (rendah hati) tersebut. Suro diro joyo diningratan, lebur dening pangastuti. Kesombongan, kekuasaan akan hancur oleh kelemahlembutan. Semoga Sultan sekarang mengikuti jejak ayahandanya menjadi lembut dan tidak keblereng untuk melanggengkan kekuasaan yang akan menghancurkan keistimewaan Yogyakarta dengan mengubah pondasi dasar yang sudah dibangun pendahulunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun