Semangat Sultan untuk njajah deso milang kori (keliling desa dan hutan) menjadi semacam kerinduan rakyat akan raja yang sangat tahu akan keinginan rakyat. Bahkan saat demo menjelang jatuhnya rezim Orde Baru, Sultan adalah simbolisasi perubahan yang menggerakkan seluruh komponen masyarakat, baik pelajar, mahasiswa, dosen, petani, abdi keraton menyuarakan perubahan. Yogyakarta masih digdaya dalam semangatnya menyuarakan perubahan dengan mengusung sisi budaya yang kental.
Cuaca kotanya amat panas siang hari, Fanatisme agama juga mulai membuat resah masyarakat yang ingin menyesap kedamaian dari penduduk Yogyakarta yang beragam. Hotel-hotel tumbuh subur, Di seputaran Malioboro, Jalan Dagen, Jalan Kemetiran Kidul, Kemetiran Lor, Jalan Sudirman, Jalan Solo, Jalan Mangkubumi, Pakuningratan, Jalan Tentara Pelajar, Pasar Kembang ,Hampir di sepanjang Jalan Magelang dari perempatan Pingit, Kricak, TVRI dan Ring Road Utara padat oleh hotel dan titik kemacetan. Saat libur, Yogyakarta penuh kendaraan pribadi dan tidak nyaman lagi keliling kota
Yogyakarta relatif kecil tapi padat wisata kuliner dan destinasi wisata yang menyedot wisatawan baik manca maupun lokal. Bahkan penduduk Yogya sendiri enggan keluar dari rumah saat musim liburan tiba. Mal-mal bertebaran, dari Malioboro Mal, Galeria, Yogya City Mall, Plaza Ambarrukmo Mall di samping Hotel Ambarrukmo di Jalan Laksda Adi sucipto.
Sabdatama raja yang disesalkan
Semoga Sultan mulai memikirkan kembali kekhasan Yogyakarta. Mulai menerapkan regulasi kendaraan yang masuk ke Yogyakarta sehingga liburan ke Yogyakarta menjadi nyaman dan lalu lintas tidak terlalu padat karena dominasi kendaraan pribadi. Yogya yang dirindukan adalah Yogya yang mampu meninggalkan kenangan manis akan keramahan penduduknya, keunikan budayanya dan toleransinya yang tinggi. Sekarang wibawa Sultan dipertaruhkan. Ketika usia semakin menua dan persoalan Yogya sebagai kota budaya mulai menemui masalah banyak orang yang kangen untuk mengembalikan Yogya ketika masih ada pada era Sri Sultan Hamengkubuwono IX.Â
Pasca sabdatama tentang penggantian nama Buwono menjadi Bawana sempat membuat kalangan pecinta atau pejuang keistimewaan sejati menilai Sultan Hamengkubawano X melanggar janjinya ketika akan naik tahta dulu. Sejumlah janji yang dianggap dilanggar yakni tidak mempunyai iri dan dengki dengan orang lain, tidak merengkuh orang lain meskipun tidak senang, tidak melanggar paugeran, berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, serta tidak memiliki ambisi selain kesejahteraan rakyat. Ketika kembali mengingat keistimewaan Hamengkubuwono IX, rasanya orang mengenangnya sebagai raja sejati yang mengayomi rakyatnya dan mampu mengangkat, derajat, kewibawaan provinsi, dan kesultanan ini di mata bangsa Indonesia dan dunia internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H