Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ini Yogyakarta dan Sultanku di Tahun 1990

6 Februari 2018   12:34 Diperbarui: 7 Februari 2018   18:07 2662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semangat Sultan untuk njajah deso milang kori (keliling desa dan hutan) menjadi semacam kerinduan rakyat akan raja yang sangat tahu akan keinginan rakyat. Bahkan saat demo menjelang jatuhnya rezim Orde Baru, Sultan adalah simbolisasi perubahan yang menggerakkan seluruh komponen masyarakat, baik pelajar, mahasiswa, dosen, petani, abdi keraton menyuarakan perubahan. Yogyakarta masih digdaya dalam semangatnya menyuarakan perubahan dengan mengusung sisi budaya yang kental.

Galeria Mall paling gaul via dr214ac.blogspot.com
Galeria Mall paling gaul via dr214ac.blogspot.com
Yogyakarta bergerak pelan maju tapi tidak melupakan gerak budaya yang menjadi sisi terdepan keistimewaan provinsi tersebut. Jogja never ending begitulah slogannya. Tapi akhir-akhir ini saya merasa ada yang beda. Yogya bukan seperti yang saya kenal puluhan tahun lalu, Yogya terlalu modern dan melaju kencang sebagai kota yang meninggalkan sisi uniknya sebagai kota Budaya. Sekarang Yogya adalah kota wisata yang padat oleh kendaraan. Mobil-mobil modern, motor matic, sepeda yang semakin terpinggirkan dan wisata kuliner yang tersebar di seluruh sudut Yogyakarta.

Cuaca kotanya amat panas siang hari, Fanatisme agama juga mulai membuat resah masyarakat yang ingin menyesap kedamaian dari penduduk Yogyakarta yang beragam. Hotel-hotel tumbuh subur, Di seputaran Malioboro, Jalan Dagen, Jalan Kemetiran Kidul, Kemetiran Lor, Jalan Sudirman, Jalan Solo, Jalan Mangkubumi, Pakuningratan, Jalan Tentara Pelajar, Pasar Kembang ,Hampir di sepanjang Jalan Magelang dari perempatan Pingit, Kricak, TVRI dan Ring Road Utara padat oleh hotel dan titik kemacetan. Saat libur, Yogyakarta penuh kendaraan pribadi dan tidak nyaman lagi keliling kota

Yogyakarta relatif kecil tapi padat wisata kuliner dan destinasi wisata yang menyedot wisatawan baik manca maupun lokal. Bahkan penduduk Yogya sendiri enggan keluar dari rumah saat musim liburan tiba. Mal-mal bertebaran, dari Malioboro Mal, Galeria, Yogya City Mall, Plaza Ambarrukmo Mall di samping Hotel Ambarrukmo di Jalan Laksda Adi sucipto.

Yogya Sekarang yang macet (jogja -tribun tribunnews.com)
Yogya Sekarang yang macet (jogja -tribun tribunnews.com)
Sultan sekaligus Gubernur Hamengkubawono X seakan membuka lebar-lebran kran modernitas Yogyakarta. Kemajuan Yogyakarta memang signifikan. Percepatan perkembangan perekonomian sangat terasa namun dampaknya adalah Yogya seperti kehilangan roh sebagai kota yang nyaman dan damai seperti arti kata (cikal bakal nama Yogya Ayodya yang berarti damai, nyaman). Para pendatang seperti menawarkan budaya baru sehingga pelan-pelan budaya setempat mulai hilang dan Yogya tinggal menyisakan cerita keluhan padatnya lalu lintas jalan raya, fanatisme agama yang menguat, dan budaya liberal yang menyentuh setiap sudut kota dengan menjamurnya kafe, tempat tongkrongan, pertunjukan-pertunjukan seni modern. Kota budaya mulai dipertanyakan apakah Yogya masih menjadi kota dengan destinasi budaya tinggi dibandingkan dengan kota lain?

Sabdatama raja yang disesalkan

Semoga Sultan mulai memikirkan kembali kekhasan Yogyakarta. Mulai menerapkan regulasi kendaraan yang masuk ke Yogyakarta sehingga liburan ke Yogyakarta menjadi nyaman dan lalu lintas tidak terlalu padat karena dominasi kendaraan pribadi. Yogya yang dirindukan adalah Yogya yang mampu meninggalkan kenangan manis akan keramahan penduduknya, keunikan budayanya dan toleransinya yang tinggi. Sekarang wibawa Sultan dipertaruhkan. Ketika usia semakin menua dan persoalan Yogya sebagai kota budaya mulai menemui masalah banyak orang yang kangen untuk mengembalikan Yogya ketika masih ada pada era Sri Sultan Hamengkubuwono IX. 

Pasca sabdatama tentang penggantian nama Buwono menjadi Bawana sempat membuat kalangan pecinta atau pejuang keistimewaan sejati menilai Sultan Hamengkubawano X melanggar janjinya ketika akan naik tahta dulu. Sejumlah janji yang dianggap dilanggar yakni tidak mempunyai iri dan dengki dengan orang lain, tidak merengkuh orang lain meskipun tidak senang, tidak melanggar paugeran, berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, serta tidak memiliki ambisi selain kesejahteraan rakyat. Ketika kembali mengingat keistimewaan Hamengkubuwono IX, rasanya orang mengenangnya sebagai raja sejati yang mengayomi rakyatnya dan mampu mengangkat, derajat, kewibawaan provinsi, dan kesultanan ini di mata bangsa Indonesia dan dunia internasional.

Sri Sultan Hamengkobawana X (tribunnews.com)
Sri Sultan Hamengkobawana X (tribunnews.com)
Suara Sultan begitu didengar, bahkan alam pun menyambut gembira aura Sultan yang mempesona. Wibawa Raja yang membuat Ratu Belanda dan Penjajah Belanda harus mengakui pengaruh dari Sultan yang andap asor (rendah hati) tersebut. Suro diro joyo diningratan, lebur dening pangastuti. Kesombongan, kekuasaan akan hancur oleh kelemahlembutan. Semoga Sultan sekarang mengikuti jejak ayahandanya menjadi lembut dan tidak keblereng untuk melanggengkan kekuasaan yang akan menghancurkan keistimewaan Yogyakarta dengan mengubah pondasi dasar yang sudah dibangun pendahulunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun