Menunggu dua tahun untuk bisa pameran di Galeri Nasional Jakarta, akhirnya pameran dua pelukis  masdibyo*) dan Gigih Wiyono pun tergelar. Mengusung tema DUA KUTUB mereka memamerkan karyanya  tanggal 10 -- 21 Januari 2018.Â
Mas Dibyo yang lahir dan besar di Pacitan serta Gigih Wiyono yang lebih dekat aura kota  dengan pemandangan sawah dan perbukitan.
Dekat dengan debur ombak dan pegunungan padas nan gersang, kemudian besar di pesisir pantai Tuban dengan kehidupan yang dekat dengan aktifitas nelayan  membuat masdibyo memiliki disiplin yang berbeda dibandingkan dengan Gigih Wiyono yang cenderung dekat dengan kehidupan petani, sawah dan aktifitas sosial yang mempengaruhi kehidupan keduanya. masdibyo lulusan IKIP Surabaya  sedangkan Gigih Wiyono lulusan STSI Surakarta (Sekarang ISI ) dan ISI Yogyakarta.
Masdibyo sering melukis dengan  mengeksplorasi kehidupan pantai, nelayan, ikan serta debur ombak. Hasratnya yang sering gelisah oleh situasi sosial politik negara ini yang carut marut akibat bebalnya para politisi dalam mengelola negara.Â
Kegelisahan seniman seperti masdibyo membuat hasrat berkaryanya semakin menggebu karena dengan berkarya seni ia bisa menumpahkan uneg -- unegnya dalam menyikapi fenomena yang ada  dalam masyarakat dan negara serta dunia.
Dalam kehidupan selalu ada dua kutub Positif negatif, yin - yang, lingga yoni, hitam putih, benar - salah, jahat-  baik hati. masdibyo dengan lukisannya lebih banyak bicara dengan persoalan dirinya, kesendiriannya kegelisahannya dan berbagai persoalan  nelayan yang memang akrab dengan sunyi, dalam deburan ombak serta asin garam yang memang akrab dengan nelayan.Â
Sedangkan Gigih Wiyono, hidup dalam kehidupan guyup masyarakat pedesaan yang mayoritas petani, maka kegiatan komunalnya, berbagi aktifitas yang mengharuskan selalu bersama, bergotongroyong menjadi aura Gigih setiap harinya. masdibyo yang pendiam yang lebih suka menyendiri, berkontemplasi dengan ide-ide seni yang terus berlompatan dalam benaknya.Â
Dua kutub itulah yang menggerakkan mereka berpameran. Tujuannya adalah untuk menyelaraskan kehidupan mikrokosmos dan makrokosmos, memberi balance pada manusia untuk menyatukan (unity), Â dan memberi keharmonisan (harmony).
Para seniman seperti masdibyo dan Gigih Wiyono  merasa gelisah dengan perkembangan zaman sekarang ini. Dalam Katalog dengan Judul Dua Kutub mereka mempunyai alasan energi dua kutub memiliki arti harfiah sebagai ujung poros atau sumbu bumi.Â
Ujung magnet yang mempunyai sifat saling  menarik.  Yang lembut berjajar dengan cerah, yang dingin menyatu dengan yang panas. Dua seniman berharap dengan menikmati seni bisa memberi  sarana menemukan keseimbangan kehidupan.
Masdibyo yang mbalelo dari profesi  guru
Tapi rupanya hasrat senimannya lebih besar daripada hidup sebagai guru. Dengan restu keluarga, masdibyo  total melukis. Nyatanya melukis bisa membuatnya bertahan hidup dan yakin bahwa hidup berkesenian bisa memberi masa depan bagi keluarganya.Â
Penulis melihat bahwa lukisan-lukisan masdibyo memang  mempunyai segmen pasar tersendiri yang membuat lukisan tetap laku terjual.Â
Lukisan masdibyo lebih dekat ke aliran ekspresif simbolis, kesendirian, protes sosial.  masdibyo  sering gelisah melihat fenomena sosial.Â
Dalam karyanya tentang Ambalat (konfrontasi dengan Malaysia pelukis menumpahkan kekesalannya dengan simbol jari tengah yang bisa diterjemahkan sebagai wujud kekesalan dalam bahasa simbol visual yang artinya sudah diketahui penikmat lukisannya.
Gigih Wiyono dan Konsep karyanya
Gigih Wiyono menampilkan lukisan yang terkesan geometris kubistis. Pengaruh keseniannya yang lebih banyak tinggal di suasana kehidupan petani membuat Gigih selalu menampilkan lukisan dengan media kayu atau subject matter tidak jauh dari tumbuhan, binatang, kerumunan manusia dengan segala aktifitasnya. Simbol-simbol, mistifikasi, kasih ibu, serta simbol-simbol Jawa yang kental dengan kehidupan petani.
Hilangnya kearifan lokal, menjadi pemicu hancurnya nilai-nilai kehidupan dan alam sekitarnya. Selanjutnya dalam pengantar di Katalog Gigih Wiyono merepresentasikan keprihatinan di lukisannya Dewi Sri dan Kearifan lokal yang tergerus oleh  arus pragmatisme, konsumerisme dan yang menghilangkan nilai-nilai peradaban.Â
KRT. Gigih Wiyono Hadinagoro  demikian nama lengkap pelukis yang lahir tanggal 30 Agustus 1967 di Sukoharjo Solo  juga menampilkan sejumlah patung kayu dalam pameran kali ini. Patung --patung itu menampilkan karya simbolis kasih sayang ibu yang digarap  3 bulan lebih(karya paling rumit yang digelar persis di depan pintu masuk. Dengan warna dominan hijau judl patung itu Ibu.Hampir semua patung kayunya bertema ibu.
Kurator  Prof.Drs. M Dwi Marianto, MFA, Ph.D. mengibaratkan dua pelukis ini antara "Gunung dan Laut". Gunung menghasilkan sayuran dan laut menghasilkan garam. Unsur antara gunung  dan lautan bila disatukan akan menimbulkan harmoni, kenikmatan(itu yang penulis tangkap).Â
Selanjutnya M Dwi Marianto menulis bahwa kedua pelukis sama sama menyaksikan anomali, ironi, dan paradoks sosial politik, dimana yang dikatakan  oleh banyak pejabat, wakil rakyat, dan oleh sejumlah pemimpin kultural , jauh berbeda  dari tingkah laku mereka.Â
Sekarang ini santet yang keji adalah santet media sosial yang berdampak pembunuhan karakter.Banyak orang baik, jujur tenggelam karena fitnah media sosial yang keji.
Silahkan pembaca yang berada di sekitar Jakarta datang ke Galeri Seni Nasional Indonesia. Menonton pameran karya seni  rupa dapat memberi keseimbangan bathin di tengah kesumpekan , kemacetan kota besar dan tuntutan kehidupan kota yang  berat.Â
*Penulis adalah pemerhati pameran seni, lulusan Pendidikan seni rupa UNY
**penulis sengaja menuliskan masdibyo dengan huruf kecil seperti acuan yang ada dalam katalog pameran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H