Seni selalu membungkus kritikan tentang politik dengan sopan. Dengan segala kritikan yang lahir di panggung, pameran seni rupa, pameran fotografi dan alunan musik dengan syair-syair yang menyentil  seni selalu ingin mendekat dengan gelegak politik yang ternyata gagal dipahami rakyat, tapi dengan fasih dimainkan wakil rakyat untuk membentuk  pencitraan tentang betapa  piawainya sang wakil rakyat merangkul massa.
Dan hasrat yang teramat kuat  telah melahirkan kerakusan untuk menyesap semua  rasa keadilan, menciptakan monster kebencian dan mengaduk-aduk keimanan dengan menyalakan kebencian akibat perbedaan prinsip.Â
Keberagaman yang semula dibanggakan sebagai kekayaan budaya dan kebinnekaan yang telah memperkaya  Falsafah bangsa telah terlukai oleh otak-otak politikus yang senang mengadu domba masyarakat dengan isu-isu santer yang beredar di media sosial.
Penulis, pengamat serta kurator seni rupa Agus Dermawan T seringkali membahasnya dalam tulisan-tulisan yang tersebar di media massa semacam Kompas, Tempo, Media Indonesia dan Media lain tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Agus  menulis seniman bekerja untuk menganyam kebenaran, meniti puncak-puncak kemanusiaan. Ia adalah orang merdeka yang semestinya melihat kebenaran  dan kemanusiaan dengan spirit yang bebas. Â
Pemasungan kreatifitas seni pernah terjadi ketika masa orde baru apalagi mereka yang pernah terlibat dalam lembaga bernama Lekra yang disinyalir Underbow Partai Komunis Indonesia. Joko Pekik pernah terlunta-lunta saat zaman orde baru, Dullah pelukis yang karya seninya sering dikoleksi Presiden pertama Soekarno menghilang setelah peristiwa G 30 S PKI.
Penulis memahami politik adalah sasaran empuk bagi ide-ide seniman memotret fenomena sosial. Dengan kelucuan dan komedi-komedi yang ditampilkan politisi menjadi ide brilian melahirkan karya yang menimbulkan decak kagum penikmatnya.Â
Bagi penulis lebih elegan mengritik kekuasaan dan politik dengan berkarya seni, entah secara visual, maupun syair-syair yang mampu memberikan sebentuk kritik pada ketimpangan-ketimpangan sosial akibat gejolak politik yang memanas.
Chartist Movement, organisasi gerakan pembaruan sosial dan politik di Inggris abad ke 18 berpandangan, bahwa"Political Power our means, social happiness our end". Kekuatan politik cuma sarana, sedang kebahagiaan sosial adalah tujuannya.Â
Agus memberikan kesimpulan bahwa kesenjangan sosial, bukan sekedar apresiasi kesenian yang masih bodoh, tapi yang utama karena timpangnya pendidikan politik hasil dari praktik=praktik politik sebuah golongan pemain politik. Â Menjadi brutal apabila kebijakan yang bersentuhan dengan politik disertai ambisi, tujuan dan sikap amuk.