Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Refleksi Akhir Tahun: Melongok 2017, Mengintip 2018

23 Desember 2017   14:33 Diperbarui: 24 Desember 2017   11:35 4286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyambut Pergantian Tahun

Pertarungan kontestan politik terutama di Jakarta telah menorehkan luka  batin cukup dalam terutama yang berhubungan dengan relasi  agama, suku, toleran dan intoleran serta munculnya gap- gap baru yang diciptakan manusia entah di media sosial maupun di ranah publik. 

Banyak sekali sampah-sampah visual yang menjajah mata dengan ujaran-ujaran kebencian seakan-akan membangun opini publik bahwa ada  friksi antar pemeluk agama, pengelompokan orang berdasarkan tokoh yang sedang maju mencalonkan diri menjadi pemimpin daerah. Penulis melihat dan mengamati Jakarta yang paling parah.

Akibat kontestasi politik muncul istilah kecebong, bumi datar, kaum cingkrang, onta, komunis dan sebutan yang mengarah  pada perbedaan ras dan suku, agama yang dipertajam oleh komentar-komentar manusia yang membuat sampah kata-kata di media sosial. Kata makian, argumen sempit tentang agama, egoisme yang terbangun akibat kekecewaan karena jagoannya kalah atau mereka yang mabuk kemenangan. Semuanya masih terbawa dan selalu menimbulkan polemik ramai di portal berita Internet. Pun kadang Pesohor agama ikut-ikutan membuat panas suasana dengan khotbah yang memprovokasi alih-alih memberi kesejukan jiwa.

Perbedaan sengaja dibangun dan  masyarakat dibuat bimbang dengan situasi kerukunan yang sedang berada di ujung tanduk. Di sisi lain kebudayaan yang menjadi andalan Indonesia untuk bisa  bersaing ditingkat global rasanya masih sepi-sepi saja. Geliat kesenian, pameran seni,  kegiatan-kegiatan yang membangun kepedulian dan nasionalisme masih kalah seru dengan gegap gempita politik yang mengaru biru.  Padahal jika kebudayaan maju, kesenian menjadi andalan masyarakat untuk bersatu melestarikan warisan luhur bangsa bukan mungkin politikpun tak mampu memecah belah  persatuan dan kesatuan bangsa.

Lihat saja betapa manusia telah terkotak-kotak dalam  jebakan diskusi menyesatkan tentang agama, tentang ideologi, tentang  ekonomi. Negara lain sudah melesat mencari kreasi untuk memajukan  bangsa dengan inovasi digital dan bisnis kreatif yang bisa dibanggakan, sementara Indonesia masih sibuk dengan jargon-jargon agama yang kontraproduktif.  

Apakah selamanya Indonesia tidak mampu bersama-sama bangkit satu suara untuk memajukan bangsa. Lihat saja Presiden sudah jungkir balik memberi contoh tentang bagaimana membangun mental tangguh dengan prinsip kerja-kerja, kerja. Tapi banyak generasi muda yang sibuk mencari celah memecah belah masyarakat dengan ujaran-ujaran kebencian yang tidak mendukung sama sekali percepatan pembangunan.

Tahun 2017 di sepanjang tahun itu ujaran kebencian  bermunculan bahkan banyak video-video di Youtube yang akhirnya memicu polemik termasuk video "penistaan" agama  yang sengaja disebar dan diedit sehingga terkesan pelaku video tersebut dengan sengaja melecehkan agama. Akhir kisah dramatis video tersebut  akhirnya membawa pemimpin fenomenal yang dikagumi dunia harus meringkuk di penjara. Dan meskipun sudah dipenjara ujaran-ujaran kebencian terus bergema, sampai spanduk"panas"pun muncul sampai ke pelosok daerah yang masyaraktnya belum bisa mencerna utuh ujaran-ujaran yang memprovokasi sehingga akhirnya hanya ikut-ikutan  dengan fitnah visual yang terus membobardir mata.

Penulis tidak bilang banyak orang Indonesia bodoh, tapi  budaya literasi rupanya belum mengakar dalam kehidupan. Ketika  melihat berita di media sosial misalnya banyak orang langsung emosi hanya karena judul yang terkesan provokatif. Padahal isi dan judulnya belum tentu sama. Tapi karena  budaya membaca belum terbangun dengan cepat emosi menyambar dan menganggap bahwa dengan hanya membaca judul makan spontan mereka langsung mencecar dan mencerca penulisnya sampai harus perang opini yang bisa dikatakan  Joko Sembung Bawa Golok (gak nyambung G*bl*k).

Tapi penulis sih masih optimis bahwa suasana di media sosial itu tidak signifikan  dengan realita sebenarnya. Di lingkungan RT (tempat penulis tinggal) suasana  panas masalah keyakinan itu  tidak terlihat. Kerukunan masih terasa, toleransi masih terasa, meskipun  berbeda jauh ketika  ingat masa kecil  penulis di kampung halaman. Dulu relasi antar agama baik sekali bahkan kami bisa dengan entengnya ikut gotong royong membangun Masjid, gereja bersama-sama. Dan ketika  masih ada ritual kenduri perbedaan agama tidaklah menjadi masalah. Kami biasa duduk bersama berdoa menurut keyakinan masing-masing meskipun harus dipimpin oleh pemuka agama dan kami sama sama khidmad untuk mengikuti tradisi tersebut.

Tahun 2017  memang penuh gejolak, tapi  mau tidak mau pemerintah sudah berusaha keras membangun infrastruktur (jalan, jembatan , waduk, sarana prasarana  listrik, perumahan murah, pengerukan sungai dan antisipasi bencana kebakaran hutan yang suda mendapatkan progress  positif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun