Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agama, Manusia, Adab, dan Penelanjangan

16 November 2017   11:44 Diperbarui: 16 November 2017   14:05 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekumpulan orang - orang yang mengaku beragama itu telah menelanjangi dan mempermalukan pasangan yang tidak telanjang. Mereka telah mempermalukan manusia atas nama moral, ketaatan dan perbuatan dosa. Apakah yang telah berdoa sepanjang waktu berwenang melakukan penelanjangan dan persekusi. Lebih biadab mana sih menduga telanjang dan berbuat mesum dengan pikiran ngeres dan jorok lalu kemudian sujud doa dan mengutuk permesuman namun ternyata mempunyai niat jahat untuk mempermalukan sepenuh hati, mengarak manusia, menelanjangi dan menyaksikannya dengan penuh nafsu. Apakah peradaban telah menggiring agama bersikap bar-bar dan boleh menghakimi atas nama 'tangan tuhan".

Duh, Lelakon, lelakon. Lebih baik jujur sebagai manusia pernah terasuki awan dosa dan nafsu birahi. Sebab setiap manusia mempunyai hasrat seksual dan pernah jatuh dalam hasrat yang menyala itu, Manusia memang tercipta saling menarik pelatuk untuk menjadi pemicu hasrat dan satunya penggoda. Tapi menelnjangi atas nama agama aku sebagai manusia tidak habis pikir. Mungkinkah ajaran-ajaran kemanusiaan itu hanya manis dibibir dan hanya ikon dari kekhusukan yang sengaja diperlihatkan. Untung aku masih orang berdosa, bukan orang  suci dan masih banyak belajar untuk menghargai manusia.

Sekarang tempat ibadat bertebaran, suara-suara doa berkumandang di mana-mana tapi rasa takut menjalar. Banyak dari mereka yang berdoa, terjebak dalam alur pemikiran fanatis. Menganggap bahwa jika sudah tekun berdoa, sudah rajin beribadah, giat menyebarkan ajaran agama sudah terbebas dari dosa dan yakin masuk surga. Aku lebih senang disebut manusia pendosa daripada manusia soleh.

Apa sih istimewanya orang suci, terpuji, terhormat, dan disegani. Dengan selalu memakai baju-baju orang suci dengan ikon-ikon yang sengaja dilekatkan ia bisa menghakimi. Apakah sebuah perintah Tuhan, atau sekedar ingin membuktikan bahwa ia suci dan mesti bisa meluruskan mereka yang sedang berdosa. Tapi cara- cara orang suci itu lebay,selalu ingin dilihat, selalu ingin dianggap suci.

Jadi bingung, bagaimana percaya pada agama sedangkan segala tingkah lakunya mirip iblis berbaju manusia. Manusia beragama tapi adab dan sopan santunnya kalah dengan mereka yang menganut sebuah kepercayaan.

Di media sosial, manusia "beragama" terus berceloteh saling serang, saling nyinyir, terkotak pada pemujaan idola masing-masing. Dengan segenap emosi ribuan orang berkomentar kasar, menghakimi, menelanjangi, mengolok-olok dan merasa benar sendiri. Manusia dosa menjadi buan-bulanan manusia suci. Manusia beradab telah menelanjangi orang lain sedangkan manusia pendosa  menelanjangi diri sendiri dengan merunduk menahan malu.

Malu, sebagai pendosa orang orang telah menyaksikan kibaran rambut, wajah menahan malu, aku mengerti rasa kehilangan muka. Sedangkan orang-orang suci dengan garang, meluapkan kemarahan, tapi menikmati ketelanjangan.

Dunia telah terbolak-balik, yang benar menjadi salah yang salah menjadi benar. Merasa benar tapi tidak mengakui salah, merasakan adanya aura cinta sedangkan dia sendiri jauh dari cinta.  Ia hanya penyesap kehidupan, penikmat rasa-rasa keindahan yang menyusur cakrawala. Ia berdoa hanya untuk dirinya sendiri, berdoa agar ia masuk surga  namun membiarkan orang lain dan lingkungannya berantakan dan berperang atas nama keyakinan.  Ia melenggang sendiri dan mengutuk manusia lain lebih berdosa darinya dan menghakimi melebihi iblis.

Peradaban melahirkan manusia yang menggenggam erat keyakinan, agama  namun meperlakukan manusia lain sampah karena tidak sejalan dengan keyakinannya. Tidak ada toleransi untuk sebuah keyakinan yang diselimuti fanatisme sempit. Ia hanya berkutat pada tempurung kehidupannya yang tertutup oleh doktrin-doktrin ketuhanan yang dikumandangkan orang-orang yang tidak ingin perbedaan menjadi sesuatu yang indah. Semua harus seragam termasuk keyakinan dan pola pikir manusia. Dan ketika era digital telah menyerbu kehidupannya  sumpah serapahnya ia tuangkan dalam status-status yang mengerikan.

Emosi telah menutup logika, membuat kabur keimanan dan esensi beragama. Doa didaraskan di lapak-lapak media sosial seakan-akan sebagai sebuah amanat dan syiar untuk  kebenaran. Dan Ketika agama mulai bermain mata dengan dunia politik runyamlah kehidupan. Agama tempat cinta kasih dan kedamaian, politik tempat kepentingan abadi bermukim. Manusia politik bisa memanfaatkan agama untuk kepentingan politiknya dan agama menjadi kendaraan untuk melegalkan dan meyakinkan pemilihnya bahwa dengan satu visi, satu iman akan mempermudah jalan untuk bersinergi.

Dari dulu tragedi paling mengerikan terjadi ketika agama dan politik bersinergi. Dan sampai saat ini dampaknya masih terasa. Negara yang berbasis agama akan cenderung terus berperang melawan orang lain dan melawan dirinya sendiri. Kehancuran, tragedi kemanusiaan terus berkecamuk. Haruskah Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar terjebak dalam wacana  bencana politik karena campuraduk kepentingan politik dan agama?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun