Politik memang seksi dan mengundang komentar
Kalau menulis puisi, cerpen, dan reportase rasanya mesti sadar bahwa keseksian mereka masih dipertanyakan. Para pembaca internet masih menganggap berita politik lebih seksi daripada jika membaca cerpen. Isu-isu yang dibicarakan dalam bidang politik sepertinya masih bisa mengundang debat dan polemik. Lain jika bicara cerpen. Hanya pembaca tertentu yang memang menyukainya karena tidak banyak orang tertarik dunia sastra dan fantasi.
Isu-isu terkini dan intrik-intrik politik merangsang setiap orang membicarakannya. Semakin berani berkomentar semakin merangsang orang untuk menanggapinya, semakin terbuka semakin banyak yang mengintipnya, tapi jika terlalu vulgar juga membuat orang menjadi tidak nafsu bahkan membuat mual. Politik itu seperti gula-gula banyak orang yang menyukainya karena manis, tapi waspadalah jika terjebak dan terlalu banyak mengkonsumsi gula-gula penyakitpun menyergap. Penyakit politik itu antara lain perilaku koruptif.
Idealnya jika seseorang memasuki gelanggang politik sekuat apapun idealisme untk membangun bangsa dengan prinsip, jujur, adil dan keberpihakan tetap saja godaan untuk merengkuh keuntungan, aji mumpung dan intrik-intrik untuk menjatuhkan lawan politiknya lebih kuat. Melawan arus gelombangnya seperti berenang dalam derasnya arus balik. Hanya segelintir orang yang mampu memegang prinsip dalam dunia bernama "Politik", selebihnya bedebah.
Minat menulis politik ada, saya sudah mencobanya berkali-kali, dengan latar belakang membaca majalah Tempo, Gatra, koran Kompas dan beberapa opini-opini yang muncul di koran. Sebetulnya bisa saja menulis, tapi kadang-kadang sebagai penulis saya merasa bahwa politik itu bukan bidang saya.
Haruskah menulis dengan landasan literatur?
Saya pernah kuliah di APMD (Akademi Pembangunan Masyarakat Desa )walau hanya sebentar, paling tidak pengetahuan tentang politik sedikit tahu, tapi intrik-intrik dalam dunia politik itu kadang tidak terduga. Analisis politik butuh kecerdasan, wawasan luas, pengetahuan yang cukup, jika hanya menulis dengan niat mengundang sensasi banyak penulis bisa melakukannya, tapi jika membedah dunia politik dengan niat membangun karakter, mendidik awam untuk meluruskan sorotan negative dunia politik itu susah.
Bagi saya tulisan -- tulisan politik sekarang lebih banyak sensasi dan kontroversinya. Polemiknya lebih sering pro politisi, atau tokoh yang sedang diidolakan. Tulisan lebih terasa emosional dan kurang kontrol diri. Apakah jika saya membahas politik harus memahami ilmu politik? Bagi saya wajib, terserah yang lain. Kontrol diri dalam menuliskan kata-kata itu amat penting agar tidak terjerumus dalam penyebaran ujaran kebencian, penyebaran fitnah dan produksi hoax semata. Saya masih melihat banyak orang menulis politik karena terus terang banyak pembacanya, apalagi dengan judul sedikit lebay dan mengundang perdebatan.
Di berbagai kesempatan (kantor, warung kopi, pangkalan ojek, terminal, restoran, kafe, Selasar hotel, seminar, demo jalanan) politik itu dibenci sekaligus dicinta. Satu sisi banyak orang muak jika berbicara tentang kelakuan para politisi, di sisi lain politik itu mempunyai daya tarik tinggi untuk meningkatkan adrenalin. Lihat saja jika anda melihat politisi yang sedang populer dan kebetulan amat dibenci anda tentu emosi akan meninggi, berbagai komentar meluncur, berbagai cacian spontan datang, terlontar tanpa bisa dicegah.
Tulisan tulisan Denny Siregar, Jonru Ginting, Sumanto Al Qurtubi, Robby Gandamana, Yon Bayu, Yos Mo, Imam Prasetyo di jagat maya selalu ramai dengan perdebatan komentatornya. Saya sebetulnya ingin berkomentar tapi apalah saya, pengetahuan sedikit, bekal ilmu politik minim dan prediksi -- prediksi tanpa landasan teori minim ya tidak usah petakhilan ikut debat bisa diskak mat nanti oleh yang lebih ahli. Lalu jika saya mencoba dengan pendekatan teori montesqui, Socrates, Aristoteles, Plato sampai tokoh yang lebih kekikinian semacam, Nicollo Machiavelly ,Mark and Engels, John Lock ,Imannuelt Kant, Adam Smith, Dennis Goulet, Albert Guerrerio Ramos, David Mc Clelland (The Achieving Society), Soekarno, Muhammad Hatta,Muh. Yamin, Tan Malaka ,Mirriam Budiarjo, takut nanti artikel menjadi seperti ruang kuliah.
Di bangku sekolah dulu saya pernah dikasih saran buku pegangan dasar- dasar politiknya Mirriam Buadiarjo. Di dalam buku Miriam saya banyak membaca tentang politik menurut Immanuel Kant, Nicollo Machiavelli, John Lock (seperti yang saya dalam paragraf sebelumnya. Tapi rata- rata tulisan tentang politik yang hadir (di media sosial lebih ke pendekatan populer dengan politik praktis )sebab ilmu-ilmu sosial budaya tidak mempunyai parameter pasti untuk penjabaran politik, bisa berubah sesuai perkembangan jaman.
Kalau masyarakat sekarang terbelah akibat media-media yang berpihak (Tirto.id, Seword, Portal Piyungan ) atau portal-portal (platform blog lain yang abu abu Selasar, Kompasiana, Kumparan (susah menyebutnya karena pergumulan dunia internet yang beragam dan susah menyebutkan satu persatu).
Dunia maya telah menyedot ruang sosial masyarakat, jika dulu diskusi harus dilakukan dengan mempertemukan banyak orang dalam sebuah ruang nyata, sekarang diskusi bisa dilakukan dalam kesunyian, ruang pojok di warung kopi kafe dsb tanpa harus ketemu orang. Jagat maya mempunyai ruang tersendiri untuk berdebat dan saling memaki.
 Dampak Negatif Media Sosial
Tapi apakah keriuhan di media sosial berdampak signifikan dengan terkotak-kotaknya ideologi masyarakat. Beberapa hal yang berdampak negatif adalah masyarakat menjadi lebih individualis, Kesehatan terganggu, waktu banyak terbuang sia sia dengan terlalu asyiknya memegang smartphone untuk berselancar,kurang pergaulan, uang tersedot untuk tagihan internet, kadang lupa berdoa saking asyiknya menulis status, menulis artikel di internet.
Kembali ke pembicaraan awal tentang betapa seksinya dunia politik menjadi santapan enak para penulis yang ingin meraih antuasme pembaca. Kadang dengan judul sensasional saja ribuan pembaca mampir. Kadang sudah menggebu melihat judulnya ternyata isinya hanya berita bombastis tanpa isi. Jika Ingin memahami politik lebih dalam sebetulnya pembaca perlu membaca kolom Gunawan Muhammad atau sejarah perang dunia yang ditulis oleh P K Ojong, St. Sularto, Trias Kuncahyono.
 Secangkir Kopi dan Diskusi seru Politik
Jika bicara tentang politik pria-pria menjadi lebih genit, apalagi ditemani oleh secangkir kopi, mereka akan menggebu-gebu seakan dunia sudah dalam genggaman. Bahwa politik itu sebetulnya cair dan mengasyikkan tapi bertabrakan dengan pendapat umum bahwa dunia politik itu amat kotor, penuh intrik, penuh drama dan penuh kepura-puraan. Kalau dalam dunia cinta politik itu amat dibenci (benci bisa saja berkonotasi benar-benar cinta ). Bagaimana ini? Apalah anda para penulis politik merasa seksi karena tulisan anda akan selalu dilirik. Untuk penulis fiksi bersabarlah suatu saat dunia akan memihak anda seperti peribahasa ini :life is always changing, face it as good as you can cause you only life once .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H