Nostalgia Seni Budaya
Pada artikel sebelumnya saya banyak menuliskan tentang  tempat terutama lokasi penyelenggaraan ICD di Jogjakarta.  Karena  yang saya ketahui lebih banyak tentang  seni maka artikel ini tidak akan jauh-jauh bicara tentang seni. Saya akan susah bicara kuliner karena semasa kuliah saya termasuk mahasiswa tongpes( kantong kempes) hingga tidak banyak kenangan saat mencicip makanan khas Jogja. Mungkin yang masih ingat adalah makanan khas kost-kostan mahasiswa yang terjangkau dengan kantong celana serta tentu  Angkringan yang sejak dulu menemani mahasiswa lembur sampai pagi, entah setelah lembur belajar atau sedang  suntuk dengan kost - an yang sepi dan butuh hiburan pada malam hari tapi yang sesuai dengan kantong mahasiswa perantauan.
Angkringan Tempat Diskusi Seniman
Bicara Jogja adalah bicara tentang seni budaya.  Teater, Seni Lukis, Musik, Film adalah salah satu istimewanya.  Jika di Jakarta kesibukan, pekerjaan yang seperti dikejar-kejar karena tuntutan hidup memang harus begitu. Di Jogja saat malam keheningan masih  terasa. Meskipun saat ini hotel tumbuh di mana-mana, tongkrongan malam tersebar dan terserak, kafe-kafe yang mewah unik  bermunculan  dan menjamur. Tapi tetap ada tongkrongan seniman tempat mereka misuh-misuh berdiskusi, seru dan muncul ide-ide seni yang akhirnya mewarnai khasanah  seni budaya Indonesia. Mungkin Garin Nugraha, Butet, Djaduk  berdiskusi seni tidak di hotel mewah,  sudut mal, atau tempat - tempat  super mewah yang bisa menginspirasi mereka menciptakan  gagasan seni. Malah di angkringanlah kesuburan ide seni bermunculan. Saya masih ingat ketika  diajak teman teman dari UNSTRAT  (Unit Studi Sastra dan Teater) UNY(dulu IKIP ) ke angkringan Garuda di sekitar Galeria dan rumah sakit Bethesda. Sya yang masih bolodupak harus mendengarkan diskusi tingkat tinggi dari teman-teman yang sudah malang melintang di dunia seni terutama yang kuingat seperti Gareng Rakasiwi.  Dari minum kopi, memungut tahu bacem, sego kucing, dan satu dua sedotan rokok filter  berlangsunglah diskusi seru tentang seni budaya. Tentu saja kata-kata rusuh sering muncul tapi itulah kejujuran seorang seniman, meskipun kata-katanya sering kasar, njeplak tapi ya itulah kenyataannya. Seperti mendengarkan omongan Butet Kertaraharja dan marwoto kawer  begitulah suasana diskusi seni di Jogjakarta. Dulu aktifitas teater benar-benar seperti  sebuah gerakan budaya yang hampir ada di tiap kampus. Dan mereka yang suka seni itu di beri wadah di depan benteng Vredeburg tepatnya di Seni Sono.  Pria pria gondrong dengan tampang cuek, dekil, berpakaian apa adanya. Memakai baju celana ala pak tani, dengan berjaket surban Lorek-lorek. Tepekur di panggung. Mereka mengolah rasa, bergerak, memulai mengekspresikan diri dalam  alam teater yang kental.  Mereka para seniman mencoba menapaki jejak kreatifitas dengan mengolah kepekaan alam, meniru gerak-gerak alam atau meresapi suasana alam Jogja yang memang nyaman untuk menggeluti seni.
 Latihan dengan  Emha Ainun Nadjip dengan kyai Kanjengnya
                                                  Lokasi Seni Sono berada di samping Gedung agung Istana negara,  tempat ini dulu sering digunakan seniman untuk pentas                                                    teater, ajang seniman lukis menunjukkan karyanya, Dilihat dari arah kraton Gedung Seni Sono tepat di seberang perempatan                                                                                      Malioboro(Sumber:Tembi rumah budaya)
Emha Ainun Nadjib budayawan yang lahir dari pendidikan santri di Jawa Timur (gontor) terkenal di Jogja karena kepekaannya dalam  mengolah kata, melahirkan buku-buku yang menyentil nurani dan kadang memerahkan telinga para pesohor yang mengaku ahli agama. Dengan kyai kanjengnyaEmha banyak mementaskan karya-karya teater  yang  amat kritis menyentil penguasa, ketimpangan sosial dan suasana keagamaan yang cenderung eksklusif. Saya pernah mengikuti latihan dan sempat pentas di  Gedung ISI waktu itu masih di Karang Malang. Judulnya Perahu Retak, Santri-Santri Kidlir. Sebagai pemain walaupun hanya sebagai figuran(saya berperan sebagai santri), Latihan-latihan teater sungguh melelahkan. Bisa latihannya dari jam  2 siang sampai tengah malam, Cuma beberapa adegan saja. Adegan yang masih belum pas diulang-ulang sampai mendapatkan adegan yang pas. Itu berlangsung berkali-kali latihan sampai di gladi resiknya di Aula ISI(Institut Seni  Indonesia ) Karang Malang. Pemainnya bukan saja anak ISI saja tapi juga dari Sanata Dharma, IAIN, IKIP Jogja (UNSTRAT). Latihan gabungan itu memberi keakraban tersendiri, mungkin banyak dari mereka sekarang yang sudah menjadi seniman ataupun penggerak seni di daerahnya. Saya sendiri  pernah bercita-cita menjadi seniman tapi akhirnya jalan menuntun menjadi seorang guru.
Kehidupan seni budaya itu adalah salah satu keistimewaan Jogja. Hanya sayangnya Jogja saat ini terlalu pikuk oleh kehidupan yang mirip kota lain, semakin banyak Mal, semakin banyak perilaku masyarakatnya yang cenderung terlalu menikmati kemewahan, gaya hidup anak mudapun berbeda dengan yang dulu yang kental seni budaya. Bahkan banyak seniman jogja mengeluh karena minat pada pameran, ketertarikan masyarakat untuk mengkoleksi karya seni jauh menurun. Yang sering dibicarakan adalah destinasi kuliner, tempat nongkrong, hotel-hotel  dan tentu kehidupan modern yang semakin marak. Daerah Seturan(belakang UPN yang berada di depan Ring Road Utara)muncul banyak sekali kafe. Padahal daerah seturan itu dulu sepi dan masih banyak terhampar sawah yang menghampar serta bumi perkemahan Babarsari.( Dekat kampus  UNIKA Atmajaya). Dari perkembangan pesat Jogja itu melahirkan suasana hiruk pikuk oleh lalu lalang mobil, motor dan kesemrawutan kotanya. Cuacapun sekarang terasa amat panas jika siang hari. Orang Jogja sendiri bila hari liburan lebih suka tinggal di rumah daripada mendekati pusat keramaian seperti di Malioboro dan sekitarnya.
Kangen dengan Jogja dulu