Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Suka Duka Memilih Profesi Penulis

8 Mei 2017   15:27 Diperbarui: 8 Mei 2017   15:44 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                                                                                                                                                                Sumber:joisee.com

Penulis menghadapi suka duka setiap hari. Terutama adalah ruang keluarga yang kemudian melahirkan”prahara”. Sebab menulis itu seperti menempuh jalan sunyi, autis dan melawan arus. Jika harus memilih, susah menentukan skala prioritas antara kepentingan keluarga dan tuntutan hati.  Penulis  akan melakukan lakon sebagai seorang yang “selalu menuliskan apa saja yang datang dari hati, pikiran dan hasil pengamatan”.

Penulis harus menutup kuping atas bully yang datang dari lingkungan terdekat. Sebab kebanggaan menulis itu tentu bukan karena uang, tetapi karena nyaman bila telah menulis. Ego penulis kadang membuat gonjang-ganjing “negara sendiri” sebab bulsyit menulis hanya karena hobi sementara periuk rumah tangga goyah.

Tantangan menulis adalah tantangan yang harus ditaklukkan. Menulis adalah kegiatan yang membahagiakan. Tapi juga harus diingat untuk tidak menjadi autis dan hanya sibuk dengan diri sendiri. Sebab dari pengalaman penulis, ketika tengah menulis, ketika ide datang harus cepat-cepat ditulis. Kadang-kadang tidak mengenal waktu dan tempat, jika momen itu dilewati maka ide yang bernilai “emas” itu juga terlewatkan. Kadang-kadang ego penulis adalah menganggap sebagai  orang khusus yang harus dimengerti oleh keluarganya, lingkungannya.

Duka  Penulis

Pada keluarga yang mengerti suasana jiwa “penulis” mereka akan membiarkan penulis itu masuk dalam alamnya, memasuki lorong waktu, khayalan, mengobrak-abrik referensi di perpustakaan pribadi atau melakukan browsing di internet. Tapi jika keluarganya adalah haters sejati bagi profesi menulis”sudahlah” tentu akan terjadi prahara bertubi-tubi.

Menulis itu adalah kegiatan menelusuri keheningan, terkadang seperti sebuah ritual meditasi dengan mengetikkan jari di tuts, melakukan repetisi, mengolah rasa, mengolah logika, opini menjadi sebuah karya yang bisa terbaca orang lain. Menulis itu wisata menjelajah pikiran, menjelajah logika, dan menantang diri, bertahan untuk berdialog dengan pikirannya sendiri hingga akhirnya menjadi sebuah karya tulis. Di saat penulis masuk dalam alam keheningan itu banyak tantangan muncul jika berada ruang lingkup kegaduhan. Konsentrasi bisa buyar dan ide pun menguap.

Banyak penulis novel, cerpen, puisi lebih senang menyingkir dari keramaian dengan memilih waktu, saat lindap, sunyi dan saat orang lain masih terlelap.  Biasanya saat dini hari, atau sekedar menyingkir ke villa khusus yang tidak banyak gangguan. Baik dari dering telepon, pancingan untuk ngobrol dan pekerjaan-pekerjaan yang membuat fokus menulis terganggu.

Duka seorang penulis adalah meyakinkan anggota keluarganya, orang –orang terdekatnya mengerti dunia menulis. Tidak mudah, sebuah perjalanan panjang untuk bisa menggapai sukses itu tidak sekedar hanya dengan membalikkan tangan.Kadang-kadang stigma sebagai pengkayal, tukang mimpi, autis, orang aneh mesti didengarkan, masuk  ke hati, melintas sepanjang hari menjadi “silet” yang mencabik-cabik perasaan. Senyum juga harus dipaksakan untuk tidak emosi, marah, benci dan dendam.

Memang tidak semua penulis ditakdirkan resah, gelisah dan menjerit menangis dalam hati. Seorang penulis itu biasanya peka, gampang empati, gampang menyelami perasaan orang lain hingga seperti orang yang melankolis karena semuanya dipikirkan. Dan itu membuat perasaan “Baper”   penulis menjadi-jadi . kadang-kadang penulis yang terbawa perasaannya sampai  kesunyian hidupnya harus diakhiri dengan cara bunuh diri. Tipe penulis ini tentunya memaknai dunia penulis adalah sebuah totalitas, ada perasaan sakit hati mendalam yang membuat penulis akhirnya harus memilih jalan sunyi selamanya, karena  dalam dirinya bergolak perang bathin antara menegakkan idealisme dan tuntutan hidup nyata dunia. Manusia harus memilih antara hidup dalam dunia real, atau dunia khayalan. Kesedihan penulis adalah saat ia hanya dipandang sebagai  manusia yang hidup dalam alam mimpi.

Kegembiraan Penulis

Seorang penulis akan merasa bangga, suka cita, girang jika tulisannya diapresiasi. Apapun tanggapannya jika tulisannya sudah dibaca tentu suatu kebanggaan tersendiri. Apalagi pembacanya bisa mencapai ribuan-bahkan puluhan ribu sampai jutaan pembaca. Itu sebuah prestasi. Penulis komersial  tentu butuh hasil yang bisa dirasakan, dipetik hingga menambah pundi-pundi kekayaannya dari hasil menulis.

Menulis itu  pengungkapan kegelisahan, mengubah keresahan lingkungannya menjadi karya tulis yang menghibur dan menginspirasi. Apabila tulisan-tulisan penulis bisa menginspirasi, mampu mengubah pandangan orang dan memberi celah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kreatif  maka misi sebuah tulisan berhasil. Jika saat membaca novel pembaca merasa masuk dalam alam khayalan penulis dan teraduk-aduk emosinya maka tulisan itu sudah berhasil memberi sentuhan pada pembacanya.

Tentunya sebuah kegembiraan jika tulisan-tulisan yang dihasilkan penulis menjadi referensi  bagi komunitas, orang-orang yang sebelumnya kurang bergairah dalam menghadapi persoalan hidup, atau mereka yang tertunduk lesu oleh masalah-masalah yang membelit. Dan ketika membaca sebuah tulisan yang menginspirasi dan membebaskannya dari penderitaan maka sebuah tujuan penulis berhasil mengubah cara pandang pembaca.

Jalan Tengah Penulis

Seorang penulis tentu tidak hanya membahagiakan diri sendiri, ia harus pula bermanfaat bagi orang lain dan keluarganya. Totalitas penulis dalam menjalani kehidupannya tetap harus diimbangi oleh sebuah empati pada perasaan orang lain, keluarganya, pasangannya dan orang-orang yang butuh kepedulian dari “sang penulis”. Seorang penulis harus tetap memikirkan bagaimana caranya menjadi sumber kebahagiaan bagi orang –orang sekitarnya. Meskipun ketika menulis itu butuh ruang privasi yang tenang tanpa gangguan, tapi selama 24 jam seorang penulis tentu bisa membagi:

  • Ketika sedang menulis ia harus punya tempat yang benar-benar nyaman dan tidak ada gangguan yang mengganggu konsentrasi;
  • Ketika  sedang bercengkerama bersama keluarga hendaknya melupakan sejenak dunia menulis, seorang penulis harus bisa membagi perhatian agar semua bahagia, senang sentosa.
  • Jika seorang penulis total terjun dalam dunia menulis harus dipikirkan juga kebutuhan-kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi, sehingga tidak membebani keluarga dengan  idealisme yang kebanyakan dimiliki seorang penulis (konsentrasi, butuh waktu khusus, budjet bacaan, kuota internet yang membengkak dan mempengaruhi “periuk nasi rumah tangga”)
  • Pastikan profesi menulis adalah profesi menyenangkan yang bisa menghasilkan kesejahteraan bagi keluarganya, tentunya seorang penulis harus mampu mengatur dirinya, tidak larut dalam idealisme pribadi yang hanya mementingkan diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun