Paskah dalam rundung perpecahan umat manusia
Maafkan, sebelumnya kawan, aku ini hanya sekumpulan domba-domba tidak penting yang mencoba meresapi makna kebaikan yang diajarkan agama. Saya pemeluk agama dan meyakini jalan bahwa jika dekat dengan Tuhan, terutama Yesus menurut keyakinanku akan merengkuh surga bila mati kelak. Semua orang juga pengin masuk surga dengan berlomba-lomba berbuat baik. Mencoba tulus untuk menolong dan setia pada kebaikan-kebaikan yang diajarkan agama. Terus terang saya bukan penghapal isi kitab suci, bukan pula pengkotbah yang pintar memahami agama. Sekali lagi saya tegaskan saya ini cukup memahami kebaikan agama yang pada dasarnya mengajarkan kasih sayang, kedamaian, kerukunan.
Saya mencoba memahami Paskah tahun ini di Jakarta dengan segala kegalauan.Semoga kebangkitan Kristus membawa kedamaian di hati dan ketulusan untuk memaklumi perbedaan adalah indah. Terutama tema yang pas untuk umat Katolik adalah kemanusiaan yang adil dan beradab (makin adil, makin beradab). Kontestasi agama seperti telah merusak tenun-tenun keyakinan dan menjadikan agama seperti sebuah jurang pemisah bagi kerukunan umat. Padahal seharusnya agama adalah cahaya kedamaian yang menerangi setiap hati manusia yang percaya dan yakin akan keilahian Allah Pencipta semesta alam.
Introspeksi Jiwa
Aku tidak bilang muluk-muluk untuk mengatakan toleransi. Tapi ingin mengerti bahwa tidak semua manusia mempunyai pikiran sama dalam hal keyakinan. Itu adalah masalah hati, masalah jiwa yang punya ruang tersendiri bagi setiap pribadi. Agama bagiku adalah sebuah pegangan jiwa. Saat suntuk, nelangsa, sakit, menderita dan merasa sial aku runduk dan sujud pada Tuhan barangkali Ia mengurangi penderitaanku. Saat senang, bahagia, beruntung bersyukur karena Tuhan seperti mendengar doa-doaku.
Aku rasa, tidak harus semua orang sama dalam hal keyakinan, sebab aku yakin Tuhan menciptakan manusia itu berbeda-beda. Maka jika aku beda pendapat, beda keyakinan, beda agama tidak perlulah ngotot mekasakan keyakinan pada orang lain. Tapi sebagai makhluk hidup yang dikaruniai otak dan hati tentu aku akan memilih yang terbaik menurut “keyakinan”ku. Agama itu ibaratnya baju, untuk mematut hati dan jiwa, untuk melindungi dari panas atau dingin dan untuk menutup aurat yang tidak pantas dilihat untuk perspektif pemeluk agama yang selalu berpikir baik buruk, patut tidak patut.
Jika ada orang-orang atau sekelompok orang mengatasnamakan Tuhan dan agama memaksa orang lain untuk sama sepaham dengan keyakinan mereka berarti melanggar hak manusia yang bebas menentukan pilihan. Tapi bukan agama mungkin yang membuat agama menjadi pemicu pergolakan, bahkan peperangan.Aku hanya heran akhir-akhir ini terutama di ibukota agama menjadi batu loncatan politik.
Memaksakan bahasa-bahasa kasar masuk dalam ranah berpikir manusia dan apalagi menyalahi aturan dengan berbicara sensitif tentang perbedaan agama, perbedaan-perbedaan suku, pribumi dan non pribumi dalam sebuah wilayah yang sebetulnya tidak ada yang bisa disebut asli pribumi. Manusia amat gemar memetik konflik dan menanam permusuhan. Siapakah kamu, siapakah aku, siapakah dia, siapakah mereka yang selalu saja berbuat licik untuk memaksakan doktrin keyakinan dan pembenaran ke orang lain.
Apa perlunya menuding-nuding jika otak dan pikiran sendiri masih belepotan dosa dan salah. Apakah pemeluk agama boleh melotot sesuka hati jika keyakinannya dinistakan. Aku menganggap bodoh pada mereka yang dengan mudah terninabobokkan oleh provokasi-provokasi sinting yang berusaha memecah belah kesatuan dan persatuan dengan mengaitkannya isu SARA, mayoritas minoritas, kebenaran absolut dan kesalahan absolut. Dosa asal dan dosa turunan. Bumi datar, bumi bulat, Mengkafirkan orang yang tidak sepaham dengan kita, memaki- maki dan jijik melihat keyakinan yang berbeda.
Apa salahnya perbedaan, apa salahnya wajah yang tidak pernah sama antara manusia satu dengan lainnya, apa salahnya selalu ada musuh dan sahabat. Apa salahnya kesunyian jika doa harus selalu teriak-teriak dan memaki-maki.
Manusia senang mengadu keyakinan, riang gembira saat bisa menjebak seseorang tertangkap basah sedang menista agama, tidak sadar bahwa dirinya sendiri sering melecehkan agama dan Tuhan. Yakin tidak pernah berbuat salah, yakin selalu benar dalam menjalankan ibadah.
Maaf, saya tidak pintar berdebat masalah ayat-ayat suci. Saya hanya berdoa berdasarkan kata hati saya, berbincang saat sunyi, menenangkan diri saat sepi. Saya berdialog, bercanda dengan Tuhan karena ia dekat dan sangat dekat.Cuma saya bingung kenapa kini Tuhan menjadi tenar hanya untuk kontestasi PILKADA, di pusat kota yang katanya orang-orangnya cerdas dan rasional. Tapi begitu primitif menggiring Tuhan untuk dilibatkan masalah politik. Hehhhhhhh!
Keyakinan dan suara Hati Nurani
Keyakinan, apapun yang terjadi itu adalah masalah manusia dengan Tuhan, tapi kenapa manusia menjadi lupa bahwa yang ada di dunia ini diciptakan Tuhan tidak ada yang sama bahkan orang kembarpun tetap berbeda, sekalipun dikloning, siapa yang bisa menjamin otak dan pikiran manusia akan sama. Jadi menurut saya yang masih penuh dosa dan berlumur kesalahan ini. Mari belajar memahami perbedaan. Bersama-sama introspeksi, belajar memahami diri sendiri, belajar menikmati sambil berdoa. Ya Tuhan, Maafkan kami yang telah menggiring-Mu dalam jurang perbedaan pemikiran .
Ternyata kami adalah debu yang masih berhamburan yang tidak layak menyebut kebesaran kuasa - Mu. Kami masih laknat, bangsat yang sok mengaku besar tapi terhimpit sela-sela kasur. Tuhan tidak tidur, tidak tuli, tidak buta. Ia melihat, ia mendengar,merasakan meskipun manusia berbisik tanpa kata. Manusia berdosa juga mengerti penyesalan terbesar adalah saat mengabaikan suara hati, suara nurani, sebab di situlah manusia bisa berdialog dengan Tuhan dengan tulus tanpa dibumbui dengan nafsu duniawi apalagi hasrat politik yang menggelegak.
Selamat Paskah, Selamat Memilih pemimpin Jakarta sesuai hati nuranimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H