Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Matinya Perkutut Mbah Lurah

25 Februari 2017   23:48 Diperbarui: 26 Februari 2017   08:00 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Rumah kuno mirip rumah Mbah Lurah"][/caption]Bohong jika aku tidak tertarik oleh kecantikannya. Ia manis, pintar dan ceriwis. Ibuku memilihkan  dia untukku. Sudah sekitar  10 lebih cewek yang dipilihkan ibuku untukku. Semuanya mental, tidak ada yang cocok.Ibuku sampai bingung.

***

“Oalah Ndung-ndung, maumu itu opo. Umurmu sudah semakin tua, dicarikan jodoh ditolak-tolak.Aku iki wis tuwo pengin lek momong putu(aku ini sudah tua pengin segera menggendong cucu)”

“Sabar, Bu jodoh itu sudah diatur, jika kelak dapat jodoh ya pasti dikasih…?”

“La, kowe Cuma plonga-plongo gitu mana pernah dapat cewek.”

“wah ngenyek(ngejek), wong ngganteng begini dibilang plonga-plongo…”

“Makanya usaha to Le…biar tidak dicaplok buto…!”

“Iya Bu, akan say usahakan…”

“Bener lho, Ndung…kowe ra mesakno pho karo ibumu iki…(Kamu tidak kasihan apa sama ibumu ini).

Sebetulnya Aku kasihan juga sama ibuku. Sudah pengin sekali menimang cucu tapi anak-anaknya belum mau menikah. Aku sebagai anak sulung, paling susah dirayu. Bagi say jodoh itu bukan perkara main-main, makanya aku pilih-pilih. Ibuku itu termasuk punya darah Priyayi, cukup terpandang di desa. Kalau di runut, masih keturunan Sultan Agung dengan mengaju pada selembar kertas bernama Sorosilah(silsilah bagi keturunan raja, waktu itu sorosilah adalah surat sakti untuk bisa mencantumkan gelar Raden atau Raden roro di depan nama. Katakanlah Namaku Gandung Sujiwo, karena masih termasuk trah raden maka tertulis Raden Gandung Sujiwo. Bagiku gelar itu sudah tidak berpengaruh. Dengan menyandang gelar tapi pengangguran tidak punya kerjaan, luntang-lantung dan mabuk-mabukkan ya percuma. Ada istilah jawa mengatakan Jarak mrajak jati mati. Peribahasa itu menggambarkan bahwa Kadangkala anak keturunan biasa bukan darah biru malah lebih sukses karena usaha yang tekun daripada punya gelar dan berdarah biru tapi hanya malas-malasan mengandalkan gelar untuk gagah-gagahan saja. Sekarang bukan jamannya. Tapi warisan Jawa yang feodal terutama keturunan bangsawan memang masih kental terasa di pelosok desa. Ibuku pun mencarikan jodoh berdasarkan bobot, bebet dan bibit.

Pada pilihan ibuku yang terakhir ini aku tidak bisa menolak. Dia adalah cucu dari mantan Lurah Selo Girah. Seorang mantan Lurah bagi orang Jawa jaman dulu itu termasuk keturunan bangsawan. Tapi Lurah itu sudah lama meninggal. Yang masih hidup itu Mbah Lurah Tumirah(Istri Lurah yang tetap disebut Lurah).

Mbah Lurah Tumirah sangat girang bisa besanan sama ibuku, Raden Roro Ayu Juminten. Cucu Wedono Kawedanan Muntilan. Setiap kali berkunjung ke rumah ia selalu nepuk-nepuk punggungku.

“Kapan kau berkunjung ke rumah Nak, nanti kukenalkan pada cucuku Arum Sedalu.”

“Oh…kapan-kapan say pasti ke sana Mbah…?”

“Jangan nanti-nanti…nanti cucuku selak kesamber *laki-laki lain”

“Hahahaha….Mbah ini kayak ayam saja kesamber…”

“Eh, betul itu kau harus cepat…”

“Iya. Mbah…Malam Minggu besok ya…”

“Tak tunggu ya…(bathin saya ini yang ngarep cucunya atau Mbah Lurah).

Singkat cerita Akhirnya saya kenal Neng  Arum Sedalu. Hubungan kami semakin lama semakin akrab. Meski begitu saya belum berani bak-blakan menyukainya.  Saya masih bertanya apakah dia calon belahan jiwa saya, setelah mengalami proses penjodohan begitu lama. Termasuk seringnya ditolak cewek. Keluarga say telah memutuskan perjodohan kami pas di hari Valentine.Mungkin pas dengan momen kasih sayang yang diperingati di seluruh dunia.

Proses pertunanganpun berlangsung lancar dan aman. Tapi sebelum peristiwa pertunangan ada yang sempat menjadi tanda tanya besar bagi saya. Kami sempat datang ke Mbah Wono orang tua yang dianggap punya kemampuan metafisika. Kami datang minta restu karena beliau juga termasuk kerabatnya mbah Lurah. Saya menangkap guratan wajah yang aneh. Sepertinya ada sesuatu yang janggal dalam kerutan kening Mbah wono. Ya sudah, tidak usah dipikirkan. Yang penting sudah dapat restu.

Selang sehari sebelum pertunangan Kutut Kesayangan Mbah Lurah mati mendadak. Saya, orang jawa kadang-kadang punya perasaan aneh, tapi hanya saya simpan dalam hati. Akhirnya hari pertunangan tiba dan semuanya lancar. Kami sekeluarga datang ke Mbah Lurah untuk melamar cucunya, dan mempersiapkan diri untuk menjadi istri dengan terlebih dahulu bertunangan. Momen indah hari pertunangan pas hari Valentine.

Saya resmi punya tunangan. Seminggu kemudian saya kerja ke Jakarta. Nona Arum sedalu menjadi calon tunangan dari campur tangan keluarga. Saya belum sempat mengenal jauh Arum Dalu. Saat saya tinggal ke Jakarta hubungan telepun berlangsung intensif bulan pertama tapi setelah itu semakin jarang dan bulan ketiga  Arum Sedalu tak pernah bisa dihubungi. Akhirnya karena penasaran saya pulang.

Diam-diam say datang ke Mbah Lurah. Mencari Arum Sedalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun