Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Jakarta Itu Magnet, Anda Bisa Sukses atau Terlunta-lunta

9 Desember 2016   15:08 Diperbarui: 9 Desember 2016   16:44 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kfk kompas.com Kerasnya hidup di Jakarta

Kurang lebih tahun 1998 saya pernah mencoba dengan kesadaran sendiri datang ke Jakarta. Niatnya mau mencari kerja. Saya masih beruntung mempunyai kerabat yang tinggal di Jakarta, meskipun harus tinggal di kampung padat di Petogogan Kampung Sawah.di bilangan Jakarta Selatan dan kadang-kadang menginap di tempat saudara saya yang seorang guru yang tinggal di Pondok Labu. 

Di kampung yang selalu langganan banjir saya mencoba mengerti bagaimana Jakarta yang sering dibicarakan di kampung halaman saya. Setelah lama tinggal di Yogyakarta dan selalu bolak-balik Magelang Yogya saya merasakan suasana beda baik dari segi budaya, keramahtamahannya serta relasi antar penduduk. Tahun-tahun itu suasana politik sedang memanas.

Hobi saya memang dari dulu menulis, saya sering mengirimkan tulisan/surat pembaca ke Detak tabloid yang di kelola oleh Eros Jarot adik Slamet Raharjo Jarot (majalahnya sudah dibredel). Posisi saya saat itu adalah pengangguran. Saya mencoba menjadi sales untuk produk member golf cuma bertahan setengah bulan lalu keluar, tidak kuat ketika setiap hari harus keluar masuk gedung bertingkat, mencari calon pembeli kartu. 

Ah, paling tidak saya pernah merasakan berdandan rapi, berdasi, tapi tubuh penuh keringat dan kaki lecet-lecet karena keseringan jalan di antara gedung gedung sekitar Buncit Raya berlanjut ke arah Sudirman dan Gatot Subroto. Ijasah saya sarjana keguruan tapi saya merasa waktu itu panggilannya bukan guru, saya merasa saya itu seniman, pekerja seni tapi mungkin karena saat kuliah saya lebih larut dalam dunia teater, melukis dan kerja yang berhubungan dengan seni budaya membuat saya belum kepikiran untuk menjadi guru. 

Masa-masa pengangguran di Jakarta itu sungguh menyiksa. Saat malam kesedihan itu muncul dalam pikiran saya, maka saya menulis kegalauan  di secarik kertas. Saya ingin kembali ke kampung halaman yang subur, gemah ripah loh jinawi, menjadi petani plus penulis (sok GR, mentang-mentang tulisan saya pernah nongol di opini Bernas)

ini salah satu hiburan untuk kampung kumuh Jakarta. Dokumentasi pribadi
ini salah satu hiburan untuk kampung kumuh Jakarta. Dokumentasi pribadi
Menumpang di rumah orang, meski saudara sendiri dan menjadi pengangguran ternyata tidak enak. Tapi mau apa lagi saya masih luntang-luntung mencari pekerjaan. Untuk menjadi tahu diri saya bersedia apapun pekerjaan dari saudara saya saya lakoni.

Pernah membantu tukang melayani pekerjaan mencampur adukkan semen dan pasir, membeli bahan-bahan bangunan ke toko material, sampai sekedar mengantar sepupu ke sekolah asal tidak terlihat menganggur. Hampir setahun saya bertahan menjadi pengangguran, sibuk mencari peluang kerja tapi tidak sepenuhnya didapat. Yang banyak hanyalah pekerjaan-pekerjaan berbau marketing direct sell, yang sebenarnya bukan jiwa saya. 

Hidup di Jakarta dengan status menganggur itu amat menyiksa, saya merasa orang yang melihat saya itu seakan-akan mencaplok wajah saya. Mata tidak benar-benar lurus, lebih sering menunduk karena malu menjadi pengangguran. Untuk menghibur diri saya jalan-jalan ke blok M melihat kesibukan Jakarta, bertahan lama di toko guku Gramedia dekat Melawai. 

Di Gramedia saya sepuas-puasnya membaca majalah dan buku-buku yang terpajang di toko itu sambil sesekali melirik pengunjung dan Karyawan yang necis-necis bak selebritis(Bathinku kapan saya bisa seperti mereka, itu bathin orang udik yang merantau ke Jakarta).

Surat pembaca di tabloid detak yang sudah dibreidel. Dokumentasi pribadi
Surat pembaca di tabloid detak yang sudah dibreidel. Dokumentasi pribadi
Selama pengangguran itu saya selalu mencoba mencari celah peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan untuk sarjana pengangguran seperti saya. Waktu itu sebagai lulusan sarjana saya terlalu idealis. Harus kerja di kantor, punya pekerjaan mapan gaji ya disesuaikan dengan gelar saya…Ah…budaya kolonial yang masih terpelihara dalam pikiran. Padahal saya tahu jika sedikit prigel dan wani nggetih Jakarta itu bejibun pekerjaan, asal tidak pilih-pilih pekerjaan.

Masalahnya, banyak orang seperti saya yang berpikir bahwa sarjana itu harus punya pekerjaan mentereng….Bulsyet… pikiran kolonial memang begini. Lihat saja mereka yang tidak pilih-pilih pekerjaan, uang tebal di dompet entah sebagai pedagang kaki lima, buruh angkut di tanah abang, atau menjadi sales yang pantang menyerah.

Akhirnya saya menyerah! Saya pamit ke saudara saya ”Pak Lik Saya Pulang Kampung. Jakarta ternyata bukan tempat saya,"

Saudara saya balik tanya, “Benar, sudah bulat kau tidak ingin tinggal di Jakarta?”

“Iya, Pak Lik, Mohon maaf jika merepotkan. Saya mohon beri informasi jika ada panggilan kerja sebab saya masih banyak lamaran saya belum dijawab.”

“Oke baiklah, kita sih terbuka jika masih ingin tinggal di sini.”

Pulanglah saya ke kampung halaman dengan wajah menunduk.

Pulang Kampung

Aktivitas di kampung saya padat. Menjadi pengajar ekstrakurikuler pencak silat, malam-malam kelayapan nonton kesenian tradisional, wayang, ketoprak dan ubrak-ubruk dengan seniman kampung belajar teater. Dengan status yang tersandang Penganggur “sibuk”

Jejak karya saya di majalah lokal Jogja tempat saya. Latihan nulis. Dokumentasi pribadi
Jejak karya saya di majalah lokal Jogja tempat saya. Latihan nulis. Dokumentasi pribadi
Di Gereja saya aktif ngompori teman-teman untuk menulis. Maka terbentuklah Majalah gereja yang dijual untuk aktifitas pemuda gereja. Majalah itu membuat saya terhibur setelah gagal menaklukkan Jakarta dengan kepala tertunduk. Saya seperti lebur dalam kesibukan seakan-akan menjadi seorang wartawan (padahal cuma sekelas kampret...eh kampung). Saya punya jabatan mentereng pemimpin redaksi majalah dan teman saya yang pernah bekerja di Gramedia Jakarta eks seminari, yang bagus dan ngganteng menjadi layouter dan  pengetik handal. 

Saya mengandalkan dia yang pengalaman kerja di Gramedia tentu paling tidak mengenal bagaimana mengelola majalah. Kami sering diskusi dan sedikit hiburan dengan minum bir, maklum teman-teman saya memang banyak yang pengangguran padahal sarjana lho. 

Kami dulu merasa tersisih dan risi oleh karena dalam keluarga merasa desa bukan tempatnya sarjana, sarjana ya harus merantau entah ke Jakarta entah ke kota lain yang penting kerja kantoran. Sebagai pengangguran saya terus terbesit untuk menulis dan dikirimkan ke majalah. Mulailah saya kirimkan tulisan ke majalah Praba. Bejone awak tulisan saya diterima, selama hampir setahun saya menjadi koresponden majalah itu dan gerilya ke kampung-kampung untuk mencari sasaran informasi yang akan dijadikan topik tulisan saya. 

Sayapun memutuskan membuat semacam feature bagi tokoh-tokoh yang dipandang tokoh dan bisa dijadikan teladan anak muda. Selama hampir setahun saya berkecimpung dalam dunia tulis menulis dan saya merasa seakan sudah seperti wartawan. Majalah jalan, honor jalan juga sales majalahpun jalan. Tapi tetap saja orang tua saya kurang sreg dengan pekerjaan saya sebagai kuli tinta yang honornya hanya cukup untuk dibuat beli gorengan dan bir.

Apalagi saya sering kelayapan malam, begadang bersama preman-preman yang akrab dengan dunia malam, pemalakan dan minum-minuman. Tentu orang tua mana yang tidak khawatir dengan model pergaulan saya waktu itu, ditambah dengan penampilan saya yang berambut gondrong, dengan baju yang tidak layak (maklum orang tua dua-duanya guru dan pegawai negeri pula, tentu penampilan menjadi sorotan juga). 

Masa pengangguran itu benar benar membuat saya mengerti bagaimana menjadi orang gagal, orang tersingkir, iri dengan suksesnya mereka yang telah merantau ke kota. Tapi saya mulai nyaman dengan pekerjaan saya sebagai penulis freelance. Kalau saya tekun setahun atau dua tahun saya tentu bisa saja menjadi wartawan sebenar-benarnya. Hampir dua tahun menjadi pengangguran (Sebab tidak ada status jelas apa pekerjaan saya meskipun saya sering mendapat honor dari menulis dan menjadi guru ekstra kurikuler).

2 tahun berlalu dan akhirnya ada panggilan kerja dari Jakarta. Om saya yang di Jakarta memberi tahu bahwa saya dipanggil ke sebuah sekolah besar di Jakarta. Waktu itu saya sudah mulai enjoy bekerja sebagai kontributor majalah. Lebih bangga lagi jika jepretan saya menjadi kaver majalah saya, seperti melayang rasanya meski honornya tidak seberapa. Panggilan itu mendorong saya kembali ke Jakarta.

Kembali Ke Jakarta

2001 saya balik ke Jakarta, dengan perasaan antara senang dan galau. Galau karena cita-cita saya menjadi penulis hampir tercapai tapi status itu sangat penting bagi orang tua saya. Saya balik ke Jakarta dengan status masih menumpang karena pertamakali bekerja honor saya belum mencukupi untuk kost sendiri. Status saya bukan lagi pengangguran tapi mas guru sesuai ijasah saya.

Bisa kumpul kumpul Sama Kompasianer
Bisa kumpul kumpul Sama Kompasianer
Menjalani kehidupan kota metropolitan itu harus berani ndableg. Ndableg untuk mampu menumbuhkan rasa cuek, individualis dan harus kuat menjalani rutinitas kerja dari pagi hingga senja menjelang.Dengan honor yang lumayan untuk ukuran desa tapi tidak cukup jika harus nokrong di Plaza Melawai atau di Pasaraya Grande, tapi cukuplah sekali-sekali nongrong di KFC. 

Besaran upah di Jakarta berbanding lurus dengan pengeluarannya. Di Jakarta semuanya mahal, apa-apa diukur dengan uang. Maka menjadi sedih dan galau jika mendekati bulan tua. Saya harus mengelus-elus uang recehan sisa untuk bisa memperpanjang usia sampai tanggal muda, itu pertama saya memegang uang honor sebagai guru. Setahun bekerja saya bisa sedikit bangga karena bisa membeli HP Nokia legendaris 3310 ganti lagi beli HP dengan suara stereo 3530. Wah tambah sombong nih…

Akhirnya tanpa terasa sudah hampir 17 tahun terjebak di belantara Jakarta. Meskipun terseok-seok dan merasa Jakarta belum menjadi rumah yang nyaman bagi saya tapi Jakarta itu mau tidak mau telah menjadi rumah saya. Dengan rumah kreditan, motor yang semakin butut dan mobil yang numpang berteduh di garasi saya menjadi orang Jakarta yang masih merindukan hidup di desa yang sunyi dan tenang.

Kala Jakarta rusuh dan penuh dengan berita tentang kriminalitas, rasanya kesegaran desa itu terus memanggil manggil tapi saat  asyik dan merasa keren bisa nongrong di kafe keren di Jakarta rasanya seperti sudah bisa menaklukkan Jakarta padahal bisa duduk di kafe dan makan-makan di hotel itu karena saya sering ikut Kopdar Kompasiana …. hahahaha….

Silahkan ke Jakarta tapi dengan catatan harus siap mental dan perlu paling tidak satu keahlian, keuletan dan kesabaran. Siap menghadapi kemacetan keterburu-buruan dan tentu kreatif menangkap peluang, jika sudah bisa menaklukkan point di atas dijamin akan sukses hidup di Jakarta, kalau tidak siap ya berani dikejar-kejar Satpol PP untuk dimasukkan ke panti sosial atau dipulangkan ke kampung halaman.

senang kumpul sama Kompasianer dan pengarang terkenal
senang kumpul sama Kompasianer dan pengarang terkenal
Jika ingin merasakan pergaulan Jakarta ya silahkan gabung dengan komunitas atau ikut blog semacam Kompasiana. Jika tekun andapun akan bisa memetik pundi-pundi uang. Sudah bekerja dengan suasana senang, sedikit bisa kongkow-kongkow makan enak di hotel dapat uang pula…hehehe…gratis lho cukup modal menulis review…Jakarta itu magnet bila tahu selahnya tapi siap-siaplah seperti di neraka jika hatimu tidak merasa nyaman tinggal di Jakarta.

Foto foto dokumen pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun