Kurang lebih tahun 1998 saya pernah mencoba dengan kesadaran sendiri datang ke Jakarta. Niatnya mau mencari kerja. Saya masih beruntung mempunyai kerabat yang tinggal di Jakarta, meskipun harus tinggal di kampung padat di Petogogan Kampung Sawah.di bilangan Jakarta Selatan dan kadang-kadang menginap di tempat saudara saya yang seorang guru yang tinggal di Pondok Labu.
Di kampung yang selalu langganan banjir saya mencoba mengerti bagaimana Jakarta yang sering dibicarakan di kampung halaman saya. Setelah lama tinggal di Yogyakarta dan selalu bolak-balik Magelang Yogya saya merasakan suasana beda baik dari segi budaya, keramahtamahannya serta relasi antar penduduk. Tahun-tahun itu suasana politik sedang memanas.
Hobi saya memang dari dulu menulis, saya sering mengirimkan tulisan/surat pembaca ke Detak tabloid yang di kelola oleh Eros Jarot adik Slamet Raharjo Jarot (majalahnya sudah dibredel). Posisi saya saat itu adalah pengangguran. Saya mencoba menjadi sales untuk produk member golf cuma bertahan setengah bulan lalu keluar, tidak kuat ketika setiap hari harus keluar masuk gedung bertingkat, mencari calon pembeli kartu.
Ah, paling tidak saya pernah merasakan berdandan rapi, berdasi, tapi tubuh penuh keringat dan kaki lecet-lecet karena keseringan jalan di antara gedung gedung sekitar Buncit Raya berlanjut ke arah Sudirman dan Gatot Subroto. Ijasah saya sarjana keguruan tapi saya merasa waktu itu panggilannya bukan guru, saya merasa saya itu seniman, pekerja seni tapi mungkin karena saat kuliah saya lebih larut dalam dunia teater, melukis dan kerja yang berhubungan dengan seni budaya membuat saya belum kepikiran untuk menjadi guru.
Masa-masa pengangguran di Jakarta itu sungguh menyiksa. Saat malam kesedihan itu muncul dalam pikiran saya, maka saya menulis kegalauan di secarik kertas. Saya ingin kembali ke kampung halaman yang subur, gemah ripah loh jinawi, menjadi petani plus penulis (sok GR, mentang-mentang tulisan saya pernah nongol di opini Bernas)
Pernah membantu tukang melayani pekerjaan mencampur adukkan semen dan pasir, membeli bahan-bahan bangunan ke toko material, sampai sekedar mengantar sepupu ke sekolah asal tidak terlihat menganggur. Hampir setahun saya bertahan menjadi pengangguran, sibuk mencari peluang kerja tapi tidak sepenuhnya didapat. Yang banyak hanyalah pekerjaan-pekerjaan berbau marketing direct sell, yang sebenarnya bukan jiwa saya.
Hidup di Jakarta dengan status menganggur itu amat menyiksa, saya merasa orang yang melihat saya itu seakan-akan mencaplok wajah saya. Mata tidak benar-benar lurus, lebih sering menunduk karena malu menjadi pengangguran. Untuk menghibur diri saya jalan-jalan ke blok M melihat kesibukan Jakarta, bertahan lama di toko guku Gramedia dekat Melawai.
Di Gramedia saya sepuas-puasnya membaca majalah dan buku-buku yang terpajang di toko itu sambil sesekali melirik pengunjung dan Karyawan yang necis-necis bak selebritis(Bathinku kapan saya bisa seperti mereka, itu bathin orang udik yang merantau ke Jakarta).
Masalahnya, banyak orang seperti saya yang berpikir bahwa sarjana itu harus punya pekerjaan mentereng….Bulsyet… pikiran kolonial memang begini. Lihat saja mereka yang tidak pilih-pilih pekerjaan, uang tebal di dompet entah sebagai pedagang kaki lima, buruh angkut di tanah abang, atau menjadi sales yang pantang menyerah.
Akhirnya saya menyerah! Saya pamit ke saudara saya ”Pak Lik Saya Pulang Kampung. Jakarta ternyata bukan tempat saya,"