Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

(100 Puisi) Salahkah Aku Dirikan Gubuk di Sini

22 Februari 2016   17:57 Diperbarui: 22 Februari 2016   18:32 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto by Joko Dwi"][foto by Joko Dwiatmoko 

 

Tanah ini milik siapa Boss?

milik siapa? apa peduliku, yang jelas  tanah ini  milik negara!

Benarkah?Kok kosong begini?

Kata Boss yang duduk di Gedung tinggi itu "persetan ini tanah milikku, mau kuapakan terserah aku!"

"Ooo, hanya itu beritanya ya itu katanya Boss dan yang mana juga belum pernah kulihat mukanya"

Kalau begitu aku numpang menaruh besi tua di sini ya Boss..dan juga rongsokan-rongsokan plastik ini...

Bertahun tahun aku menumpuk besi-besi dan kini aku seperti memiliki gudang"oh ini emas hitamku"

Tanah ini tetap diam tak meronta, meski kubebani dengan dengan rongsokan-rongsokan sampah daur ulang

Sang Bosspun tak pernah menengok tanahnya yang menganggur.

Kalau begitu kudirikan saja gubuk di sini. Dalam hati maaf ya Boss aku ingin ada gudang bagi emas hitamku

Bersama-sama teman kupantek tanah, kudirikan gubuk dengan bahan dari sisa-sisa bongkaran rumah

Lambat laut tanah kosong yang semua menajdi arena bermain sepak bola lenyap

Gubuk-gubuk liar dan tumpukan rongsokan menjamur.

 

Tak perlu lama mencari rongsokan.

Berjuta-juta sampah plastik tersedia setiap hari berpuluh-puluh kayu bongkaran datang silih berganti

Salahkah aku mendirikan gubuk di sini

Sedangkan Boss yang hidup mewah di Gedung bertingkat sana diam tak bergeming.

Tanah ini milik siapa sih?

Kenapa ia hadir  seperti tak bertuan.

Maafkan jika aku mendirikan gubuk bagi emas hitamku

Lima tahun hidupku dalam Gubuk derita reyot telah memberiku berkah

Jangan bayangkan aku miskin kawan,

Aku bisa beli mobil Pick Up

Sampah-sampah ini mampu memberiku "harta"

Yang bahkan gurupun tak sanggup mencapainya

Kehidupanku memang kumuh, serba dekil

tapi kantongku dan kawan-kawan tidak sedekil kantong para penyair

Tubuhku boleh belepotan jelaga dan kaosku boleh berwarna kusam

Tapi aku telah berarti bagi keluargaku di kampungku.

Meski aku katakanlah warga tidak jelas

salah jika aku masuk dalam kategori miskin

Di Pedongkelan dalam aku hidup dalam cibiran

seakan masyarakat kelas tiga yang tersingkirkan

Lihat dalamremang-remang aku harus selalu mencium aroma parfum dalam gunungan samaph di belakang gubukku

Tapi apa peduliku

dibalik sampah yang menggunung itu  harta karun telah ada di pelupuk mata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun