[caption caption="Foto by Joko Dwi"][foto by Joko DwiatmokoÂ
Â
Tanah ini milik siapa Boss?
milik siapa? apa peduliku, yang jelas  tanah ini  milik negara!
Benarkah?Kok kosong begini?
Kata Boss yang duduk di Gedung tinggi itu "persetan ini tanah milikku, mau kuapakan terserah aku!"
"Ooo, hanya itu beritanya ya itu katanya Boss dan yang mana juga belum pernah kulihat mukanya"
Kalau begitu aku numpang menaruh besi tua di sini ya Boss..dan juga rongsokan-rongsokan plastik ini...
Bertahun tahun aku menumpuk besi-besi dan kini aku seperti memiliki gudang"oh ini emas hitamku"
Tanah ini tetap diam tak meronta, meski kubebani dengan dengan rongsokan-rongsokan sampah daur ulang
Sang Bosspun tak pernah menengok tanahnya yang menganggur.
Kalau begitu kudirikan saja gubuk di sini. Dalam hati maaf ya Boss aku ingin ada gudang bagi emas hitamku
Bersama-sama teman kupantek tanah, kudirikan gubuk dengan bahan dari sisa-sisa bongkaran rumah
Lambat laut tanah kosong yang semua menajdi arena bermain sepak bola lenyap
Gubuk-gubuk liar dan tumpukan rongsokan menjamur.
Â
Tak perlu lama mencari rongsokan.
Berjuta-juta sampah plastik tersedia setiap hari berpuluh-puluh kayu bongkaran datang silih berganti
Salahkah aku mendirikan gubuk di sini
Sedangkan Boss yang hidup mewah di Gedung bertingkat sana diam tak bergeming.
Tanah ini milik siapa sih?
Kenapa ia hadir  seperti tak bertuan.
Maafkan jika aku mendirikan gubuk bagi emas hitamku
Lima tahun hidupku dalam Gubuk derita reyot telah memberiku berkah
Jangan bayangkan aku miskin kawan,
Aku bisa beli mobil Pick Up
Sampah-sampah ini mampu memberiku "harta"
Yang bahkan gurupun tak sanggup mencapainya
Kehidupanku memang kumuh, serba dekil
tapi kantongku dan kawan-kawan tidak sedekil kantong para penyair
Tubuhku boleh belepotan jelaga dan kaosku boleh berwarna kusam
Tapi aku telah berarti bagi keluargaku di kampungku.
Meski aku katakanlah warga tidak jelas
salah jika aku masuk dalam kategori miskin
Di Pedongkelan dalam aku hidup dalam cibiran
seakan masyarakat kelas tiga yang tersingkirkan
Lihat dalamremang-remang aku harus selalu mencium aroma parfum dalam gunungan samaph di belakang gubukku
Tapi apa peduliku
dibalik sampah yang menggunung itu  harta karun telah ada di pelupuk mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H