Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selangkah Lagi Masuk 2016 Apa Resolusimu?

31 Desember 2015   20:13 Diperbarui: 31 Desember 2015   20:37 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Catatan Tutup Tahun

Setiap tutup tahun hampir setiap orang melakukan refleksi tentang tahun yang akan segera ditinggalkan. Refleksi atas kegagalan dan capaian-capaian sepanjang 12 bulan berjalan. Selama 2015 pasti banyak kegagalan, permasalahan, yang mau tidak mau menguras otak, menguras tenaga, menguras waktu untuk memecahkan segala persoalan tersebut. Hasilnya?

Ada banyak target bisa tercapai, tapi banyak masalah masih mendekap hidup dan itu menjadi Pekerjaan turunan yang masih harus diselesaikan. Aku mencatat dari perjalanan hidupku terutama dari sisi kepenulisan, aku belum layak menyandang “Penulis”. Segala catatan, segala jejak zaman nyatanya masih banyak lepas. Aku tidak menulis sepanjang hari, tidak bereflkeksi setiap hari dan waktu yang seharusnya paling tidak terluang satu jam sehari sia-sia saja. Maka susah mengejar target seperti Bung Katedrarajawen yang terus hadirkan tulisan hampir setiap hari, juga Pak Tjiptadinata, yang meskipun sudah berumur energi untuk menulis sungguh luar biasa. Apalagi Bung Gapey Sandy yang lolos pertama kali mendampingi Presiden Jokowi Keliling daerah kunjungan. Bung Gapey pasti mimpi indah di tahun ini karena sebagian cita-citanya tercapai. Di antara selipan kegagalan –kegagalan itu aku tetap mesti bersyukur karena tahun ini aku kembali aktif menulis, kembali mencoba melawan diri sendiri terhadap rasa minder, rasa tidak percaya diri menghadapi penulis-penulis hebat yang silih berganti muncul dengan berbagai kekuatan yang dibawanya, kecerdasan, analisisnya yang tajam, pengetahuan intelektualnya yang menonjol, ketekunan, kesetiaan, refleksinya yang mampu menyulap dari bahasa yang susah dimengerti ke dalam bahasa yang renyah dan gaya bercerita yang sarat kecerdasan. Aku memang setia menulis sejak SMA namun rasanya capaian penulisan saya ya segitu-segitu saja. Tapi antara minder dan grogi itu aku tetaplah menulis, kini aku mulai menaklukkan rasa grogiku dan cuek, terserah apa yang tertulis dan terpublish kukembalikan kepada pembaca dan komentator.

28 Januari nanti aku genap 6 tahunTercatat aku terdaftar dikompasiana 28 Januari 2010) bergabung dengan Kompasiana. Aku cukup setia, tetapi tidak bisa produktif. Aku pernah menghilang selama beberapa waktu dan hanya menjadi silent rider, meskipun dunia tulis menulis tidak juga kutinggalkan karena aku masih sering menulis di sejumlah kertas-kertas bekas tentang apapun terutama masalah yang aku hadapi sepanjang hari. Aku tahu menulis dengan gaya seperti ini tidak banyak orang berkomentar. Mungkin lebih banyak yang menyimak, dan kadang hanya mebaca sekilas karena seperti membaca keluhan orang. Tapi inilah modalku untuk menulis, modalku untuk mengeksplorasi diri lebih menyayangi dunia tulis menulis. Kalau Pak Tjiptadinata Effendi, Gede Prama, Sindhunata, Gunawan Muhammad menulis seperti memotret kehidupan dan memuntahkan dengan gaya sederhana namun memikat, perjalanan hidupku adalah menghindari konflik untuk bisa sampai tataran bahwa menulislah sebenarnya panggilan hidup sebenarnya. Sayang sampai saat ini aku belum berani”Nggetih” belum berani meyakinkan diri bahwa menulis itu bisa menghidupi seluruh keluargaku. Aku masih pontang-panting bekerja dengan bidang pekerjaan lain selain menulis. Menulis belumlah menjadi sandaran hidup, masih sebatas selingan diantara tuntutan hidup di kota sebesar Jakarta yang amat menggoda. Akan sangat sengsara bila tidak punya uang tapi sok-sokan menjadi penulis. Padahal levelnya masihlah “Gratis”.

Sindiran-sindiran istri kadang menancap dalam di rongga hatiku. Ngapain menulis jika cuma tidak menghasilkan uang.Aduh, jlep, tapi aku harus yakin dengan menulis aku bisa bergaul dengan teman-teman, bisa mengembangkan wawasan, bisa merasakan ilmu iklas, bisa menahan sabar, bisa mengelola emosi, bisa mengelola pikiran. Uang akan mengiringi jika yakin bahwa apa yang menjadi passion itu bisa menguntungkan suatu hari nanti. Duh curhat lagi.

Tahun 2015, adalah tahun transisi, tahun di mana akupunpun sedikit merasakan bahwa tulisan –tulisanku mulai berbunyi. Aku juga tengah berusaha untuk membuat cerpen, artikel opini yang semuanya akan kudedikasikan sebagai resolusi di tahun 2016.

Resolusi 2016

Sebuah pengharapan pastinya sebuah dorongan untuk lebih baik melangkah di tahun baru. Semua orang menginginkan perubahan, tentu berubah menjadi lebih baik. Baik dalam karier, lancar dalam menggapai rejeki, beruntung dalam langkah dan kondisi finansial. Jika tahun 2015 banyak hal yang belum tercapai, maka di tahun baru kegagalan-kegagalan di tahun sebelumnya harus ditebus. Manusia harus bisa bangkit dari keterpurukan. Jika kegagalan masa lalu hanya direnungi dan disesali berarti manusia telah gagal hidup. Sepanjang hari manusia selalu berkutat dengan masalah dan persoalan yang hadir itu akan semakin mendewasakan jika dihadapi dengan tenang dan sabar. Belajar dari kegagalan sangat penting , sebab bisa membuat pondasi mental amnesia semakin kokoh. Semakin tua akan semakin sadar bahwa kegagalan hidup itu bukan semata-mata untuk disesali, tapi perlu disyukuri karena ternyata dari kegagalan manusia bisa mengambil hikmah dari kekalahan dan kegagalan.

Kalau aku tidak mencapai target di tahun 2015 maka aku perlu berlari di tahun 2016, kalau aku masih galau terhadap hidup di tahun 2015 maka akan keselesaikan segala masalah yang menjadi penyebab kegalauanku saat ini di tahun 2016 ini. Semoga aku yakin dengan daya hidup diantara kesulitanku membagi waktu antara pekerjaan di sekolah, suasana riuh di rumah, pada anak-anakku yang masih kecil dan sangat butuh perhatian, juga istriku yang dengan sentilan-sentilunnya kadang mengingatkan aku untuk tidak terlalu terlelap dalam kayalan. Hidup harus realistis, di Jakarrta semua diukur dengan uang. Kalau mau senang paling sedikit ya punya lembaran uang untuk bisa mensejajarkan diri dengan kaum sosialita(ah, itu sih bukan target, hanya sebatas khayalan). Aku harus tetap bersyukur paling tidak di Jakarta ini aku sudah punya rumah tempat berteduh(meskipun baru nyicil dan lunasnya entah kapan), punya mobil meskipun catnya sudah banyak tergerus matahari, punya motor sebagai penyambung aktifitas sehari-hari dari padatnya kendaraan di kota metropolitan. Punya pekerjaan yang cukup memberi sambungan kebahagiaan untuk menghidupi satu istri dan tiga anak. Meskipun sepanjang bulan istriku mesti berhitung tapi itulah seninya hidup. Setiap persoalan, setiap masalah akan menemui jawabannya sendiri. Terkadang saat masalah datang bertubi-tubi ada perasaan ingin menyudahi semuanya. Banyak orang ambil jalan pintas dengan minum racun atau terjun bebas dari gedung bertingkat, saat merasa buntu menghadapi persoalan hidup yang tak pernah selesai. Banyak bapak stress menghadapi kebadungan anaknya meluapkan emosinya dengan menyiksa dan bahkan ada yang memutus hak hidup anaknya. Ada banyak pasangan muda rela menggugurkan kandungan demi sebuah gengsi dan rasa malu akan nikmat yang baru saja dirasakan tapi menjadi beban hidup di kemudian hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun