Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

#Catatan Akhir Tahun 2015: Zaman Edan!

30 Desember 2015   00:33 Diperbarui: 30 Desember 2015   01:03 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai penulis, aku senang mengamati dan mengulas tentang berbagai hal yang ada di sekitarku, terutama peristiwa yang berhubungan dengan politik, budaya atau peristiwa sehari-hari yang menarik. Kelemahan yang utama dalam diri ini adalah tentang tidak tercatatnya secara detail apa saja yang sudah terjadi di sepanjang tahun 2015 ini, aku hanya mengingat dengan segala keterbatasan otakku . Sebelumnya sudah kutulis beberapa catatan tentang berbagai peristiwa yang menjadi trending topic di sepanjang tahun 2015 tapi aku slebor belum sempat kusimpan tiba-tiba laptopku ngadat dan off. Aku harus mengulang untuk menulis lagi. Aku sempat drop, tapi aku harus menulis. Ini kali kedua untukku mencatat hal-hal tentang berbagai peristiwa seputar politik, budaya, moral, pendidikan dan toleransi beragama di Indonesia. Aku menulis dengan gayaku sendiri. Karena ini adalah catatan seorang blogger, bukan seorang wartawan, bukan pula seorang analis yang berbicara dengan data-data yang akurat, aku mencatat berdasarkan suara hatiku sendiri.

Catatan ini adalah hasil endapan pemikiran, sisa ingatan dan opini tersembunyi dari blogger yang melihat fenomena krusial bangsa ini yang tengah menghadapi suara-suara gaduh rakyatnya.Aku bisa menulis berdasarkan pengamatan di media sosial yang hampir sepanjang hari aku tilik, aku lihat dan aku cermati. Kadang aku harus bertengkar dengan keluargaku karena harus berbagi perhatian antara keluarga dan gadget.Gara-gara gadget aku pun harus merasakan betapa aku hanya berteori saja saat hidup dalam situasi sosial masa kini. Terkadang aku terprovokasi oleh berita-berita yang muncul di media sosial. Apakah berita di medsos itu akurat, entahlah tapi aku merasa banyak hal yang harus kutelaah, kufilter hingga sampai pada kesimpulan akhir pembenaran. Aku tidak ingin apa yang kutulis itu hanya berita hoax yang tidak jelas kebenaran sumber beritanya. Berita hoax itu akan banyak mencederai nurani masyarakat karena nilai beritanya yang tidak jelas.

Maka setiap aku menelaah berita maka tidak seratus persen kupercayai, aku harus mencarikan lagi data lain agar ada keseimbangan sumber informasi. Kadang artikel di medsos amat tendensius, terlalu subyektif, berbeda dengan media mainstream yang beritanya pasti sudah melalui sidang redaksi dan melalui proses editing. Watak media sosial meskipun sama gaya penulisannya tapi nilai subyektifitasnya pasti lebih tinggi. Saat ini aku sedang menulis dengan gaya penulisan seorang blogger. Artinya banyak hal yang sebetulnya tidak terungkap jika tulisan ini bergaya mainstream akan tersurat di sini. Tapi aku terbiasa membaca koran, majalah, atau media mainstream, hampir setiap hari kubaca koran yang bertutur kata jelas, terstruktur dan sistematis, mau tidak mau dalam alur berpikirku gaya penulisanku akan mengarah ke sana(Gaya formal aturan baku kepenulisan). Tapi aku berusaha berpikir diluar kotak(Out of the Box).

Pertama yang ingin aku catat adalah peristiwa:

Politik

Aku bukan pengamat politik yang baik, kutulis saja apa yang ada di benakku. Tahun 2015 ini menurutku adalah catatan kelam dunia politik. Ini adalah lanjutan dari peristiwa yang terjadi di tahun 2014. Politik dinasti, watak partai yang masih ingin mendikte suara rakyat ke dalam kotak bernama partai politik. Ketika partai-partai membentuk koalisi di tahun 2014, jejak langkahnya menyisakan rasa kecewa dalam hati nurani rakyat. Terbentuknya KMP dan KIH. Betapa tidak koalisi itu menghasilkan perseteruan politik menjadi “gaduh”. Wakil rakyat tercerai berai dalam watak koalisi, atau boleh dikatakan faksi-faksi, kasarnya adalah genk seperti yang dimiliki oleh preman-preman. Genk itu tak pernah berhenti berseteru. Mereka melupakan tugas utamanya sebagai representasi rakyat yang menghasilkan undang-undang untuk memperkuat suara nurani rakyat di parlemen. Dengan terbentuknya koalisi mereka hanya sibuk membagi kue kekuasaan, atau rebutan jabatan pada posisi strategis di parlemen ataupun posisi eksekutif. Presiden terpilih seharusnya sudah bisa tancap gas untuk melaksanakan janji kampanyenya tapi ternyata, tidak semudah membalikkan tangan. Kegaduhan yang ada di tataran elit berimbas pada tata kelola pemerintahan yang harus sibuk membuat loby-loby politik agar kegaduhan tidak sampai membuat rakyat semakin sengsara. Sampai pertengahn 2015 faksi-faksi di dalam partai masih kuat, mereka masih bersuara, berjuang untuk kelompoknya sendiri.

Pemimpinnyapun boleh dikatakan terlalu sibuk membuat statemen yang tidak mewakili suara pemilihnya. Mulut mereka penuh kepalsuan, penuh basa-basi hingga kritik yang terlontar di ruang public bukan wujud demokrasi, tapi lebih dominan sebagai wujud rasa dengki yang berlebihan. Kritik amat diperlukan tapi kritik yang membabi buta boleh jadi hanyalah representasi rasa frustasi akibat akumulasi kekalahan. Dendam kesumat politik telah mencederai kepercayaan rakyat, maka apa yang heboh di media sosial saat ini boleh jadi adalah karena rakyat sudah muak dengan kegaduhan yang diakibatkan oleh konflik kepentingan yang tak pernah terselesaikan. Jika secara teori sebenarnya politik itu adalah mulia, di mata rakyat politik sekarang lebih diasosiasikan sebagai tindakan licik, kotor dan menjijikkan.

Bagi sebagian orang politik ibaratnya adalah sarang penipu, sarang koruptor, yang sarat konspirasi tingkat tinggi. Padahal fungsi politik yang sebenarnya adalah mendidik rakyat sadar sistem, sadar akan aktifitas rakyat yang dengan suka rela ikut dalam tata kelola pemerintahan yang mengusung demokratisasi di segala lini. Tapi yang terjadi saat ini politik lebih digambarkan dengan keculasan, kebobrokan moral dan aksi tipu-tipu. Lihat saja saat ini Ketua DPR yang seharusnya patut di contoh karena loyalitasnya pada negara, pada pemilihnya tidak lebih hanya sebagai biang kerok kegaduhan yang terbukti melanggar etika sebagai seorang negarawan yang tidak mencerminkan wakil rakyat tapi lebih condong sebagai wakil partai.

Negara diibaratkan hanya sebagai sarana untuk meperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Pemimpin seperti itu seperti mewakili rekan-rekan mereka yang ada di parlemen yang belum bergerak sebagaimana fungsinya sebagai wakil rakyat. Maka kadang terlihat apa yang dimau rakyat tidak terwakilkan di Parlemen tertinggi negara tersebut. Mereka bergerak demi keamanan jabatannya yang tentu harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit untuk sampai pada jabatan yang sekarang ini mereka sandang. “Yang Mulia”.

Dalam survey-survey terakhir yang dilakukan oleh lembaga survey nasional, kepercayaan rakyat pada wakil rakyatnya semakin merosot. Bukti terlihat pada pemilukada yang berlangsung serentak di medio November 2015. Suara-suara partai yang sedang gaduh di parlemen ternyata kena imbasnya. Rakyat mulai tidak percaya dengan partai politik. Boleh jadi bisa dikatakan kesertaan rakyat di panggung politik berkurang drastis. Lihat saja berapa suara pemilih yang merelakan diri memilih pemimpinnya di daerah-daerahnya.

Tidak ada 50 %, selebihnya golput dan suara mengambang. Ketidakjelasan visi dan misi partai politik membuat rakyat bosan dengan perilaku “negatif” partai politik, maka boleh jadi menjadi peringatan keras agar partai politik berbenah. Jangan ciderai kepercayaan rakyat kalau tidak ingin ditinggalkan pemilih.

Budaya

Gadget, internet dan peralatan teknologi telah mengubah budaya. Literasi kebudayaan Indonesia mencatat, Indonesia termasuk negara yang punya watak gotong royong yang kuat. Itu dulu! Dalam catatan sejarah kebudayaan baik dalam ilmu sosiologi maupun antropologi masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan nilai gotong rorong amat kuat. Terbukti dengan terbangunnya candi-candi, di seputar wilayah Jawa, ataupun jenis-jenis bangunan di hampir seluruh pelosok tanah air yang selalu melibatkan massa dalam proses pembangunannya.

Watak gotong-royong itu lahir dari ibaratnya holopis kuntul baris, yang menyiratkan sebuah kerja bersama untuk mencapai tujuan bersama yaitu sebuah bangunan kokoh bernama persatuan dan kesatuan. Bila orang bersatu padu akan dihasilkan sebuah bangunan megah yang kokoh dan relatif cepat selesai. Budaya muncul dari olah pikir, olah rasa manusia, semakin manusia kuat berpikir dan mengembangkan rasa akan semakin ditemukan daya kreatif manusia untuk memecahkan persoalan sehari-hari. Aku berpikir maka aku ada, aku berikhtiar maka aku bisa. Kebudayaan menjadi barometer peradaban manusia. Karya kreatif yang muncul, teknologi yang dihasilkan tahun demi tahun adalah hasil olah pemikiran, dan olah rasa manusia. Kebudayaan menjadi satu konklusi dari berbagai keruwetan manusia menghadapi hidup yang semakin lama semakin rumit. Untuk itu teknologi berkembang cepat di abad-abad terakhir. Ketika sumber daya alam semakin renta dan terbatas, otak manusia semakin tertantang untuk berpikir bagaimana caranya mengatasi krisis sumber daya alam. Yang kemudian muncul adalah berkembangnya teknologi canggih untuk menutup kekurangan akan sumber daya alam yang semanin menipis. Manusia tentu harus segera berpikir cepat agar teknologi mampu mengatasi persoalan hidup manusia.

Muncullah modernisasi, teknologi canggih semakin berkembang dan era – era budaya primitif semakin tergerus tergantikan tengan teknologi yang mengharuskan manusia semakin berpikir cepat dan praktis. Muncullah mesin, muncul teknologi serat optic, datanglah komunikasi canggih yang menghubungkan antar benua dengan begitu cepatnya dengan internet sebagai medianya. Kini jutaan orang tersambungkan dengan adanya gadget, telepon selular yang semakin modern. Berita di pelosok duniapun segera ter-update, gosip apapun segera terpublikasi karena internet telah mengubah peradaban manusia dari yang semula manual, menjadi amat mudah hanya dengan menggesek-gesek layar sentuh. Teknologi android yang mengusung system OS, yang mempercepat akses internet dengan 3G dan 4 G nya telah memberikan kemanjaan pada manusia untuk mengunduh apa saja, hingga masuk dalam dunia baru bernama dunia maya. Dunia maya menghubungkan manusia dengan manusia lainnya”seakan-akan”sudah akrab. Padahal mereka berdomisili di belahan dunia berbeda tapi seperti amat dekat. Ada sisi positif negatif dengan lahirnya peralatan canggih tersebut. Positifnya manusia semakin cepat mendapat berita dan limpahan pengetahuan baru yang membuat manusia semakin berkembang daya kritisnya.

Di sisi lain efek negatifnya manusia tersekat dalam dunia maya yang tidak nyata. Keakrabannya cenderung semu karena tidak benar-benar kontak mata, kontak bathin. Mereka hanya seakan-akan kenal padahal sesungguhnya tidak. Maka ada acara kopdar(Kopi darat) untuk menghubungkan para netizen berbagi rasa dalam wujud sebenarnya. Tahun 2015 adalah menjadi tahun di mana masyarakat global segera akan merasakan efek “global” dengan menyempitnya dunia karena capaian teknologi telah mencapai titik kesuksesan. Banyak orang tanpa kesulitan bisa mengunduh teknologi canggih tersebut, banyk orang mampu membeli gadget dan banyak orang akhirnya bisa menjadi penulis dadakan ataupun citizen Journalis yang membuat semakin gaduh dunia maya. Yang menjadi masalah kini adalah banyak orang tidak mampu membedakan menulis untuk domain publik hingga watak pribadinya secara gamblang terlihat. Mereka membuat status untuk apa saja mengumpat, memaki, menggelontorkan kata-kata rasis yang akan segera tertanggapi di dunia maya. Pun banyak orang yang akhirnya menjadi provokator bagi watak gotong rorong yang seharusnya menjadi ciri khas bangsa tergerus oleh kata-kata sarkastis yang muncul di internet hingga banyak orang terkotak-kotak, terbelah dan tercerai berai oleh riuhnya suara di dunia maya. Suara itu akhirnya juga berimbas di dunia nyata hingga muncul fanatisme kedaerahan, fanatisme agama dan lunturnya toleransi dalam masyarakat. Hal berbeda bila seorang penulis blog punya wawasan luas, berpikir jernih dan punya kemampuan membedakan berita hoax dan berita yang terangkum oleh data dan analisa valid.

Tapi tidak semua netizen punya wawasan luas. Banyak dari mereka yang hanya membaca judul terus terprovokasi oleh judul tersebut hingga secara pendek pikir mereka termakan oleh judul bombastis, hingga muncul kebencian-kebencian dari hasil berita gosip yang tidak jelas juntrungannya. Itulah teknologi ada plus dan minusnya.Itulah hasil kebudayaan yang berubah mengikuti zamannya.

Moral

 

Aku teringat tulisan Sindhunata dalam bukunya Petruk Dadi Guru. Buku itu sebetulnya sudah lama tersimpan di rak buku buku tentang Manusia dan Kebathinan. Pada halaman 72 Sidhunata(Seorang pastor Katolik dari Ordo Jesuit juga pernah menjadi wartawan Kompas).Aku terkesan dengan tulisan-tulisannya yang menggambarkan tentang zaman sekarang adalah zaman Kalabendu. Dalam lakon wayang sering tersirat pesan-pesan moral kuat dalam menggambarkan tentang perseteruan manusia, pergulatan manusia dengan manusia juga hubungannya antara manusia dan Yang Maha Pencipta.

Cerita wayang adalah perpaduan antara sejarah literasi agama Hindu serta kreatifitas Sunan Kalijaga yang sering memberi syiar agama lewat kebudayaan. Di situ ter sirat pesan moral kuat dari tokoh-tokoh wayangnya. Sejak dulu manusia sering berbenturan dengan persoalan moral. Dari zaman ke zaman moralitas telah membuat manusia saling gontok-gontokan, menebarkan dendam kesumat,saling membunuh karena rasa ego manusia. Kalabendu tergambarkan oleh zaman penuh kutukan, banyak peristiwa amoral terjadi.Anak Membunuh orang tua kandungnya sendiri, ibu membunuh dan membuang darah dagingnya sendiri, orang-orang telah diliputi dendam hingga membuat suasana benar-benar kacau. Agamapun lebih sering menjadi biang dari ketidakrukunan warga. Dalam suasana Kebudayaan Jawa yang kental olah kebathinan menjadi tuntunan bagi jiwa dan pikiran untuk eling dan Waspodho(Ingat dan waspada).Ingat akan sangkan paraning dumadi. Ingat akan siapa yang menciptakan manusia awal mulanya. Ketika aku mencerna tulisan Romo Sidhu, ada benarnya juga sebagai mannusia menjadi eling dan Waspodho. Sebab banyak sekali pengaruh buruk ada di seputar manusia. Akupun sering merasakan gesekan-gesekan ringan manusia menjadi biang dari kekiruhan selanjutnya. Lihat saja betapa moral sudah tidak berharga di mata elite politik. Mereka tak pernah bisa mencerna kehidupan dengan kejernihan pikiran. Semuanya terkuasai oleh nafsu akan gurihnya jabatan, nikmatnya kekuasaan dan indahnya nafsu sexual.

Di zaman kalabendu ini kaki menjadi kepala, kepala menjadi kaki, semuanya berjumpalitan tidak karuan. Sampai kapan akan berakhir . Sindhunata menggambarkan politik adalah Nicht geht mehr ohne Busse in der Politik(dalam politik semua tak berjalan lagi, jika tiada sangsi bagi yang bersalah) Apa yang terpapar di DPR menjadi catatan kelam moralitas. Ternyata politik telah menjajah moral dan mkoral telah terjajah politik, Kesantunan itu tinggal masa lalu, sebab manusia banyak lupa pada sangkan paraning dumadi. Kalau mencatat kawruh di dalam pewayangan dan memaknainya secara mendalam maka akan tersirat ajaran”Kawruh sajatining Ngaurip”, Semua agama jika di dalami pasti akan sampai pada ajaran terdalam dari suasana bathin manusia yang religius. Dalam suasana kebathinan kuat alam transenden akan memberikan kedalaman rasa dan betapa penting harmoni,antara manusia alam dan Tuhan yang menciupta alam semesta.

Hanya sekarang moralitas sering cuma terucap dibibir, belum pada perilaku sehari-hari. Agama Sebagai pembawa pesan moral, pembawa ajaran tentang kebenaran agama lebih sering menjadi pemicu kebencian dan pertikaian. Aku melihat dari catatan akhir tahun yang lalu-lalu agama selalu menjadi topik utama dari kekacauan dari berbagai daerah dari ansional sampai internasional. Aksi terror, bom bunuh diri, terorisme, peperangan semua bermula dari kisruh antar agama. Lalu bagaimanakah sesungguhnya ajaran agama itu. Setiap agama mengaku rahmattan Lil alamin, tapi dari agama muncul, dogma kebencian, muncul pembenaran pada kekerasan, muncul fanatisme yang meminggirkan toleransi. Saat ini pula dengan adanya Gadget isu,tidak jelas telah memecahbelah kerukunanan antar agama. Aku merasa pasti semua agama tentu akan mengajarkan tentang kedamaian, kerukunan, toleransi dan membangun kebersamaan meskipun berbeda keyakinan, namun ternyata banyak agama terutama pada penganutnya yang cenderung fanatik dan pengetahuan yang dangkal tentang agamanya sendiri membawa seseorang terjebak dalam literasi fanatisme sempit. Dengan entengnya orang menyebarkan kebencian karena berbeda keyakinan.

Di media sosial sebaran kebencian itu bisa saja namanya hoax, dari hoax itu manusia terprovokasi, terpecah dalam faksi-faksi. Manusia seperti tergambarkan dalam buku katalognya Djoko Pekik yaitu Zaman Edan Kesurupan. Aku , teman lain, manusia yang bertetangga seringkali termakan fanatisme sempit. Mudah hilang akal karena kata-kata, mudah percaya hanya karena pemuka agama mengajarkan tentang moral tapi sesungguhnya menjerumuskan manusia pada kebencian-kebencian oleh ajaran-ajaran pemuka agama tersebut. Mungkin manusia perlu menggali kembali ajaran damai dari pemuka agama , lihat apa yang telah dilakukan Sunan Kalijaga, Romo YB Mangun Wijaya, Kyai Sadrach, Gus Dur, dengan caranya sendiri mereka telah mengajarkan agama yang sejuk, agama yang damai, tanpa meninggalkan kearifan lokal, ajaran dunia ketimuran yang menjunjung tinggi moral.

Sumber: Buku Karangan Sidhunata (Manusia dan Kebathinan; Petruk Jadi Guru cetakan 2007), dan Katalok Pameran Lukis Djoko Pekik (10 -17 Oktober 2013)

Ilustrasi Karya Ign Joko Dwiatmoko.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun