Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kejar Tayang Sinetron dan Matinya Logika Penulisan

6 April 2015   14:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:28 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Coba amati rangkaian cerita sinetron di televisi. Demi kejar tayang dan tuntutan rating banyak logika diputarbalikkan. Meskipun genre sinetron itu fiksi tapi logika runtutan cerita harusnya tetap harus diperhatikan. Banyak sinetron Indonesia menabrak rambu-rambu logika. Harusnya penulisan skript cerita tetap harus mengedepankan data dan kajian ilmiah agar bisa diterima oleh pikiran penonton. Dengan kejar tayang kadang cerita menjadi ngelantur jauh dari logika data dan nalar.

Tapi yang lebih gila itu penonton sudah jelas-jelas sinetron mulai ngelantur dan cuma menampilkan adegan-adegan konyol tetap saja ditonton meskipun akhirnya emosi dan ngumpat-ngumpat karena ceritanya tidak selesai-selesai. Adegan flashback memenuhi durasi dan membuat keseruan yang dinanti-nanti menjadi hambar. Kalau adegan mulai mengarah pada penyelesaian cerita sengaja cerita diputar- putar hingga esensi cerita kabur lagi. Nilai edukasinyapun sama sekali tidak nampak. Sinetron hiburan Indonesia rasanya baru sebatas menghibur, dan membuat adrenalin pemirsa terpacu. Tapi alur berpikir penonton tidak dididik.  Beda dengan keluarga Cemara misalnya. Kita seperti melihat kehidupan sendiri dan segala problematikanya. Problematika kehidupan itu dikemas dengan gambar-gambar runtut yang membuat penonton bisa mengambil manfaat dari tayangan sinetron tersebut.

Sekarang banyak sinetron cuma menjual mimpi, promosi rumah bagus dan mobil mewah. Potret siswa dengan kehidupan glamour dan segala pernik-pernik kehidupan anak zaman sekarang yang lebih menonjolkan persaingan dalam kehidupan cinta daripada persaingan prestasi individu yang memotret secara sportif. Antagonisme, protagonisme terlalu lebay, seperti dilebih-lebihkan. Padahal banyak hal bisa dijadikan ide cerita yang mengaduk emosi tapi punya sisi edukasi yang bisa ditonjolkan.

Penulis skript sinetron banyak melupakan realitas kehidupan nyata karena tayangan sinetron lebih menonjolkan sisi komersial dan ketertarikan pengisi iklan daripada  mendidik secara halus dan  mencerdaskan pikiran.

Ada yang lucu misalnya salah satu sinetron yang menceritakan  sosok pengangguran, miskin dan tidak punya pekerjaan tapi interior rumahnya tidak mencerminkan sebagai seorang yang miskin. ini sudah mencederai logika. kalau penonton kritis ini akan menjadi bahan cerita yang lucu. maksudnya  banyak penonton dibodohi dengan gambar yang tidak nyambung dengan logika.

Mungkin saya salah satu dari penonton yang mau dibodohin dengan cerita kejar tayang. sebuah cerita dengan alur yang susah ditebak kapan endingnya meskipun sebetulnya terkesan mengulur waktu karena  merasa masih mendapat perhatian dari penonton.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun