Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kapan TKI Diperlakukan Manusiawi?

28 Maret 2014   19:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:21 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembahasan tentang TKI seperti tak pernah habis. Kata-kata yang terlontar dari yang kasar sampai yang bernada prihatin sudah keluar tapi kasus-kasus TKI sepertinya tak pernah usai sampai saat ini. Di satu sisi TKI adalah tambang emas. Mereka adalah andalan untuk meraup devisa, disisi lain  di negara-negara pengguna TKI mereka memperlakukannya seperti budak yang berharga murah. TKI: Singkatan dari Tenaga Kerja Indonesia bisa dipelesetkan menjadi Tenaga Kuli Indonesia.Lebih kasar lagi jika pekerja Indonesia diperlakukan sebagai budak. Budak berkesan bisa diapa-apakan, diperas tenaganya tapi tidak dihargai kerja kerasnya. Padahal kelas pekerja harus mendapat imbalan sesuai dengan kerja kerasnya.

Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia Kuli itu adalah pekerja yang mengandalkan kekuatan fisiknya. Identikisasi kuli dengan budak adalah mereka biasa dipekerjakan untuk mengerjakan pekerjaan berat. Penghargaan pada kuli dan Budak lebih pada andalan kekuatan fisiknya bukan otaknya. Dan logika status sosial mereka yang bekerja sebagai kuli adalah mereka yang tidak memerlukan otak untuk mencari uang. Maka status mereka adalah bawahan kaum dari kalangan bawah. Di Arab Kaum kuli sering dibuli dan dijadikan sasaran tindak kekerasan majikannya. Malaysia menganggap tenaga kerja Indonesia itu Budak.

Konotasi TKI sebagai kaum paling rendah itu yang membuat harga diri TKI begitu terjungkal. Seharusnya Kaum pekerja Indonesia itu adalah mitra bagi mereka para juragan.Bayangkan tanpa adanya TKI mereka tidak akan menjalankan kehidupan secara normal. Dengan adanya Tenaga terlatih yang bekerja dirumahnya tentu akan memberi kesempatan untuk bekerja lebih maksimal. Mereka terbantu dengan pekerjaan rumahnya, mereka teringankan karena tidak lagi mengurusi tetek bengek yang bisa dikerjakan tenaga kerja tersebut. Sayangnya Para juragan itu banyak menganggap TKI bukan sebagai rekan kerja tapi sasaran empuk kekesalan.

TKI dan Pelatihan Profesional

Sebagai tenaga Kerja TKI berhak menyandang pekerja profesional. Dengan bekerja mereka mendapat upah layak. Seorang yang profesional tentu akan memaksimalkan keahliannya agar tenaganya semakin berharga. Buah dari profesionalitasnya adalah penghargaan atas hasil kerjanya yang memuaskan. Apakah pekerjaan para TKI memuaskan?Ini yang menjadi pertanyaan. Kalau mereka bekerja total dan memuaskan tentu tidak akan muncul kasus-kasus penyiksaan. Tentu ada mis komunikasi antara juragan dengan pekerjanya. Akumulasi ketidakpuasan tentu berbuah kekesalan dan kekesalan yang memuncak akan menggerakkan orang untuk berbuat kasar. Emosi yang meluap-luap menyebabkan orang mudah melakukan tindakan kasar. Maka muncullah kasus kasus seperti Darsem Ceriyati, Sihatul Alfiah dan sekarang ini yang lagi heboh diberitakan adalah Satinah.

Pertanyaan lain yang muncul menanggapi kasus kasus Penyiksaan TKI adalah apakah agen tenaga kerja yang mengirimkan tenaganya ke luar negeri sudah menerapkan standar kualitas kaum pekerja yang akan di kirim ke luar negeri. Apakah mereka sudah dilatih untuk memahami karakteristik dan tipe-tipe orang yang menyewanya. Apakah ada pelatihan bahasa sebagai upaya untuk meminimalisir kesalahan hingga memicu kekesalan.

Tentunya kita tak ingin hanya memaki negara-negara penggguna jasa TKI. Introspeksi juga diperlukan agar Tenaga kerja Indonesia mendapat penilaian positif dari negara tersebut.

Perbuatan kriminal juga bisa menjangkiti mental para TKI. Jauhnya jarak, tekanan mental dan keterpaksaan akan memaksa orang untuk menggunakan jalan pintas untuk mendapat uang. Barangkali dari ribuan  bahkan jutaan TKI itu tidak semua mempunyai akhlak baik. Ada potensi  berbuat kriminal hingga berujung hukuman berat.  Hak setiap negara untuk menjunjung tinggi nasionalisme namun tidak harus membabi buta. Kasus Satinah yang membesar saat ini harus ditanggapi bijaksana. Lepaskan kepentingan politik, lepaskan kepentingan ideologis. SARA dan lain sebagainya. Apabila kasusnya kriminal murni tentu tidak perlu membela membabi buta. Beda kalau kasusnya adalah karena perlakuan tidak adil dari pemerintah Arab. Nah ini yang harus diperjuangkan. Dengan kasus-kasus yang muncul di permukaan terhadap pemberangusan harga diri bangsa lewat TKI tentunya menjadi bahan permenungan bagi kita ke depan. Apakah ada solusi untuk memulangkan TKI, menariknya dan memberi kesempatan seluas-luasnya untuk bekerja di negeri sendiri dengan upah yang layak. Kirim TKI yang bisa mengangkat harkat dan martabat bangsa sebagai tenaga profesional yang amat diperlukan negara lain. Banyak kaum terpelajar dari Indonesia berprestasi di luar negeri, mereka adalah andalan untuk meningkatkan daya tawar dan daya saing Indonesia di mata internasional. Kalau TKI sekarang yang nota bene disamakan dengan budak belian lebih rentan dengan cibiran dan perbuatan kasar yang diterima.

Jangan lagi mengirimkan TKI yang tidak siap pakai, atau mereka yang punya kemampuan pas-pasan tanpa keahlian untuk menjadi pekerja atau pembantu rumah tangga.

Ajang Politik

Kasus yang menimpa TKI menjadi lahan empuk politikus untuk menarik massa. Dengan gaya ingin menolong dan meringankan beban hukuman TKI bermasalah akan memberi nilai plus politikus di mata Konstituen. Kasus Satinah telah membuat petinggi-petinggi partai urun rembug. Mencoba menjadi pahlawan ditengah semrawutnya kasus hukum yang tengah membelit. Satinah adalah sebuah bola panas bagi penegakan harga diri bangsa. Telah beberapa kali pemerintah ditodong untuk membayar Diat pekerja yang terancam hukum pancung. Jumlahnya tidak main main. Untuk membayar Diat Satinah pemerintah diharuskan membayar 21 Milyar rupiah. Berkacalah pada kasus Darsem yang akhirnya menjadi sisi buruk dari kasus Diat.

Dalam kasus Darsem perjuangan pemerintah untuk membela warganya ternyata tidak mendapat respon positif. Uang bantuan  diselewengkan untuk kepentingan sendiri. Dengan besaran uang yang tidak main-main itu penanganan kasus Satinah harus bijaksana. Jika memang perkara kriminal murni biarkan hukum setempat yang bicara. Kalau kasus hukum bermasalah artinya Satinah adalah korban dari konspirasi baru negara berdiri tegak untuk membantu hak warga negaranya.

(Menulis apa yang bisa ditulis, mencoba obyektik pada masalah. Kalau salah silahkan dikritik, kalau benar beri acungan jempol)Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun