Bapak mengangguk. Di susul batuknya yang menggelegar lagi. Alif berlari ke kamar mandi. Tak lama, ia sudah muncul kembali dengan pakaian rapi dan tas berlubangnya.
"Alif berangkat, Pak."
Alif mencium tangan bapak, lalu berlari menyusuri jalan. Menuju surau adalah perjalanan sulit bagi Alif. Rumahnya yang berada di ujung desa, terpencil, membuat akses ke sekeliling juga sulit. Jika harus ke surau, ia harus melewati sawah. Jalan yang paling cepat. Pematang sawah terbilang kecil dan licin sehingga Alif harus hati-hati jika tak ingin terpeleset dan jatuh ke sawah.
Surau tempat Alif mengaji dengan ustad Salim berada di ujung desa di sisi lain. Satu-satunya surau yang membuka TPA.
***
Mega sudah menggantung di angkasa. Surau sudah sepi. Anak-anak sudah pulang. Beberapa orang tua, sangat tua hingga jalannya lambat dan membungkuk, sudah berdatangan. Mereka bersiap untuk salat magrib. Sementara Alif masih terduduk di depan surau. Matanya ikut mengangkasa.
"Sedang mikirin apa, Lif?" tanya ustad Salim. Ia ikut duduk di samping Alif.
"Doa. Apa Allah akan ngabulin doa Alif, Ustad?"
Ustad Salim melebarkan bibirnya. "Tentu saja. Ingat yang ustad sampaikan, Allah mengabulkan doa-doa hamba-Nya, tanpa terkecuali."
"Kalau nggak dikabulin?"
"Ada tiga. Dikabulkan seketika, ditunda hingga waktu yang tepat, atau diganti dengan yang lebih baik. Begitulah doa kita di hadapan Allah. Memangnya doa Alif selama ini apa?"