Berbeda dengan apa yang disampaikan bu Siti, seorang Kepala SMP Negeri 2 Kalibawang bernama Subaryono Ini mengkonfirmasi kepada saya bahwa selama ini beliau mengidentifikasi kasus-kasus yang merupakan dilema etika atau bujukan moral berjalan lebih kondisional. Kadang kasus tersebut langsung dapat diidentifikasi dengan logika. Akan tetapi, kadang memang baik itu dilema etika maupun bujukan moral membutuhkan pemikiran yang jernih dan bahkan terkadang harus melibatkan orang lain dalam identifikasi. Hal ini disebabkan karena tidak jarang yang namanya kasus datang secara bersamaan.
Dalam menjalankan pengambilan keputusan di sekolah terkait kasus-kasus di mana ada dua kepentingan yang sama-sama benar atau sama-sama mengandung nilai kebajikan, pak Subaryono mengambil langkah melalui kolaborasi (musyawarah). Selain itu, beliau juga dalam pengambilan keputusan, pertimbangan didasarkan pada regulasi yang berlaku. Hal ini dilakukan untuk menghindari pelanggaran terhadap aturan. Selain itu, beliau juga mempertimbangkan sisi kemanfaatan agar putusan yang diambil adalah keputusan yang benar dan tepat.
Beliau tidak selalu berpatokan pada langkah-langkah tertentu, namun beliau memiliki keyakinan bahwa dalam mengambil keputusan, kita tidak boleh berprinsip bahwa orang lain selalu suka/sependapat dengan keputusan yang kita ambil karena keputusan kita belum tentu benar. Selanjutnya apabila ada pihak lain yang tidak sependapat dengan kita, kita tidak boleh membencinya. Dari pernyataan beliau ini terasa sejuk untuk kita resapi bersama. Tergambar sosok kematangan beliau.
Saat digali lebih dalam mengenai hal-hal apa saja yang selama ini dianggap efektif dalam pengambilan keputusan pada kasus-kasus dilema etika, beliau menjawab kondisional. Singkat, padat, jelas. Saya memahami bahwa karakteristik setiap masalah berbeda-beda. Kadang juga orang yang terlibat dalam suatu dilema etika maupun bujukan moral berbeda. Hal itu tentu butuh penanganan/pertimbangan yang berbeda dalam pengambilan keputusan. Mungkin itu sebabnya beliau menjawab kondisional.
Dalam pengambilan sebuah keputusan, terkadang kita bertemu dengan suatu hal yang tidak kita sukai. Hal ini menjadi salah satu tantangan bagi Bapak Kepala Sekolah yang satu ini. Meski begitu, beliau menambahkan bahwa kita tidak perlu terbawa emosi. Sebab dengan emosi yang berlebihan akan mempengaruhi keputusan yang kita ambil.
Ketika ditanya tentang tatakala atau jadwal tertentu dalam sebuah penyelesaian kasus dilema etika, langsung menyelesaikan di tempat, atau memiliki sebuah jadwal untuk menyelesaikannya beliau menjawab penyelesaian didasarkan pada kompleksitas masalah. Hal itu juga disesuaikan dengan siapa saja yang terlibat. Beliau tidak memiliki prosedur khusus, akan tetapi beliau lebih mengedepankan kolaborasi.
Pak Subaryono berpendapat bahwa faktor yang mempermudah atau membantu beliau dalam pengambilan keputusan dalam kasus-kasus dilema etika adalah tidak bekerja sendiri. Selain itu, kita juga perlu memaksimalkan sumber daya yang ada untuk bersama-sama memikirkan keputusan untuk sebuah solusi. Di antara dilema etika itu, pasti ada yang lebih dibutuhkan dan kita dapat memperhitungkan resiko yang akan terjadi.
Pembelajaran yang dapat dipetik versi pak Subaryono adalah bahwa dalam mengambil sebuah keputusan baik sebelum, proses pengambilan dan pasca pengambilan kita harus sabar. Menurut beliau, penting untuk senyum dalam setiap kondisi perasaan. Selain itu, dalam proses tersebut akan sangat membantu jika ada sebuah kerjasama yang baik antar pemangku kepentingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H