Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah hadir sejak zaman kolonial Belanda dengan program bernama Jaminan pemeliharaan kesehatan. Lewat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 1968, Pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang mengatur pemeliharaan kesehatan bagi pegawai Negara dan penerima pensiun beserta keluarganya.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 dan 23 Tahun 1984. BPDPK berubah status menjadi BUMN yaitu PERUM HUSADA BHAKTI (PHB), yang melayani jaminan kesehatan bagi PNS, pensiunan PNS, veteran, perintis kemerdekaan, dan anggota keluarganya.
Pada tahun 2011, pemerintah menetapkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), serta menunjuk PT Askes (Persero) sebagai penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan, sehingga PT Askes (Persero) berubah menjadi BPJS Kesehatan. BPJS resmi beroperasi pada Januari 2014 sebagai transformasi dari PT Askes (Persero).
Tujuan dibentuknya BPJS Kesehatan dengan program Universal health coverage (UHC) yaitu sistem kesehatan yang memastikan setiap warga dalam populasi memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative bermutu dengan biaya terjangkau untuk memastikan seluruh penduduk Indonesia terlindungi oleh jaminan kesehatan yang komprehensif, adil, dan merata.
Namun seiring berjalan waktu berbagai permasalahan dialami oleh BPJS Kesehatan dalam operasional kerjanya. Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai alur dan birokrasi penggunaan asuransi BPJS Kesehatan. Hal tersebut diakibatkan karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat terutama dalam hal rujukan tingkat satu pelayanan kesehatan.
Premi yang ditetapkan pada tiap kelas terlalu rendah. Menurut perhitungan aktuaria Dewan Jaminan Sosial Negara (DJSN) premi penerima bantuan iuran (PBI) idealnya Rp36.000 per bulan. Peserta bukan penerima upah (PBPU) untuk kelas I mencapai Rp 80 ribu, kelas II Rp63.000 dan kelas III Rp53.000 per bulan. Banyaknya tunggakan pembayaran premi dari peserta non PBI. Sistem klaim dari rumah sakit yang menggunakan aplikasi Indonesia Case Base Groups (Ina-CBGs), membuka celah rumah sakit untuk melakukan kecurangan (fraud).
Rumah sakit dapat mengklaim dana BPJS Kesehatan yang lebih besar dari sebenarnya. Munculnya moral hazard. Rendahnya premi yang ditetapkan oleh pihak BPJS Kesehatan membuat masyarakat cenderung semakin sering menggunakan BPJS Kesehatan.
Kondisi tersebut memperbanyak jumlah klaim perusahaan dan berimbas pada defisit anggaran BPJS. Defisit keuangan BPJS pada tahun 2014 sebesar Rp3.3 triliun. Keadaan tersebut naik pada 2015 menjadi Rp5.7 triliun.
Defisit pada BPJS semakin parah pada 2016 sebesar Rp9.7 triliun. Pada 2017 tidak berbeda jauh sebesar Rp9.8 triliun. Pada 2018 mulai terjadi penurunan menjadi Rp8.02 triliun (Defisit Juli 2018 diambil dari dana cadangan APBN).
Pada 1 Januari 2014 saat peresmian BPJS dibentuk, target kepersertaan BPJS itu mencapai 95 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk mencapai 261.590.794 orang. Sedangkan peserta BPJS mencapai 215.784.340 peserta atau 82,49 persen. Masih ada 45.806.454 orang ata 17,51 persen yang tercatat belum menjadi anggota.Â
Jumlah peserta BPJS Kesehatan terbesar merupakan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI) yang dibiayai oleh anggaran APBN, yakni mencapai 92,27 juta jiwa atau sekitar 46,92 persen dari total. Kemudian peserta dari Pekerja Penerima Upah (PPU) swasta 27,92 juta jiwa dan Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) 27,65 juta jiwa. Secara akumulasi, sejak 2014-akhir 2018, dana talangan yang diberikan pemerintah kepada BPJS Kesehatan mencapai Rp26.4triliun.
Dengan berbagai permasalahan yang terjadi pada BPJS terdapat alternativ solusi untuk mengatasinya dengan meningkatkan beban iuran bagi peserta BPJS Kesehatan non PBI. Meningkatkan wawasan masyarakat mengenai alur birokrasi BPJS Kesehatan dengan memanfaatkan berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Hal ini dilakukan guna mengatasi masalah rendahnya pengetahuan masyarakat tentang alur birokrasi BPJS Kesehatan.
Penetapan sanksi tegas terhadap peserta BPJS Kesehatan non PBI yang menunggak pembayaran premi perbulannya merupakan hal yang dapat diterapkan oleh pemerintah. Ditunjang dengan perbaikan sistem manajemen dan pengawasan untuk mengatasi moral hazard peserta BPJS Kesehatan dan kecurangan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit.
Cukai rokok dipastikan menjadi salah satu alternatif pemerintah sebagai solusi untuk mengurangi defisit keuangan BPJS Kesehatan. Langkah menggunakan cukai rokok merupakan salah satu langkah yang diambil pemerintah.
Sebelumnya untuk menambal defisit BPJS Kesehatan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur daerah yang masih mempunyai tunggakan dana BPJS Kesehatan akan dipotong dari dana transfer dan Dana Alokasi Umum (DAU). Kemenkeu juga merilis PMK Nomor 222/2017 tentang penggunaan Bagi Hasil Cukai (BHC).
Salah satu negara yang menjadi acuan tata kelola asuransi kesehatan terbaik yaitu Swiss. Menurut majalah Forbes, 99.5 persen warga Swiss memiliki asuransi kesehatan yang disubsidi oleh pemerintah bagi mereka yang tidak dapat mengakses asuransi kesehatan swasta. Studi Harvard mengidentifikasi bahwa pemerintah Swiss mengeluarkan dana 11.4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk kesehatan.
Dwi Arifin & Karina Rahmi Maulidya
HIPOTESA IPB (Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan IPB)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H