Mohon tunggu...
Dwian Ramadhandy
Dwian Ramadhandy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang Mahasiswa

Hanya seorang Kamen Rider yang numpang lewat! Ingat itu...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Pusat Perbelanjaan Banyak yang Sepi di Masa Sekarang?

25 Oktober 2024   20:58 Diperbarui: 25 Oktober 2024   21:01 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Miris! Kondisi Mal Blok M Kini Sepi dan Nyaris Mati

Pusat perbelanjaan telah menjadi bagian yang  tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat sejak zaman dahulu. Pada awalnya, bentuk dari pusat perbelanjaan yang sederhana itu berupa pasar tradisional yang mengumpulkan para pedagang dan pembeli dalam satu tempat. Pasar-pasar ini berfungsi sebagai pusat ekonomi lokal, tempat dimana bertemunya kebutuhan hidup sehari-hari yang merupakan hasil dari berbagai sektor ekonomi seperti pertanian, perkebunan, kerajinan, dan lainnya.

Pada abad ke-20, seiring perkembangan kota-kota besar dan perubahan gaya hidup masyarakat yang makin masif, konsep pasar mulai bergeser menjadi lebih modern. Di Eropa dan Amerika Serikat, department store (toko serba ada) muncul sebagai salah satu simbol modernitas pada akhir abad ke-19. Sementara itu, di Indonesia, pusat perbelanjaan modern mulai berkembang pesat pada tahun 1980-an hingga 1990-an dengan berdirinya berbagai mal dan pusat perbelanjaan di kota-kota besar. Konsep ini menawarkan kenyamanan berbelanja di ruang tertutup dengan berbagai fasilitas tambahan seperti restoran, bioskop, dan area bermain.

Perkembangan dari mal atau pusat perbelanjaan dapat dibagi dalam beberapa masa, masing-masing dengan karakteristik dan tren yang berbeda-beda:

  • Era Pasar Tradisional (Sebelum 1960-an)
    Pada era ini, pasar tradisional menjadi pusat utama perdagangan di berbagai daerah. Orang-orang berbelanja di pasar yang buka pada pagi hingga siang hari, dan berfungsi sebagai pusat ekonomi yang vital. Interaksi sosial dan hubungan antara penjual dan pembeli di pasar mencerminkan hubungan yang erat dan saling mengenal.
  • Era Department Store dan Supermarket (1960-an - 1980-an)
    Mulai tahun 1960-an, toko-toko serba ada dan supermarket mulai muncul di Indonesia. Masyarakat mulai mengenal konsep belanja di ruangan tertutup dengan produk yang diatur secara rapi. Ini memberikan pengalaman belanja yang lebih modern dan praktis dibandingkan pasar tradisional.

  • Era Mal dan Pusat Perbelanjaan Modern (1980-an - 2010-an)
    Tahun 1980-an hingga awal 2000-an adalah masa keemasan bagi mal dan pusat perbelanjaan di Indonesia. Mal mulai dibangun di berbagai kota besar, terutama Jakarta. Mereka menawarkan konsep one-stop shopping dengan berbagai tenant terkenal, termasuk toko busana, elektronik, restoran, dan hiburan seperti bioskop. Mal menjadi simbol status sosial dan gaya hidup urban yang menarik banyak pengunjung setiap harinya.

  • Era Digital dan E-commerce (2010-an - Sekarang)
    Memasuki era 2010-an, kehadiran internet yang semakin masif dan kemajuan teknologi membawa perubahan signifikan dalam kebiasaan berbelanja masyarakat. Toko-toko online dan platform e-commerce mulai menjamur, menawarkan kemudahan dan kenyamanan bagi konsumen. Mereka dapat berbelanja tanpa harus keluar rumah, hanya melalui smartphone atau komputer. Hal ini mulai menggeser minat masyarakat dari berbelanja di pusat perbelanjaan fisik menuju platform digital.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup masyarakat, banyak pusat perbelanjaan fisik yang dulunya ramai kini menjadi sepi. Beberapa faktor utama yang melatarbelakangi perubahan ini meliputi:

  1. Kehadiran dari E-commerce dan Online Shopping
    Platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, dan juga Lazada menawarkan berbagai kemudahan, seperti diskon, pembayaran digital, serta pengiriman cepat. Masyarakat, terutama generasi muda, lebih memilih berbelanja secara online karena tidak perlu menghabiskan waktu di jalan dan mencari tempat parkir.

  2. Pandemi COVID-19
    Pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak 2020 mempercepat peralihan ke belanja online. Pembatasan sosial dan kekhawatiran akan kerumunan membuat masyarakat menghindari pusat perbelanjaan. Banyak toko di dalam mal yang akhirnya tutup atau merugi karena sepinya pengunjung. Pemulihan dari masa COVID-19 ke masa transisi setelah COVID-19 pun tidak membuat pusat perbelanjaan kunjung membaik.

  3. Perubahan Preferensi Hiburan
    Dulu, mal sering menjadi tempat berkumpul dan rekreasi bagi keluarga atau anak muda. Namun, seiring berkembangnya layanan hiburan digital seperti streaming film dan game online, masyarakat kini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Aktivitas nongkrong di mal mulai tergantikan dengan aktivitas online yang lebih praktis dan ekonomis. Anak muda sekarang lebih condong untuk melakukan aktivitas nongkrong di tempat-tempat yang terjangkau bagi mereka, serta fasilitas yang memadai

  4. Perubahan Gaya Hidup dan Kesadaran Lingkungan
    Ada pula kesadaran baru mengenai gaya hidup yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Banyak orang mulai menghindari penggunaan plastik sekali pakai, yang umumnya banyak ditemukan di pusat perbelanjaan. Selain itu, tren thrifting (membeli barang bekas) dan penggunaan barang lokal juga mulai menggeser budaya konsumtif yang sebelumnya sangat lekat dengan pusat perbelanjaan modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun