Dedalane guna lawan sekti
kudu andap asor
wani ngalah luhur wekasane
tumungkula yen dipun dukani
bapang den simpangi
ana catur mungkur
Saya adalah orang jawa, kedua orang tua saya orang jawa, kakek nenek saya pun orang jawa. Semalam, ibu saya menyanyikan sebuah tembang macapat mijil untuk saya. Kata ibu saya, dulu itu adalah tembang yang dilantunkan oleh almarhum kakek saya untuk ibu saya. Katanya, tembang itu dilantunkan almarhum kakek saya saat memberi wejangan kepada anak-anaknya.
Walaupun saya orang jawa, saya tidak mengetahui makna yang tersirat dalam tembang tsb sampai ibu saya memberi tahu saya. Ternyata tembang tsb sarat akan nilai-nilai luhur.
Karena penasaran, akhirnya saya search tembang tsb di google. Secara keseluruhan, saya menyimpulkan bahwa tembang tsb berisi tuntunan untuk kehidupan kita sebagai manusia. Dari salah satu sumber yang saya baca, katanya tembang tsb diciptakan oleh wali sanga untuk berdakwah pada zaman dulu. Berikut sedikit interpretasi saya terhadap tembang mijil :
Dedalane guna lawan sekti.
Sesuai posisinya sebagai kalimat pertama, kalimat ini merupakan pembuka dan memberi tahu kita bahwa ini adalah tentang jalan (dalan) kita untuk (guna) menuju kemuliaan (sekti).
Kudu andap asor.
Bahwasanya kita harus (kudu) menempatkan diri kita di bawah (asor). Bukan berarti kita merendahkan diri sendiri, namun maknanya adalah menempatkan orang lain lebih tinggi dari kita, sehingga kita harus selalu menghormati dan menghargai orang lain. Atau kalau versi saya, intinya adalah bahwa kita harus selalu menyadari posisi tawar kita di hadapan siapa pun, dengan begitu kita bisa menata dan membawa diri kita dengan baik di lingkungan sosial kita.
Wani ngalah luhur wekasane.
Kurang lebih artinya mengalah untuk menang. Mengalah disini saya interpretasikan sebagai ajaran untuk sabar dan tidak egois. Sedangkan untuk menang disini saya interpretasikan menang atas musuh terbesar manusia, yakni dirinya sendiri. Dari situ, saya menarik kesimpulan bahwa makna yang tersirat pada kalimat ini adalah tentang ilmu pengendalian diri.
Tumungkula yen dipun dukani.
Artinya menunduklah (tumungkula) jika dimarahi (dipun dukani). Saya mengartikannya bahwa kita harus mau menerima setiap masukan kepada kita. Tidak peduli apa isi masukannya dan dari siapa. Selanjutnya, tinggal bagaimana kita bersikap atas masukan untuk kita itu. Masukan disini bisa kita kaitkan dengan bahasan saya sebelumnya tentang pengendalian diri. Semakin kita banyak masukan, logikanya akan semakin baik pula kita dalam mengendalikan diri.
Bapang den simpangi.
Saya kurang paham arti kalimat ini, namun sejauh pemahaman saya, makna kalimat ini intinya mengajak kita untuk menghindari berfoya-foya, untuk menghindari sifat suka kemewahan dan kesombongan. Kita diajarkan untuk bersyukur atas apa pun. Saya merangkum inti kalimat ini adalah agar kita 'menghormati' yang namanya kesederhanaan.
Ana catur mungkur.
Kalau ini saya paham artinya. Singkat saja, bagi saya, makna kalimat ini hampir sama dengan paribasan Jawa yang bunyinya 'ojo cedhak kebo gupak'. Artinya, jauhilah keburukan.
Ya, itulah Mijil, tembang yang dulu dilantunkan kakek saya untuk ibu saya, lalu semalam ibu saya baru saja melantunkan kembali tembang itu untuk saya. Mungkin jika saya bisa, kelak saya akan nembang lagu ini untuk anak saya. Hahaha. Oke, dengan begini, maka tidak salah bukan jika di awal saya mengatakan bahwa Mijil adalah tembang tentang tuntunan untuk kehidupan manusia? Ya, seperti itulah interpretasi saya tentang Mijil berdasarkan persepsi dan perspektif saya. Sungguh budaya kejawen memiliki banyak nilai luhur. Saya bangga menjadi orang Jawa. Mari kita lestarikan budaya etnis kita masing-masing. Indonesia ini kan bhineka tunggal ika, banyak etnis, artinya kita ini kaya akan budaya. Ya kan? Tapi walaupun kita beda etnis dan punya budaya sendiri-sendiri, jangan sampai kita pecah karena perbedaan itu. Ingat, kita kudu andap asor bukan?
Pada akhirnya, itulah sedikit yang bisa saya bagi disini. Saya sekedar mencoba membuat interpretasi bebas tentang Mijil berdasarkan persepsi dan perspektif saya sebagai orang Jawa awam. Jadi tentu saja tulisan saya banyak kekurangan. Walaupun begitu, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi siapa pun, termasuk diri saya sendiri. Semoga.
Yogyakarta, 24 September 2014
Dwian K. Hendra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H