Pandemi COVID-19 yang melanda pada tahun 2020 memberikan tekanan besar terhadap perekonomian global dan domestik. Aktivitas ekonomi menurun tajam, yang berdampak pada lonjakan risiko kredit, peningkatan Non-Performing Loan (NPL), dan melemahnya kemampuan debitur untuk memenuhi kewajiban kredit mereka.
 Akibatnya, pertumbuhan kredit di Indonesia melambat, hanya mencapai 2,5% pada 2020 dibandingkan 6,1% pada 2019 (Bank Indonesia, 2020). Kondisi ini mengharuskan adanya kebijakan makroprudensial yang akomodatif untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Â
Kebijakan Makroprudensial untuk Stabilitas Keuangan Â
Kebijakan makroprudensial pertama kali diperkenalkan pada tahun 1979 melalui The Cooke Committee, tetapi baru menjadi populer setelah krisis keuangan global pada 2008. Dalam konteks pandemi, BI menerapkan langkah-langkah seperti: Â
1. Pelonggaran Kebijakan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM). Pada 2018, BI menetapkan RIM sebesar 80-92%, yang kemudian ditingkatkan menjadi 84-94% pada 2019. Pelonggaran ini memberikan fleksibilitas kepada bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditas mereka. Â
2. Relaksasi Kebijakan Loan-to-Value (LTV) untuk mendukung sektor properti dan otomotif, kebijakan LTV dilonggarkan, memungkinkan masyarakat mendapatkan pembiayaan dengan uang muka yang lebih rendah. Â
3. Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 4% dari Dana Pihak Ketiga (DPK) memberikan fleksibilitas bagi bank untuk memenuhi kebutuhan likuiditas mendesak melalui mekanisme repo dengan BI. Â
4. Relaksasi Pembiayaan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) hijau dan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) berwawasan lingkungan menunjukkan pertumbuhan signifikan pada Semester I 2024, masing-masing mencapai 175% dan lebih dari 200%. Risiko gagal bayar untuk kedua jenis kredit ini tetap terkendali, dengan rasio di bawah 5%. Â
Selain kebijakan makroprudensial, BI juga berfokus pada digitalisasi perbankan untuk mendukung pemulihan ekonomi. Beberapa langkah strategis mencakup: Â
1. Pengembangan Infrastruktur Keuangan Digital. Â BI bekerja sama dengan perbankan untuk memperluas jangkauan layanan keuangan berbasis digital, termasuk pengembangan Central Bank Digital Currency (CBDC) sebagai respon terhadap inovasi teknologi keuangan. Â
2. Peningkatan Inklusi Keuangan dengan mengintegrasikan teknologi keuangan, lebih banyak masyarakat di daerah terpencil mendapatkan akses ke layanan keuangan formal. Ini penting untuk mendukung UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Â