Mohon tunggu...
DWI AFRIANTI
DWI AFRIANTI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Jember

Perekonomian Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Policy Mix sebagai Strategi Utama Pemulihan Ekonomi Indonesia di Tengah Krisis

19 November 2024   07:30 Diperbarui: 19 November 2024   07:40 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam menghadapi berbagai tantangan ekonomi, Indonesia telah mengadopsi policy mix, yaitu kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang saling mendukung. Strategi ini terbukti menjadi tonggak penting dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mempercepat pemulihan, terutama selama krisis ekonomi global 2008 dan pandemi COVID-19 yang mengguncang perekonomian dunia.  

Krisis keuangan global 2008 yang berawal dari Amerika Serikat berdampak signifikan pada ekonomi Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah tajam dari Rp9.300 menjadi Rp12.500 pada akhir tahun 2008. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia juga anjlok lebih dari 50%, dari 2.800 menjadi sekitar 1.100 poin pada Oktober 2008. Selain itu, sektor perbankan menghadapi kesulitan likuiditas akibat tingginya risiko gagal bayar di pasar uang antarbank.  

Untuk mengatasi dampak krisis ini, Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan dari 9,5% pada Desember 2008 menjadi 7,75% pada Februari 2009. BI juga mengurangi Giro Wajib Minimum (GWM) dari 9% menjadi 7,5%, mengembalikan likuiditas sekitar Rp100 triliun ke sistem perbankan. Selain itu, BI melakukan intervensi di pasar valuta asing menggunakan cadangan devisa untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.  

Di sisi fiskal, pemerintah meningkatkan defisit anggaran dari 1% menjadi 2,6% dari PDB pada 2009. Langkah ini diikuti dengan penurunan tarif pajak penghasilan badan dari 30% menjadi 28% pada 2009, kemudian menjadi 25% pada 2010. Konsumsi pemerintah juga tumbuh sebesar 15,7% pada 2009, memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi yang tercatat sebesar 4,6%, lebih baik dibandingkan banyak negara lain yang mengalami kontraksi ekonomi.  

Pada 2020, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar -2,07%, pertama kali sejak krisis 1998. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mengakibatkan penurunan tajam konsumsi rumah tangga, investasi, ekspor, dan impor. Pada Maret 2020, nilai tukar rupiah melemah hingga Rp16.575 per dolar AS, level terendah sejak 1998.  

Untuk merespons kondisi ini, BI menurunkan suku bunga acuan menjadi 3,75%, tingkat terendah dalam sejarah. GWM juga diturunkan dari 8% menjadi 4% untuk bank umum, memberikan lebih banyak likuiditas ke pasar keuangan. Selain itu, BI mulai membeli Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp473,42 triliun di pasar perdana, mendukung pembiayaan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).  

Di sisi fiskal, pemerintah mengadopsi berbagai langkah, termasuk percepatan belanja modal, bantuan sosial, dan transfer dana ke daerah. Pemerintah juga memberikan relaksasi pajak penghasilan serta mempercepat pengembalian Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Untuk menanggulangi dampak pandemi, defisit anggaran diperlebar hingga melampaui batas 3% dari PDB yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara.  

Efektivitas Policy Mix dalam Memulihkan Ekonomi  

Kombinasi kebijakan fiskal dan moneter terbukti efektif dalam mengatasi krisis ekonomi. Selama krisis 2008, policy mix membantu mencegah kontraksi ekonomi yang lebih dalam. Sementara itu, pada 2021, setelah menghadapi kontraksi pada 2020, ekonomi Indonesia kembali tumbuh sebesar 3,7%, didukung oleh langkah-langkah kebijakan terpadu.  

BI juga mempercepat digitalisasi sistem pembayaran melalui inisiatif QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), memungkinkan pembayaran digital lintas platform yang mendukung inklusi keuangan. Kebijakan ini tidak hanya mendorong aktivitas ekonomi selama pandemi tetapi juga membangun fondasi ekonomi digital untuk masa depan.  

Meskipun policy mix terbukti efektif, tantangan tetap ada. Tekanan inflasi global, volatilitas nilai tukar, dan ketergantungan pada pembiayaan defisit anggaran dari pasar domestik masih menjadi isu yang perlu diatasi. Selain itu, koordinasi yang lebih erat antara kebijakan fiskal dan moneter diperlukan untuk memastikan respons yang cepat dan adaptif terhadap perubahan dinamika global.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun